Berbagai Masalah Taklid (2)
Tempat-tempat Tidak Dibolehkan ’Udul:
a. ‘Udul dari mujtahid hidup kepada mujtahid hidup lainnya—secara ihtiyath wajib—tidak dibolehkan, kecuali mujtahid tersebut tidak memenuhi sebagian syarat marja’iyah. Misalnya marja’ yang kedua a’lam dibandingkan marja’ pertama dan fatwanya bertentangan dengan fatwa marja’ yang pertama.
b. Tidak boleh kembali bertaklid kepada mujtahid yang sudah mati setelah ‘udul darinya kepada mujtahid hidup dalam masalah-masalah yang di dalamnya ia sudah berpindah taklid darinya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 31, 38, 39, 45, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 5)
Catatan:
Adanya dugaan bahwa fatwa seorang marja’ a’lam itu tidak sesuai dengan zaman atau kondisi pada masanya atau sulit diamalkan, tidak bisa dijadikan sebagai alasan kebolehan ‘udul darinya kepada mujtahid lain. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 45)
Berbagai Masalah Taklid
Ketika seorang mukalaf di tengah-tengah melakukan salat berbenturan dengan masalah yang ia belum ketahui hukumnya, ia dibolehkan mengamalkan salah satu dari dua pilihan yang dimungkinkannya sampai ia menyelesaikan salatnya. Tetapi setelah salat ia harus menanyakan masalah tersebut. Apabila ternyata apa yang telah ia lakukan itu menyebabkan batal salatnya, maka ia wajib mengulangi lagi salatnya. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Taklid, Masalah 6)
Jahil (tidak mengetahui)—dari satu sisi—terbagi dua:
a. Jahil Qashir: Seseorang yang sama sekali tidak menyadari ketidaktahuannya atau ia tidak mengetahui cara menghilangkan ketidaktahuannya tersebut.
b.Jahil Muqashshir: Seseorang yang menyadari ketidaktahuannya dan ia pun mengetahui cara menghilangkannya, tetapi ia enggan untuk
mempelajari hukum-hukum. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 46 dan 47)
Ihtiyath wajib ialah kewajiban melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan karena ihtiyath (kehati-hatian). Dalam ihtiyath wajib si mukalid dibolehkan merujuk kepada mujtahid yang tidak ber-ihtiyath dan mempunyai fatwa yang jelas, tetapi harus menjaga urutan a’lamiyah-nya. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 8 dan 48)
Beberapa istilah yang biasa terdapat di dalam kitab-kitab fikih seperti: ”Fihi Isykal”, ”Musykil” dan ”La Yakhlu Min Isykal” menunjukkan atas ihtiyath. Kecuali istilah ”La Isykala Fihi”, ia menunjukkan atas fatwa. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 50)
Dalam pengamalan hukum tidak terdapat perbedaan antara istilah ”tidak boleh” dengan istilah ”haram”. (Ajwibah al-Istifta’at, No. 51)