Tafsir Surah Al-Fatihah (7): Mengupas Makna Rahman dan Rahim
Kasih sayang adalah dambaan seluruh makhluk. Sejak seorang manusia dilahiran hingga ia menjemput ajal selalu membutuhkan kasih sayang. Dari mulai kasih sayang orang tua hingga kasih sayang anak dan cucunya. Hingga nanti berkalang tanah pun seorang manusia tetap membutuhkan kasih sayang berupa doa dari mereka yang telah ia tinggalkan.
Mari kita berfikir kembali, dari manakah kasih sayang yang kita terima berasal? Siapakah yang menggerakkan hati manusia untuk mencintai yang menyayangi kita? Sejak kita hidup bergantung kepada ASI ibu hingga menua bergantung kepada sanak saudara.
Dialah Allah, dzat Maha Penyayang lagi Maha Pengasih yang telah memberikan kita nikmat begitu banyak tak terhitung jumlahnya.
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-Nahl ayat 18)
Para ulama tafsir mengajukan tiga makna atas lafal ar-Rahman dan ar-Rahim, yaitu :
Pertama, lafal ar-Rahman menunjukkan makna kasih sayang Allah kepada seluruh makhluk selama di dunia. Sedangkan lafal ar-Rahim menunjukkan makna kasih sayang Allah kepada orang beriman secara khusus di akhirat. Hal ini berdasarkan dalil hadis
عن أبو سعيد الخدري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الرحمن رحمن الدنيا والرحيم رحيم الآخرة
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda “Sifat Maha Penyayang Allah (ar-Rahman) diberikan selama di dunia dan sifat Maha Pengasih Allah (ar-Rahim) diberikan khusus ketika di akhirat kelak.” (kitab tafsir al-Bahr al-Muhith fi Tafsir karya syeikh Abu Hayan al-Andalusi vol.1 hal.30 cetakan Dar Fikr Beirut tahun 2007)
Kedua, lafal ar-Rahman menunjukkan makna kasih sayang Allah yang sangat agung. Sedangkan lafal ar-Rahim menunjukkan makna kasih sayang Allah yang sangat detail nan terperinci.
Ketiga, lafal ar-Rahman menunjukkan makna kasih sayang Allah yang sangat banyak. Sedangkan lafal ar-Rahim menunjukkan makna kasih sayang Allah yang abadi.
Pendapat kedua dan ketiga bersumber dari hasil menggali makna asal dari lafal ar-Rahman dan lafal ar-Rahim. Dalam bahasa arab, lafal ar-Rahman dan lafal ar-Rahim berasal dari akar kata yang sama yaitu lafal Rahima. Dalam kamus Lisan al-Arab karya Ibnu Mandzur, akar kata Rahima bermakna berlaku lembut dan berkasih sayang kepada orang lain.
Akar kata Rahima menjadi Rahman sebagaimana kata Ghadhaba menjadi Ghadhban dengan sebab mengikuti wazan Fa’lan. Dalam bahasa arab wazan fa’lan bersifat hiperbolis. Sehingga kata Rahman bermakna sangat banyak kasih sayangnya atau sangat besar kasih sayangnya. Sebagaimana juga, kata Ghadban bermakna sangat banyak marahnya atau sangat besar marahnya.
Dapat disimpulkan ar-Rahman dalam surat al-Fatihah bermakna “Allah, dzat yang Maha Penyayang dengan kasih sayang yang sangat banyak nan agung dan diberikan kepada seluruh makhluknya.”
Sifat Rahman hanya milik Allah. Tidak boleh dipakai untuk mensifati selain Allah karena lafal Rahman adalah sifat dzat. Kedudukan lafal Rahman sebagai sifat dzat menunjukkan makna “Hanya dari Allah lah sumber seluruh nikmat yang tak terhitung jumlahnya”. Hal ini berdasarkan dalil al-Qur’an:
“Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)…” (Qs. Al-Isra’ ayat 110)
Alkisah, dahulu ada seorang nabi palsu bernama Musailamah yang menyebut dirinya sendiri dengan gelar “Ar-Rahman dari dataran Yamamah”. Maka, para shahabat pun memeranginya serta menjulukinya dengan julukan “Musailamah si pembohong”. (kitab at-Tafsir al-Qur’an al-A’dzim karya Ibnu Katsir hal.46 vol.1 cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut tahun 2010)
Akar kata Rahima menjadi Rahiim sebagaimana kata karama menjadi Kariim dengan sebab mengikuti wazan Fa’iil. Dalam bahasa arab, wazan Fa’iil menunjukkan karakteristik atau watak dari pelaku pekerjaan. Sehingga, kata Rahiim menunjukkan kasih sayang yang telah melekat, tak dapat dipisahkan dari karakter seseorang. Sebagaimana juga, kata Kariim menunjukkan kemuliaan yang melekat dan tak dapat dipisahkan dari karakter seseorang.
Dapat disimpulkan ar-Rahim dalam surat al-Fatihah bermakna “Allah, dzat yang Maha Pengasih dengan kasih sayang yang abadi nan terperinci dan hanya diberikan kepada orang yang beriman.” (kitab tafsir al-Wasith lil Qur’an al-Karim karya Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi vol.1 hal.17 cetakan Dar as-Sa’adah Kairo tahun 2007)
Kemudian, ada sebuah pertanyaan “Mengapa lafal ar-Rahman dan ar-Rahim diulangi dua kali dalam surah al-Fatihah?”
Syeikh Muhammad al-Qurthubi mengatakan “Allah menegaskan kembali sifat ar-Rahman dan ar-Rahim (dalam ayat ketiga surah al-Fatihah) sebagai ajakan agar hambanya mendekat kepada-Nya. Setelah sebelumnya sang hamba merasa sangat takut akan keagungan Allah dalam sifat Rabbal ‘Alamiin (tuhan semesta alam).” (kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya syeikh Muhammad al-Qurthubi vol.1 hal.121 cetakan Dar ar-Rayyan li Turats Kairo 2001).
Walhasil, harapan akan kasih sayang Allah serta rasa takut akan siksaan dari-Nya harus berjalan beriringan dan seimbang layaknya dua sayap burung. Inilah hikmah mengapa dicantumkan lafal “ar-Rahman ar-Rahim” pada ayat ketiga surah al-Fatihah.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنَ الْعُقُوبَةِ مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنَ الرَّحْمَةِ مَا قَنِطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ
Diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda “Seandainya seorang yang beriman mengetahui siksaan di sisi Allah, niscaya tidak akan ada seorang pun yang berharap surga-Nya. Dan seandainya seorang yang kafir mengetahui kasih sayang Allah, niscaya tidak ada seorang pun yang putus asa atas mengharap surga-Nya.” (HR.Muslim)