Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ibnu Taimiyah dan Nikah Mut’ah

1 Pendapat 05.0 / 5

Ketika mendengar nama Ibnu Taimiyah, pikiran kita akan terbawa kepada sosok seorang ulama dan ahli fatwa yang menjadi rujukan kaum Salafi Wahabi. Beliau dikenal juga dengan sebutan ‘Syaikhul Islam’. Sosok Ibnu Taimiyah menjadi kotroversial, dikarenakan beberapa pendapat-pendapat, fatwa-fatwa, dan pandangan-pandangannya yang signifikan berbeda dengan pandangan beberapa ulama lainnya.

Pada kesempatan kali ini, kita akan bahas pandangan beliau tentang nikah mut’ah. Apakah beliau menganggap nikah mut’ah sebagai zina? Atau sesuatu yang kotor? Atau seperti apa? Terkadang kita mendengar dari orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya dan pecintanya yang mengatakan bahwa mut’ah sama dengan zina dan menganggap muslim yang membolehkan nikah mut’ah sebagai seorang yang sesat karena telah membolehkan zina. Namun, apakah tuduhan tersebut sesuai dengan pendapat Ibnu Taimiyah? Mari kita lihat!

Dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (murid dari Ibnu Taimiyah) menukil pernyataan Ibnu Taimiyah. Ia berkata: Aku mendengar Syaikhul Islam berkata: nikah mut’ah lebih baik dari nikah tahlil[1] dalam 10 hal.[2] -Dan kami hanya akan menyebutkan beberapa saja-.

Sesungguhnya Sahabat telah melakukan mut’ah di masa Nabi Saw, dan tidak melakukan nikah tahlil.[3]

Bahwa nikah mut’ah, para sahabat berikhtilaf dalam hal tersebut, dan Ibnu Abbas membolehkannya, dan jika disebutkan bahwa dia (Ibnu Abbas) telah menarik kembali penghalalannya, maka Abdullah bin Mas’ud membolehkannya. Dalam “As-Shahihayn” darinya (Ibnu Mas’ud), berkata: “Kami sedang berperang bersama Nabi SAW dan tidak ada perempuan bersama kami. Kami berkata: ‘Tidak haruskah kami berkebiri?’ Beliau melarang kami dari hal tersebut dan setelah itu mengijinkan kami untuk menikahi perempuan dengan pakaian hingga masa tertentu.” Kemudian Abdullah membaca: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu.” (QS: al-Maidah: 87) dan fatwa Ibnu Abbas terkait mut’ah adalah masyhur. Urwah berkata: Abdullah bin Zubair berdiri di Mekah lalu berkata sambil mengejek Ibnu Abbas: sebagian orang telah Allah butakan hati mereka sebagaimana Ia butakan mata mereka,  dan mereka memfatwakan mut’ah. kemudian Ibnu Abbas berteriak dan berkata: wahai orang yang tidak bermoral sesungguhnya mut’ah telah dilakukan di masa Imam Al-Muttaqin (Rasulullah). Lalu Ibnu Zubair berkata kepadanya: cobalah lakukan! Jika engkau melakukannya, demi Allah aku akan merajam mu dengan batu.  (ibnu Taimiyah berkata): inilah perkataan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas perihal mut’ah.[4]

Tidak ada satupun kata laknat yang keluar dari Rasulullah bagi orang melakukan nikah mut’ah. dan sebaliknya terdapat laknat rasul dan sahabat untuk nikah tahlil.[5]

Sesungguhnya orang yang melakukan mut’ah memiliki tujuan yang benar buat perempuan. Tujuan tersebut ialah ditentukannya tempo pernikahan sedangkan nikah tahlil tidak[6]

Sesungguhnya orang yang melakukan mut’ah menginginkan perempuan tersebut untuk dirinya sendiri. Dan inilah rahasia dari pernikahan yang benar. Sedangkan nikah tahlil tidak menginginkan halalnya perempuan untuk dirinya, melainkan untuk orang lain.[7]

Nikah mut’ah tidak bertentangan dengan fitrah dan akal, karena jika bertentangan maka tidak akan pernah di bolehkan di masa awal Islam.[8]

[1] Nikah Tahlil adalah pernikahan yang dilakukan dengan tujuan menghalalkan seorang perempuan untuk suami pertamanya yang sudah ditalak tiga kali. Sebagaimana kita ketahui bahwa istri yang sudah di talak tiga tidak bisa rujuk pada suaminya kecuali ia menikah dengan lelaki lain kemudian ia ditalak. Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya nikah tersebut.

[2] Ighatsatul Lahfan min mashaayid as-syaiton Juz 1 Hal. 490 Cet. Daru Alim Alfawaaid

[3] Ibid

[4] Ibid Hal. 491

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Ibid Hal. 492

[8] Ibid