Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Keterangan Allamah Balaghi Mengenai Riwayat Tahrif

1 Pendapat 05.0 / 5

Keberadaan sejumlah riwayat yang mengindikasikan kemungkinan terjadinya tahrif dalam al-Quran, telah menuai berbagai tanggapan dari para ulama terdahulu maupun saat ini terlepas dari apapun latar belakang madzhabnya.

Salah satu ulama yang menolak riwayat tahrif ini ialah Allamah Balaghi atau yang mempunyai nama lengkap Muhammad Jawad al-Balaghi al-Najafi. Ia merupakan seorang ulama Irak yang lahir pada tahun 1865 M dan wafat tahun 1933 M.

 Ia adalah seorang ahli fikih, tafsir, kalam bahkan sastra arab. Sebagai seorang ulama selain mendedikasikan waktunya untuk belajar dan melakukan penelitian, ia disibukan dengan mengajar dan salah satu muridnya ialah Sayyid Khuii. Ia juga melahirkan banyak karya, diantaranya adalah kitab tafsir yang berjudul Alaa’ al Rahman Fi Tafsir al-Quran.

Dalam kitabnya tersebut, khususnya pada bab Qaul al-Imamiyah Bia’dam an-Naqishah Fi al-Quran (Perkataan Imamiyah atas ketiadaan kekurangan dalam al-Quran), ia banyak menukil dan menyebutkan berbagai pandangan para ulama terdahulu yang menolak keabsahan riwayat tahrif al-Quran. Diantaranya adalah Syekh Shaduq, Syekh Mufid, Sayyid Murtadha, Syekh Thusi, Syekh Baha’i hingga al-Muqaddas al-Baghdadi.

Salah satunya yang ia nukil adalah dari al-Muqaddas al-Baghdadi dari Syekh Ali bin Abdul A’ali yang menyusun sebuah risalah khusus terkait penolakan terjadinya pengurangan al-Quran (tahrif). Dalam risalah itu disebutkan juga pandangan Syekh Shaduq yang kemudian setelah itu dilanjutkan dengan kritikan terhadap riwayat yang mengarah pada tahrif.

Disebutkan bahwa seandainya datang hadis-hadis yang bertolak belakang dengan dalil-dalil yang berasal dari al-Quran dan sunnah yang mutawatir ataupun ijma, dan juga tidak memungkinkan untuk menafsirkan atau mempredikatkannya pada beberapa aspek yang lain maka wajib untuk membuangnya.[1]

Satu kitab yang biasanya dijadikan rujukan sekaitan dengan persoalan tahrif ini adalah Fashl al-Khitab Fi Itsbat Tahrif Kitab Rabb al-Arbab yang ditulis oleh Mirza Husein Nuri Thabarsi atau sering dikenal dengan sebutan Muhaddis Nuri.

Kitab tersebut salah satunya berisikan beberapa riwayat yang mengindikasikan pengurangan al-Quran. Sekaitan dengan ini Allamah Balaghi mengkritiknya dari segi sanad dengan mengatakan:

إنّ القسم الوافر من الروايات ترجع أسانيده إلي بضعة أنفار وقد وصف علماء الرجال كلاًّ منهم إمّا ضعيف الحديث ، فاسد المذهب ، مجفوّ الرواية. وإمّا بأنّه مضطرب الحديث والمذهب يعرف حديثه وينكر ، ويروي عن الضعفاء. وإمّا بأنّه كذّاب متّهم لا أستحلّ أن أروي من تفسيره حديثاً واحداً ،وأنّه معروف بالوقف ، وأشدّ الناس عداوة للرضا (ع). وإمّا بأنّه كان غالياً كذّاباً وإمّا بأنّه ضعيف لا يلتفت إليه ،ولا يعوّل عليه ومن الكذّابين وإمّا بأنّه فاسد الرواية يرمي بالغلوّ

“Bahwa bagian yang paling banyak dari riwayat-riwayat itu, sanadnya kembali pada beberapa orang yang mana para ulama Rijal mensifati setiap dari mereka dengan yang lemah hadisnya, sesat madzhabnya serta ditinggalkan riwayatnya. Atau sebagai yang mudhtharib hadisnya (terjadi ikhtilaf dalam sanad atau matannya, yang tidak mungkin bisa disatukan), yang mana Madzhab mengenal hadisnya dan mengingkarinya serta orang yang meriwayatkan dari yang lemah. Atau sebagai yang dicurigai pendusta, namun tidak mustahil bagi saya untuk meriwayatkan satu hadis dari tafsirnya dan juga dikenal sebagai kelompok Waqifiyah (yang meyakini Imam Musa bin Jafar sebagai Imam terakhir dan tidak mengakui imam-imam setelahnya), kelompok yang paling memusuhi Imam Ali ar-Ridha. Atau sebagai orang Ghuluw (melebih-lebihkan) dan pendusta. Atau sebagai yang lemah (hadisnya), tidak dilirik dan dijadikan sandaran serta termasuk para pembohong. Atau sebagai yang rusak periwayatannya dihukumi dengan Ghuluw.”[2]

Sehingga jelas dengan pemaparan di atas bahwa riwayat-riwayat yang menunjukkan atau mengindikasikan tahrif tidak dapat diterima. Sebab, selain kandungannya yang bertolak belakang dengan dalil-dalil kuat dari al-Quran dan sunnah yang mutawatir, juga akar sanad-sanadnya tidak memiliki kekuatan yang bisa melahirkan Ithmi’nan untuk bersandar padanya.

[1] Alaa’ al Rahman Fi Tafsir al-Quran, jil: 1, hal: 26, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut.

[2] Ibid.