Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Akar Taqiyyah pada Masa Khalifah Kedua

1 Pendapat 05.0 / 5

Dari berbagai pambahasan sebelumnya yang menjelaskan persoalan taqiyyah, dapat kita simpulkan bahwa taqiyyah tidak akan terjadi dalam kondisi yang normal dan biasa dimana keamanan dan keselamatan terjamin dan berjalan sebagaimana mestinya.

Lain halnya apabila keadaan berada dalam darurat dimana kehormatan, harta bahkan nyawa berada dalam bahaya, tentu dalam hal ini taqiyyah akan menjadi opsi yang benar, baik itu berdasarkan dalil tekstual yang tersaji dalam ayat dan riwayat, maupun perhitungan logis.

Yang menjadi permasalahan saat ini ialah pandangan keliru orang-orang melihat taqiyyah, hal tersebut dicampuradukan urusannya dengan persoalan nifak, dusta dan penipuan.

Padahal dalam hal ini, telah kita temukan contoh pratiknya yang terekam dan diabadikan dalam Al-Quran -sebagaimana telah kita paparkan dalam pembahasan yang lalu– dimana kasusnya berbeda jauh dengan perbuatan nifak yang dikerjakan oleh orang-orang munafik.

Tentunya kasus ini juga tak luput dari catatan sejarah Islam yang bisa kita temukan dalam riwayat-riwayat yang ada. Bahkan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa para sahabat sebagai tokoh penting dalam Islam, sebagian dari mereka pernah berhadapan dengan situasi yang memaksa mereka untuk berhati-hati dan memilih untuk tidak menunjukkan sikap aslinya.

Kasus seperti ini salah satunya banyak terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Sosoknya yang dikenal tak pandang bulu membuat sebagian sahabat merasa segan dan takut padanya. Seperti halnya kasus Abu Hurairah yang merupakan salah satu dari mereka pada pembahasan sebelumnya.

Berikut adalah beberapa sahabat lain yang takut pada khalifah kedua dan memilih berhati-hati dalam bersikap padanya:

Ibnu Abbas (wafat 68 H)

Ia merupakan salah satu sahabat Nabi SAW juga sekaligus sepupunya. Ibnu Abbas dikenal sebagai seorang sahabat yang berwawasan luas dan juga banyak meriwayatkan hadis.

Dalam kasus ini ia berhati-hati kepada Umar dalam rangka bertanya mengenai perempuan yang dimaksud dalam sebuah ayat (QS: At-Tahrim: 1-2).

عَنْ عُبَيْدِ بْنِ حُنَيْن، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاس رضى الله عنهما يُحَدِّثُ أَنَّهُ قَالَ مَكَثْتُ سَنَةً أُرِيدُ أَنْ أَسْأَلَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ عَنْ آيَة، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَسْأَلَهُ هَيْبَةً لَهُ. حَتَّى خَرَجَ حَاجًّا فَخَرَجْتُ مَعَهُ فَلَمَّا رَجَعْتُ وَكُنَّا بِبَعْضِ الطَّرِيقِ عَدَلَ إِلَى الأَرَاكِ لِحَاجَة لَهُ قَالَ: فَوَقَفْتُ لَهُ حَتَّى فَرَغَ سِرْتُ مَعَهُ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَنِ اللَّتَانِ تَظَاهَرَتَا عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنْ أَزْوَاجِهِ فَقَالَ تِلْكَ حَفْصَةُ وَعَائِشَةُ. قَالَ فَقُلْتُ وَاللَّهِ إِنْ كُنْتُ لأُرِيدُ أَنْ أَسْأَلَكَ عَنْ هَذَا مُنْذُ سَنَة، فَمَا أَسْتَطِيعُ هَيْبَةً لَكَ

Dari Ubaid bin Hunain, bahwasannya ia mendengar Ibnu Abbas RA bercerita: “Aku berdiam selama satu tahun hendak bertanya pada Umar bin Khattab tentang sebuah ayat. Dan aku tak mampu bertanya padanya karena rasa takut terhadapnya, hingga ia pergi untuk haji maka akupun pergi bersamanya. Ketika kembali dan kita berada di pertengahan jalan, ia pergi menuju satu tempat untuk menunaikan hajatnya. Aku berdiri menunggunya hingga ia selesai dari hajatnya, kemudian aku bersamanya dan berkata padanya: ‘Wahai Amirul Mukminin siapakah dua orang wanita dari istri-istri Nabi yang bersekutu menentang Nabi SAW?’ ia berkata: ‘Mereka adalah Hafsah dan Aisyah.’ Aku berkata: ‘Demi Allah saya ingin bertanya tentang ini sejak setahun namun saya tidak bisa bertanya akibat rasa takut saya kepada Anda..’”

(Al-Jami As-Shahih, jil: 3, hal 313, Al-Maktabah As-Salfiyah, Kairo)
Qardhah bin Ka’ab (wafat 57 H)

Ia merupakan salah seorang sahabat Nabi SAW dari suku Khazraj, Madinah.

عَنْ قَرَظَةَ بْنِ کَعْبٍ، قَالَ: خَرَجْنَا فَشَیَّعَنَا عُمَرُ، إِلَى صَرَارَ ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَالَ: أَتَدْرُونَ لِمَ خَرَجْتُ مَعَکُمْ؟ قُلْنَا: أَرَدْتَ أَنْ تُشَیِّعَنَا تَکَرُّمًا بِذَلِکَ، قَالَ: إِنَّ مَعَ ذَلِکَ لَحَاجَةً خَرَجْتُ لَهَا، إِنَّکُمْ تَأْتُونَ بَلْدَةً لِأَهْلِهَا دَوِیٌّ بِالْقُرْآنِ کَدَوِیِّ النَّحْلِ فَلَا تَصُدُّوهُمْ بِالْأَحَادِیثِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا شَرِیکُکُمْ

قَالَ قَرَظَةُ: فَمَا حَدَّثْتُ بَعْدَهُ حَدِیثًا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ

Dari Qardhah bin Ka’ab, berkata: “Kami telah keluar (dari satu tempat) dan Umar bin Khattab menemani kami hingga ke Sharar, kemudian ia meminta air dan berwudhu dengannya. Ia berkata: ‘Apakah kalian tahu untuk apa aku keluar bersama kalian?’ kami berkata: ‘Engkau menemani kami karena ingin memuliakan kami.’ Ia berkata: ‘Sebenarnya ada satu keperluan sehingga aku keluar.  Sungguh kalian akan pergi ke satu wilayah dimana penduduknya (senantiasa) mendengungkan Al-Quran layaknya dengungan lebah, maka kalian jangan mengganggu mereka dengan hadis-hadis dari Rasulullah SAW, dan aku adalah sekutu kalian.’”

Qardhah berkata: “Setelah itu aku tidak menukil satupun hadis dari Rasulullah SAW.”

(Shahihu Jami Bayan Al-Ilmi wa Fadhlih, hal: 397, Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo)
Penahanan tiga orang sahabat

Ibnu Mas’ud, Abu Darda dan Abu Mas’ud Al-Anshori merupakan para sahabat yang kerap meriwayatkan hadis, namun pada masa khilafah Umar, mereka ditahan.

إنّ عمر حبس ثلاثة: ابن مسعود أبا الدرداء وأبامسعود الأنصارى فقال: لقد أكثرتم الحديث عن رسول الله صلي الله عليه وآله وسلم

Sesungguhnya Umar menahan tiga orang sahabat: Ibnu Masud, Abu Darda dan Abu Mas’ud Al-Anshori, kemudian berkata: “Sungguh kalian telah banyak menukil hadis dari Rasulullah SAW.”

(Kitab Tadzkiratul hifadz, Jil: 1, hal: 7, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut)
Ketatnya masa kekhalifahan Umar bin Khattab terkait pelarangan penulisan hadis pada saat itu membuat para sahabat mendapat tekanan dimana mereka tidak memiliki kebebasan dalam menuliskan hadis Nabi SAW bahkan menukilkannya sebagai mana kita baca pada beberapa riwayat di atas. Ada balasan dan hukuman berat yang menanti mereka apabila mengabaikan kebijakannya tersebut, seperti yang kerap dikatakan Abu Hurairah dalam pembahasan lalu.

Oleh sebab itu hal ini membuat sebagian sahabat berlaku sedemikian rupa sehingga mereka selamat dari kecurigaan dan hukuman, meskipun itu bertolakbelakang dengan sikap aslinya.

Pada akhirnya situasi dan kondisilah faktor utama yang mendorong sikap tersebut. Sisanya kembali pada diri kita sebagai sebuah komunitas masyarakat, sistem apakah yang kita terapkan didalamnya? apakah itu adalah persekusi minoritas, main hakim sendiri, intoleransi dll, ataukah sebaliknya? mari renungkan bersama.