Kisah Sujudnya Iblis Kepada Manusia, Fakta atau Fiktif? (2)
Ada dua pendapat tentang tamtsil (alegoris) dalam al-Quran yaitu bahwa pertama bahwa tamtsil itu sekedar perumpaan belaka (fiktif) dan demi untuk menurunkan konsep-konsep yang berat sementara pendapat kedua mengatakan bahwa tamtsil di dalam al-Quran memang berbicara tentang suatu fakta yang ada.
Perbedaan ini misalnya bisa dilihat ketika Allah menyerupakan manusia dengan keledai, atau anjing menurut pendapat yang pertama bahwa manusia bukanlah benar-benar keledai atau anjing. Tapi memiliki kesamaan dari sisi tidak mau menerima kebenaran. Sementara dalam pandangan kedua memang manusia itu hakikatnya adalah keledai atau anjing dan bentuknya yang asli tersebut akan muncul di dalam hakikat. Karena itu di dalam ayat al-Quran ada kalimat wa idza al-wuhusyu husyirat(saat binang-binatang buas dikumpulkan).[7]
Apakah kisah tentang Iblis tidak mau bersujud itu kisah fiktif atau real?
Untuk menjawabnya, ada hal-hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa perintah sujud itu tidak mungkin sebuah perintah yang hakiki sebab ada dua jenis perintah pertama perintah tarsyri’i seperti “Dan rukulah bersama orang-orang yang ruku! (Qs. Al-Baqarah [2]: 43) dan kedua perintah takwini, seperti “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa,” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh,” (Qs. Fushshilat [41]:11) dua perintah ini adalah dua perintah yang tidak dapat dihindari. “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka terjadilah ia.” (Qs. Yasin [36]:82)
Menukil sabda Imam Ali bahwa firman Allah Swt itu, bukanlah suara atau sahutan yang terdengar bunyinya, melainkan khalq dan ijad (penciptaan).
Dan kedua perintah itu sulit terjadi dalam kisah iblis, sebab jika itu takwini maka artinya sujud tidak boleh dilanggar sebab perintah takwini artinya perintah yang berurusan dengan penciptaan (khalq dan I’jâd) adalah perintah yang pasti terlaksana. Adapun keberatan perintah itu tasyri’i karena malaikat bukan makhluk yang pantas mendapatkan perintah tasyri. Makhluk-makhluk suci tidak mungkin melanggar perintah Allah, ketaatan adalah keniscayaan (dharuri) karena itu tidak ada pada tempatnya mengeluakan perintah dalam bentuk tasyri’i terhadap mereka.
Ada beberapa pendapat lain tentang hal tersebut :
Pertama, bahwa perintah tasyri ini itu bisa berlaku untuk Iblis sebab ia adalah dari golongan jin dan ia juga seperti manusia mendapatkan taklif dari Tuhan.
Kedua, Iblis dari golongan jin.
Ketiga, Iblis mendapatkan perintah tasyri’i untuk sujud karena itu ia juga bisa melanggar atau mematuhinya. Keempat, malaikat dan Iblis sama-sama mendapatkan perintah sujud itu berlaku untuk malaikat dan juga untuk Iblis
Dengan keempat mukadimah itu bagaimana mungkin terjadi dua perintah yaitu bahwa yang satu perintah tasyrii untuk Iblis dan satu lagi perintah takwini untuk malaikat?
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa, Pertama, perintah itu pada awalnya hanya ditujukan untuk malaikat tapi kemudian Iblis juga dimasukan di dalamnya. Jadi hakikatnya bukan perintah tasyri’i.
Kedua, adanya dugaan bahwa Iblis mendapat perintah tasyri tidak mengubah perintah takwni itu menjadi perintah tasyri’i.
Ketiga, adanya dua perintah terhadap Iblis memerlukan dukungan argumen yang kuat – namun sebagian menyataka kemungkinan ada dua perintah itu dengan bersandar pada teks ayat idz ammartuka.
Keempat, adanya dua perintah karena ada perbedaan sasaran perintah juga memerlukan justifikasi dan sampai sekarang belum ada penjelasan seperti itu.
Kesimpulan
Atas dasar asumsi-asumsi di atas maka bisa disimpulkan bahwa perintah sujud itu bukan tasyri dan bukan takwini dan dan juga tidak mungkin bisa dibayangkan ada bentuk ketiga atau perintah lain karena kedua-duanya tidak bisa disatukan. Satu-satunya jalan adalah bahwa perintah sujud itu diinterpretasikan sebagai perintah tamtsil yaitu perintah dalam bentuk metaforis atau alegoris. Meskipun tamtsili (alegoris) bukan berarti perintah sujudnya tidak ada alias tidak real atau dengan artian itu adalah sebuah kenyataan dalam kategori akal yang diekspresikan dalam bahasa yang bisa dicerap inderawi. Seperti yang terjadi di dalam surah al-Hasyr perihal turunnya al-Quran di atas gunung yang berbunyi “Sekiranya kami menurunkan al-quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabka takut kepada Allah, Dan itu tamtsil (perumpaman-perumpamaan ) kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir (Qs. al-Hasyr [59]: 21).[8]
Adanya perintah untuk besujud kepada Adam bukanlah perintah takwini dan juga bukan perintah tasyri’i tapi sebuah tamtsil dari sebuah realitasnya yaitu maqam yang paling agung di dunia adalah maqam kemanusiaan (insaniah); deraja khalifatuLlah manusia , sehingga para malaikat bersujud sementara Iblis memberontaknya. [9]
Tujuang penggunaan matsal dalam bahasa al-Qur’an
Pelbagai matsal yang digunakan dalam al-quran mengandung beberapa tujuan di antaranya yaitu :
1. Untuk memberi peringatan tentang kebenaran risalah para nabi;
2. Untuk menjadi bahan refleksi tentang segala sesuatu;
3. Untuk memahami segala sesuatu;
4. Dan tujuan-tujuan ini adalah fase-fase perjalanan kesempurnaan, pengetahuan dan persepsi manusia. Yang sudah disinyalir di dalam surah Ibrahim ayat 25, surah Al-Hasyr ayat 21 dan surah al-‘Ankabut ayat 43. [10]
[1]. Sayid Ali Akbar Quraisyi, Qamus al-Quran klausul Iblis
[2]. Indeks: Syaitan, Malaikat atau Jin?, pertanyaan 857
[3]. Ayatullah Jawadi Amuli, Tasnim, jil. 3 , 318.
[4]. Ibid, jil. 2, hal. 525.
[5]. Bihârul Anwâr, jil. 75, hal. 278
[6]. Tasnim, jil. 2, hal. 509.
[7] Ibid, hal. 231.
[8]. Ayatullah Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Mau’dhui, jil. 6, hal. 183.
[9] Tamtsil itu dapat berlaku jika mendapat dukungan naqli dan akli , jadi akidah dan yang lain tidak dapat menjustifikasi adanya tamtsil.
[10] Ayatullah Makarim Shirazi, Mitsalhâ-ye Zibâ-ye Qur’ân, hal. 15.