Menjadi Manusia yang Kosmik : Wujud Kecintaan Pada Nabi Muhammad SAW(3)
Konsepsi Manusia yang Kosmik
Manusia yang kosmik artinya, manusia yang seimbang jiwanya dan keseimbangan jiwa ini diperoleh dari perkawinan akal dan hati. Perkawinan akal dan hati yang dimaksud dalam kosmologi Islam ialah, masuknya akal pada hati atau tunduknya hati pada akal. Dalam struktur kosmologi, terdapat struktur hirarkis antara yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah. Yang lebih tinggi mengarahkan yang lebih rendah dan yang lebih rendah tunduk atas arahan dari yang tinggi.
Struktur hirarkis ini dapat dilihat dalam hirarki di antara dimensi yang tidak tampak pada diri manusia yaitu, ruh, jiwa, akal dan hati. Ketika ruh dihadapkan dengan jiwa, maka ruh sebagai bagian yang lebih tinggi dari jiwa dan jiwa bagian yang lebih rendah. Artinya, ruh mengarahkan jiwa dan jiwa tunduk pada ruh. Begitu juga dengan akal dan hati. Posisi akal lebih tinggi daripada hati, maka akal mengarahkan hati dan hati tunduk pada akal.
Dalam konteks yang lebih konkrit, hati dengan dua dimensi di atas memiliki salah satu yang menghadap ke alam atau permukaan yang berkaitan dengan hasrat manusia. Hasrat manusia adalah dorongan manusia untuk bertindak. Dorongan manusia untuk memimpin, untuk makan-minum, untuk berketurunan, untuk belajar. Seluruh dorongan ini adalah baik, karena hati adalah bagian dari jiwa dan jiwa juga bagian dari ruh. Akan tetapi, hasrat bisa menjadi buruk apabila, pertama, hasrat itu ditekan atau kedua, hasrat itu dibebaskan begitu saja. Oleh karena itu, hasrat perlu diatur sedemikian rupa.
Pengatur hasrat ialah, akal. Akal akan selalu bertanya akan benar dan salahnya sebuah tindakan yang didorong oleh hasrat. Misalnya, hasrat makan itu baik, akan tetapi ketika orang terlalu menekan hasrat makan dan tidak memberikan ruang baginya untuk makan, seperti berpuasa setiap hari atau hasrat makan dibebaskan begitu saja, sehingga membolehkan manusia untuk makan setiap waktu, maka akal akan mengarahkan tindakan yang benar dalam menyalurkan hasrat makan.
Dalam konteks yang lebih luas dari itu, akal akan mendorong hati untuk mengarahkan manusia senantiasa melakukan tindakan yang baik, berakhlak mulia. Tindakan yang baik dan kemuliaan akhlak adalah bukti kecintaan pada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, kita perlu membuktikan kecintaan dengan berusaha untuk menyeimbangkan akal dan hati kita sehingga kita dapat senantiasa berproses mendekatkan diri kita pada Allah SWT. Menjadi manusia yang seimbang, manusia kosmik adalah bentuk kecintaan kita pada Nabi Muhammad SAW.