KUALITAS KATA DAN PIKIRAN
Saat duduk ngopi di rest area di samping saya 5 anak muda ngobrol akrab. Salah satunya gadis remaja. 10 menit di situ minimal 20 kali kata "anjing", ditambah dengan kata super jorok semakna senggama, tertangkap telinga saya. Mereka dengan bebas saling panggil anjing.
Sebagian mengubah kata anjing dehgan kata anjir, anjrit, anjay sebagai penghalusan, pelesetan (euphimism) dari kata "anjing" yang lebih kasar.
Pnggunaan kata anjing dan plesetannya juga kata semacamnya di kalangan anak muda dan yang ingin terlihat muda merupakan colloquial (bahasa gaul) yang digunakan sebagai ekspresi kaget dan heboh karena gembira juga kesal.
Pesatnya perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi saat ini telah membuat sebagian besar orang, terutama para remaja terbiasa menikmati tayangan-tayangan yang mengandung kata-kata tak pantas.
Hal tersebut makin diperparah dengan lemahnya filtrasi atau kemampuan untuk menyaring serta memilah informasi bermanfaat atau tayangan-tayangan yang pantas ditonton oleh anak-anak praremaja dan yang telah memasuki usia remaja sekalipun, bahkan yang telah dewasa.
Selain itu, kebiasaan menggunakan kata kotor dan rendah mendorong penggguna membincangkan tema dan subjek sederat. Akibatnya, benaknya terisi dengan pikiran-pikiran remeh, invalid bahkan jorok.
Ketika benak terisi bahkan padat dengan itu, merasa nyaman
1. Membincangkan dan berlomba share tema-tema yang tak menuntut aplikasi seperti tema mistik yang melambung.
2. Mengulang narasi sejarah masa lalu yang tak dihubungkan dengan komitmen implementasi yang menunut pengorbanan waktu, dana, posisi, pikiran dan sebagainya.
3. Menghadirkan figur-figur sempurna atau nyaris sempurna yang hanya bisa dikagumi semata, bukan diduplikasi dan diaktualkan dalam kehidupan aktual yang relevan. Sehingga sulit menerima keteladanan dalam radius yang dekat dan lokal.
4. Membincang keyakinan dalam konteks masa depan dengan konsep yang tidak jelas dan terejawantah seraya membiarkan konteks masa kini tetap ngambang tanpa kehendak membincangkan konsekuensi praktikalnya.
5. Membincang tema-tema khas yang hanya memperkuat sentimen sektarian semata tanpa membayangkan dampak negatif bagi komunitas dan masyarakat secara umum.
Ketika nyaman menganut keyakinan dengan praktik ritual tertentu,
1. Malas mengkonsumsi dan mencaritahu info-info paradigmatik dan konsep-konsep fundamental tentang nilai, norma, agama dan spiritualitas dan pandangan-pandangan universal dan abstrak.
2. Enggan membahasa tema-tema aplikatif yang diturunkan dari tema-teman teoritis.
Ketika merasa berat melakukannya, mengabaikan semua ajakan untuk berbagi beban dalam memperkuat komunitas sekeyakinannya.