NYAMAN, SENANG DAN BAHAGIA
Dalam khazanah mutiara hikmah Ahlulbait kenyamanan, kesenangan dan kebahagiaan bukanlah sinonim.
Kenyamanan (الراحة) adalah peristiwa fisikal. Pelakunya adalah raga.
Kenyamanan terjadi secara gradual ketika raga tak melawan gravitasi menuruti keputusan intelek dan ruh. Ia memilih diam dari bergerak, atau memilih sedikit gerak dari banyak gerak. Ia memilih gerak tanpa hambatan, atau memilih gerak dengan hambatan lebih sedikit dan singkat, dan begitulah seterusnya. Ketika berhasil tak bergerak atau melakukan sedikit gerak dengan hambatan lebih sedikit, ia menjadi nyaman.
Demi kenyamanan (bergerak lebih sedikit dengan hambatan lebih sedikit), sebagian orang mencuri, korupsi, menipu, memeras dan melakukan sedikit gerak demi mencapai kesenangan yang dikiranya sebagai kebahagiaan.
Karena mengira kenyamanan dan kesenangan sebagai kebahagiaan, banyak orang berebut mencari kenyamanan dan kesenangan.
Karena mengira kenyamanan sebagai kebahagiaan, banyak orang menghindari sebisa mungkin segala tugas berisiko dan tanggung jawab yang mengurangi kenyamanan. Bahkan kadang pencari kenyamanan mencemooh orang-orang yang bekerja keras dan para relawan yang menerima tugas berisiko tinggi tanpa sedikit pun kenyamanan sebagai kekonyolan dan kebodohan.
Mengikuti aturan, bekerja sama, berbagi tugas, apalagi mematuhi dan mengikuti arahan dan instruksi pemimpin, apalagi ditambahkan dengan risiko dibenci, dimiskinkan, dikucilkan, diancam, dilukai dan dibunuh oleh musuh adalah sederet peristiwa kontra kenyamanan.
Kesenangan (الفرح) adalah peristiwa mental dan emosional. Pelakunya adalah jiwa (النفس). Kesenangan adalah produk persepsi diri tentang sesuatu yang telah diperoleh oleh raga berupa kenyamanan. Rasa keberhasilan dipersepsi sebagai sesuatu yang diharapkan dan dikehendaki adalah kesenangan. Kenyamanan melahirkan kesenangan. Inilah kebahagiaan ragawi. Singkatnya, kesenangan adalah kebahagiaan ragawi.
Sayangnya, kesenangan kerap kali dipahami sebagai kebahagiaan. Padahal kebahagiaan (السعادة)adalah peristiwa eksistensial yang hampir pasti dialami setelah mengabaikan kenyamanan dan kesenangan. Pelakunya adalah ruh dalam terminologi Quran atau akal (العقل) dalam terminologi filsafat metafisika.