Kisah Sujudnya Iblis Kepada Manusia, Fakta atau Fiktif? (1)
Pertanyaan:
Apakah kisah tentang keengganan Iblis untuk sujud itu memang suatu fakta atau hanyalah cerita fiktif?
Jawaban:
Salah satu cara salah satu bagian dari definisi (ta’rif) adalah ta’rif bil mitsal atau mendefinisikan sesuatu dengan menyampaikan contoh-contoh yaitu menjelaskan hakikat yang rasional dengan cerita-cerita penjelasan yang tidak abstrak, bisa disentuh, metode ini digunakan agar mudah dipahami untuk sebagian besar manusia. Sebab manusia umumnya lebih akrab dengan hal-hal yang dekat dengan kehidupan mereka dan cara seperti ini juga dipakai oleh al-Quran dalam menyampaikan penjelasan-penjelasan tertentu lewat bahasa yang mudah difahami oleh para pembacanya.
Kisah Iblis dalam al-Quran juga adalah bagian dari cara yang dipakai oleh al-Quran untuk menjelaskan tujuannya. Ada dua pendapat terkait dengan itu apakah cerita-ceita itu dalam al-Quran itu kenyatan atau fiktif belaka.
Pandangan pertama mengatakan, bahwa kisah-kisah ini hanyalah simbol dan sama sekali tidak ada faktanya di luar. Kisah-kisah seperti itu disampaikan untuk menjadi jalan yang mudah dicerna oleh para pendengarnya. Agar mereka bisa menangkap benang merah dan kandungan makna yang mendalam dan rahasia-rahasia yang dibalut oleh kata-kata tertentu. Sebagian lain berpandangan bahwa kisah-kisah ini memiliki kenyataan di luar dan bukan lagi sekedar dongeng belaka.
Ada kemungkinan bahwa kisah Iblis adalah kisah simbolis saja yaitu simbolis takwini karena sulit untuk menerima itu sebagai sebuah hakikat yang real sebab perintah tuhan ini bisa dalam format amr maulawi/amr tasyri atau amr takwini. Jika dipahami sebagai amr maulawi/tasyri’i (perintah yang berkonsekuensi hukum) maka ini juga sulit diterima sebeb perintah sujud tidak hanya berlaku untuk Iblis tapi juga untuk malaikat sementara malaikat tidak mungkin menjadi objek taklif dan perintah sujud juga tidak mungkin terbagi menjadi dua kategori agar bisa tasyri’i dan tamstili.
Jika perintah itu bagian dari amr takwini maka itu adalah takwini (tata-cipta) dari Allah Swt, dan tidak mungkin tidak terealisasi dan secara mesti, harus ada. Tidak mungkin ada penentangan sementara Iblis pada kenyataanya tidak sujud. Ia menentang perintah itu, jadi tidak ada jalan lain selain menafsirkannya sebagai kisah tamtsili saja, hanya saja kisah tamtsili tidak selalu fiktif dan tidak berarti tidak ada peristiwa aslinya. Artinya itu adalah sebuah kenyataan dalam kategori akal yang diekspresikan dalam bahasa yang bisa dicerap inderawi. Dan jangan sekali–kali ada anggapan bahwa peristiwa besar dan merupakan bagian dari sebuah penjelasan agama ini tidak memiliki bukti-bukti eksternal.
Denga penjelasan di atas kita segera ingin mengetahuki hakikat iblis itu sendiri.
1. Pengertian Iblis dan tamtsil.
Iblis yang diceritakan ayat al-Quran adalah sebuah makhluk yang hidup, memiliki kesadaran dan kecerdasan, mendapatkan tugas, tidak terlihat dan pandai menipu.Ia menentang perintah tuhan untuk bersujud sehingga terusir dan mendapatkan ancaman siksaan. Di sebagian ayat ia lebih sering disebut sebagai setan dan hanya ada di dalam sebelas ayat ia disebut sebagai Iblis.[1]
Menurut Lisân al-‘Arab, Iblis diartikan sebagai sosok yang putus asa dari rahmat Tuhan dan yang menyesali. Al-Quran juga menyinggung identitas Iblis yaitu, Kana min al-jinn (ia bagian dari golong jin).[2] Berbagai nama Iblis tidak mengubah identitas Iblis yang sejati dan tentang redaksi Iblis sendiri ada yang meragukan apakah ia berasal dari bahasa Arab atau tidak.[3]
Tamtsil artinya membuat misal, contoh, perumpamaan. Raghib Isfahani penulis kitab Mufradât al-Qur’ân, mengatakan demikian, “Matsal adalah menjelaskan sesuatu kata dengan perumpamaan.”
2- Pendefinisian dengan contoh dan metode tamtsil versi al-Quran:
Definisi itu ada yang menggunakan had, rasm (desription) atau dengan contoh (matsal). Sebab tidak semua orang bisa mencerap definisi dengan had atau dengan rasm, lantaran untuk menyoroti genus (jins) setiap terma bukanlah pekerjaan yang mudah. Berbeda dengan penjelasan lewat contoh, cerita atau perumpaman. Sebab yang dibidik oleh definisi dengan tamtsil adalah hal-hal yang akrab dan dekat dengan daya dan wawasan obyek bicara.
Dari satu sisi, tamtsil memang mendekatkan kata-kata dengan pikiran obyek bicara (mukhatab) tapi dari sisi lain ada hal-hal yang mungkin direduksi dari definisinya. Contohnya saat harus dijelaskan tentang hubungan antara badan dan ruh. Bisa dijelaskan lewat perumpamaan bahwa badan itu seperti kapal dan ruh itu seperti nakhoda, atau seperti penguasa dengan kota. Jadi ruh di dalam badan seperti seseorang yang berkuasa di dalam sebuah kota atau layaknya seorang nakhoda dan bahteranya.[4]
Imam Husain As dan Imam Shadiq As bersabda, “Ilmu pengetahuan (ma’arif ) al-Quran terbagi dalam empat bagian, sebab daya tampung manusia juga berbeda satu sama lain; yaitu ibârah, isyârah, lathâif dan haqâiq. Ibârah untuk orang-orang awam, isyârah untuk orang-orang khusus, dan lathâ’ifuntuk para auliya dan haqâ’iq untuk para nabi.”[5]
Meskipun berbeda-beda tapi semua adalah obyek bicara al-Quran; semuanya sama untuk memahami pesan-pesan dari langit.
Inti dari matsal adalah adanya kesamaan antara definisi dengan perumpamaan tersebut, mempermudah penjelasan konsep dan karena itu jarang yang mempermasalahkan perumpamaan.
Mengumpamakan al-Hak dengan cahaya dan kebatilan dengan kegelapan adalah salah satu matsalyang sangat populer di kalangan masyarakat arab dan juga non arab seperti yang bisa dilihat dalam kitab-kitab Taurat dan Injil.[6]
Bersambung...