Bagaimana Rumus Zakat Pedagang “Online”
Zakat tijarah merupakan zakat yang dipungut atas harta niaga (‘urudllu al-tijarah). Komponen penyusun dari harta niaga (urudl al-tijarah) ini meliputi: harta naqd (uang yang sudah terkumpul dari hasil penjualan); qimatu al-sil’i (harga beli barang ditambah laba yang diharapkan); dan al-duyun al-marjuwwah (piutang dagang yang dapat diharapkan cepat selesainya sampai penghujung haul / masa tutup buku), dikurangi ma ‘alaihi mina al-duyun (piutang atau utang dagang yang tidak bisa diharapkan selesainya sampai batas akhir tahun tutup buku).
Jadi jika diformulasikan, maka rumus dari urudl al-tijarah adalah sebagai berikut:
Urudlu al-tijarah = naqd + qimatu al-sil’i + al-duyun al-marjuwwah – ma ‘alaihi min al-duyun
Sebenarnya formulasi ini masih menyimpan banyak penjelasan. Karena dikhawatirkan masyarakat/petugas pemungut zakat salah persepsi ketika menyebut istilah urudl al-tijarah, yakni dengan menyederhanakan artinya sebagai modal dagang saja. Karena istilah modal dagang, itu seringkali hanya merujuk pada pengertian uang / modal yang dipergunakan untuk kulak barang. Padahal tidak demikian.
Urudl al-tijarah itu turut serta melibatkan laba yang dikehendaki. Mengapa? Karena laba itu adalah bagian dari harta milik yang termasuk di dalam barang yang diniagakan. Akan tetapi, laba ini sifatnya masih tertahan sehingga kepemilikannya bersifat dla’if (lemah). Meski sifatnya lemah, seiring lakunya barang oleh pembeli, maka sifat kepemilikan itu menjadi kuat.
Jadi, kedudukan laba ini seolah sama dengan harta yang dighashab (al-mal al-maghsub). Sifat barangnya masih menjadi milik pemilik aslinya, meski lemah. Akan tetapi seiring dikembalikannya barang, maka barang tersebut statusnya berubah kembali menjadi milik sempurna. Jika telah mencapai haul, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Demikianlah status laba itu dalam kedudukannya terhadap urudl al-tijarah.
Sekarang kita fokus pada urudl al-tijarah-nya harta niaga online/daring. Sebagaimana kita tahu, bahwa niaga daring itu ada dua macam, yaitu pertama sebagai pedagang reseller, dan kedua sebagai pedagang dropship. Kita telaah satu per satu dari kedua jenis pedagang ini.
Pedagang “Reseller”
Pedagang reseller ini adakalanya menjual barang yang memang sudah menjadi milik sendiri dan adakalanya juga menjual barang yang berasal dari utang dagang. Ciri dari pedagang ini, adalah bahwa barang yang dijual, sudah ada di dalam gudang tempat penyimpanan barang miliknya. Jadi, seandainya ada pembeli yang memesan, maka dia tinggal mengirim barangnya, dan tidak perlu mencari dulu, atau kulakan dulu.
Untuk kategori pedagang reseller seperti ini, maka cara menghitung barang wajib zakatnya adalah mengikuti rumus sebagaimana sudah disebutkan di muka. Pertama yang harus dilakukannya adalah menentukan awal haul ia mulai berdagang.
Misalnya bulan Maulud adalah awal tahun ia memulai buka usaha. Maka terhitung sejak tahun itu harta yang didapat dari perdagangan, mencakup harta dari barang yang telah laku, ditambah taksiran dari harga jual barang yang ada (harga beli + laba yang diharapkan), ditambah dengan piutang dagang yang positif diharapkan bisa lunas di akhir haul, atau setidaknya mendekati akhir haul. Sifat positifnya ini harus bersifat dapat dipastikan. Adapun untuk piutang yang belum dapat dipastikan kapan pelunasannya, maka tidak dihitung sebagai bagian dari harta dagang.
Bilamana harta dagang itu diperoleh dari hasil utang barang, maka harta ini tidak dihitung sebagai bagian dari yang wajib dizakati, sebab harta hasil utang bersifat lemah. Jadi, tidak wajib zakat. Adapun, harta utang, akan tetapi telah laku jual kepada pembeli, maka harta tersebut masuk kaategori piutang dagang yang wajib dizakati, dengan catatan ada kepastian waktu pelunasannya.
Harta utang dagang yang demikian ini telah berubah statusnya dari kepemilikan lemah menjadi kepemilikan kuat disebabkan telah terjual dan ada kepastian pelunasannya oleh pembeli. Jadi, langkah kedua bagi pedagang reseller terhadap kewajiban zakatnya adalah menaksir harta dagang yang dimilikinya plus laba yang diharapkan, termasuk piutang dagang dikurangi harta dagang yang diperoleh dari utang.
Pedagang “Dropship”
Pedagang dropship dikenal juga sebagai pedagang yang hanya berlaku sebagai makelar atau setidaknya wakil dari pedagang aslinya. Dengan demikian, harta dagang bagi pedagang dropship ini dibedakan menjadi dua, untuk kategori wajib tidaknya dikeluarkan zakatnya.
Makelar (Samsarah)
Makelar atau samsarah merupakan pihak yang menjual barang yang masih ada di tangan orang lain, akan tetapi ia sanggup untuk memenuhinya bilamana ada orang yang memesan. Akad ini diakui sebagai sah dalam Madzhab Maliki. Dan dalam Madzhab Syafii, jual beli yang demikian ini masuk rumpun jual beli barang ghaib yang masyhur dilihat.
Sebagian kalangan Syafiiyah membolehkannya dan menganggap akadnya sah bila barang yang dijual sudah umum dikenal masyarakat. Jika barang itu tidak umum di masyarakat serta sama-sama belum mengetahuinya, maka mazhab ini menetapkan status jual belinya sebagai tidak sah.
Untuk kategori zakat jenis perdagangan yang diperoleh dari akad dropship tipe makelar seperti ini adalah hitungan haul dimulai semenjak awal masa publikasi resmi dari pihak makelar untuk melakukan transaksi. Harta dagang yang dihitung sebagai urudl al-tijarah hanya berlaku atas harta yang sudah laku dijual kepada konsumen, dan bukan barang yang masih belum dijual.
Jadi, meskipun di lapaknya dia mengabarkan menjual barang 100 macam barang elektronik, namun yang laku hanya satu macam barang saja, maka dia tidak dikenai wajib zakat setelah tiba masanya haul. Sampai di sini, kita perlu mencermatinya.
Wakil Pedagang (Wakalah)
Pedagang daring yang bertindak selaku wakil pedagang ini dicirikan dengan kondisi barang yang dijual ada di dua tempat. Pertama, ada kemungkinan barang itu sudah ada di tempat gudangnya, dan kedua, adakalanya barang itu masih ada di gudang pedagang asli.
Pedagang menjual hanya bertindak selaku wakil saja. Harga dan laba barang, ditetapkan oleh penjual langsung atau dalam kasus jual beli amanah kadang laba itu juga bisa ditentukan oleh wakil.
Selaku wakil, pihak pedagang satu ini tidak bisa dikategorikan sebagai pemilik barang. Baik barang itu terjual atau tidak, selaku wakil ia tidak berhak atas hak milik barang dagangannya. Karena bukan bertindak selaku pemilik, maka dalam hal ini ia tidak wajib mengeluarkan zakat. Wallahu a’lam bi al-shawab. (SI)