Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Tafsir Misoginis (1): Memahami Teks-Teks Agama yang Berkonotasi Negatif (bagian2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Kedua, benar perempuan mendapatkan dispensasi dalam beberapa ibadah, tapi perempuan lebih cepat mencapai usia taklif.  Usia balig perempuan adalah 9 tahun sedang laki-laki 15 tahun.  Lalu pada usia 50 tahun seorang perempuan memasuki masa menopause hingga tak punya halangan lagi untuk beribadah secara penuh. Bahkan pada masa kehamilan dan menyusui, Allah SWT memberi pahala istimewa pada perempuan.  Rasulullah Saw pernah bersabda, “Pahala perempuan hamil seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah. Melahirkan akan membuat dosa-dosa perempuan terampuni. Begitu pula, pahala perempuan  yang menyusui seperti pahala orang yang membebaskan budak di jalan Allah.” Karena itu, secara kuantitas tidak ada perbedaan waktu ibadah antara laki-laki dan perempuan.

Ketiga, ada penafsiran lain dari hadis yang mengatakan ‘perempuan imannya kurang’. Mungkin hadis ini mengisyaratkan bahwa dispensasi dalam ibadah yang diberi pada wanita bisa berpotensi memperlemah iman. Dalam hadis lain yang terkait dengan masalah menstruasi,  perempuan disunahkan membersihkan dirinya lalu berwudhu saat waktu shalat tiba. Setelah itu duduk menghadap kiblat  dan dia bisa berzikir, berdoa’ atau bermunajat kepada Allah SWT. [Tahrir Wasilah, Bab Hukum-Hukum bagi Wanita Menstruasi].  Dengan demikian,  perempuan bisa mengisi kekosongan hubungan spiritual yang mungkin tercipta karena terputusnya beberapa ritual ibadah sehari-hari akibat menstruasi lewat ibadah yang lain.

Keempat,  Allah  SWT memang menciptakan sistem anatomi tubuh yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.  Setelah masuk usia balig, setiap bulan dinding rahim perempuan mempersiapkan diri sedemikian rupa untuk menampung sel telur yang sudah dibuahi. Saat tidak terjadi pembuahan, dinding rahim akan luruh dan terjadilah pendarahan (menstruasi). Dengan kata lain, menstruasi sudah menjadi suratan penciptaan perempuan dan berada di luar ikhtiarnya. Lalu apakah mungkin Allah menghukumi kondisi perempuan itu sebagai sesuatu yang negatif sementara hal itu di luar ikhtiar perempuan?

Kelima, banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang membahas persamaan nilai  dan kesempurnaan antara laki-laki dan perempuan, seperti dalam surat Al-Ahzab: 35, Ali-Imran:105 dan ayat lainnya. Bahkan dalam surah At-Tahrim ayat 11, Al-Qur’an dengan jelas menyatakan istri Firaun sebagai teladan bagi orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan.  Andai semua perempuan imannya kurang, bagaimana mungkin sebagian mereka dijadikan teladan bagi orang-orang beriman?  Begitu pula, banyak hadis lain yang menjelaskan keagungan perempuan yang sempurna imannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Derajat Fathimah sejajar dengan Ali dan lebih utama dari para lelaki di zamannya.” [Biharul Anwar, jil 30, hal 48]

Keenam, kondisi saat hadis disampaikan. Imam Ali as menyatakan hal tersebut pada Ummul Mukminin Aisyah setelah Perang Jamal yang memakan banyak korban. Ini mengisyaratkan bahwa setiap perempuan yang melakukan hal sama seperti yang dilakukan oleh Ummul Mukminin Aisyah dalam Perang Jamal (mudah diprovokasi dan dihasut hingga terjadi fitnah besar di kalangan umat Islam) maka dia akan masuk dalam kategori hadis tadi.