KHAWARIJ ADALAH PROKSI REZIM UMAYAH, BUKAN KELOMPOK KETIGA
Khawarij dilukiskan oleh para sejarawan pro rezim dinasti Umayyah sebagai kelompok ekstrem ketiga yang muncul di antara kubu Muawiyah dan kubu Imam Ali. Padahal ia adalah kelompok bikinan Muawiyah sebagai proksi yang bertugas membebaskan dan menguci tangan rezim Muawiyah dari kejahatan terutama dalam pembunuhan Ali dan teror terhadap Syiah. Salah satu buktinya, Ali dan Al-Hasan dibunuh, sedangkan Muawiyah dan kroninya tak menjadi target Khawarij. Sayangnya, hoax tentang Khawarij sebagai kelompok ketiga yang menentang Ali dan Muawiyah hingga kini masih ditelan mentah-mentah oleh banyak umat Islam.
Sejarawan awal seperti Ibnu Hisyam, penulis Sirah Nabawiyah dan At-Thabari, penulis Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, menulis di bawah patronase kekuasaan Abbasiyah, yang memiliki rivalitas politik dengan Umayyah.
Dinasti Umayyah berkepentingan melanggengkan stigma bahwa semua kekacauan pasca-Ali berasal dari kelompok ekstrem (Khawarij) dan Syiah sehingga mereka bisa menampilkan diri sebagai "penjaga persatuan umat".
Fakta pembunuhan Ali dan Hasan bin Ali sebagai korban utama, sementara Muawiyah selamat, mestinya menyadatkan kita tentang konspirasi keji di balik penindasan terhadap Ahlulbait.
Muawiyah adalah politisi licin. Dalam Perang Siffin (657 M), ia menggunakan tipu daya (seperti mengangkat Al-Qur'an di tombak) untuk memaksa Ali menerima arbitrase, yang konon memicu perpecahan di kubu Ali dan lahirnya Khawarij.
Khawarij menjadi alat tidak langsung bagi Muawiyah: semakin Ali sibuk melawan Khawarij, semakin lemah posisinya untuk menghadapi Muawiyah. Ini adalah bentuk proxy wa klasik.
Ada indikasi bahwa rezim Umayyah tidak secara serius memburu Khawarij pasca-Ali, padahal mereka menguasai jaringan intelijen kuat. Ini bisa ditafsirkan sebagai upaya membiarkan Khawarij menghabisi sisa pendukung Ali.
Al-Hasan bin Ali (cucu Nabi) tewas diracun pada 670 M oleh kaki tangan Muawiyah karena kematiannya mengurangi tekanan politik dan moral terhadap rezimnya.
Pola serupa terlihat pada pembunuhan Hujr bin Adi (sahabat Ali) oleh Gubernur Umayyah di Kufah, Ziyad bin Abih (670 M). Rezim Umayyah aktif membungkam pendukung Ali, sementara Khawarij diframing sebagai "musuh bersama".
Meski narasi resmi mainstream menyatakan Khawarij sebagai faksi ketiga yang sama-sama memusuhi Ali dan Muawiyah, fakta bahwa korban utama Khawarij adalah pendukung Ali, termasuk tokoh seperti Abdullah bin Khabbab yang dibantai karena menolak mengutuk Ali, menunjukkan bias politik.
Khawarij tidak pernah menyerang basis kekuatan Muawiyah di Syam, tetapi fokus pada wilayah Irak dan Persia yang menjadi basis Ali. Ini menguatkan tesis bahwa Khawarij dimanfaatkan untuk melemahkan basis Ali, bukan mengganggu Muawiyah.
Jika rezim Umayyah bisa merekayasa surat palsu untuk memecah belah lawan (seperti yang dilakukan Muawiyah terhadap Malik al-Asytar, panglima Ali, sangat logis bahwa pergerakan Khawarij dikendalikan dari istana Damaskus.
Sejarah Islam awal ditulis oleh sejarawan yang hidup di bawah kekuasaan Abbasiyah, yang meskipun bermusuhan dengan Umayyah, tetap mempertahankan narasi mainstream tentang Khawarij untuk menjaga stabilitas politik.
Narasi Khawarij sebagai "pemberontak independen" melindungi citra para sahabat Nabi (termasuk Muawiyah) dari tuduhan pembunuhan terhadap Ali.
Narasi ini justru menguatkan doktrin bahwa Ahl al-Bayt dikhianati oleh sesama Muslim, sehingga menjadi dasar konsep Imamah dan penolakan terhadap kekhalifahan Sunni.
Sejarah awal Islam penuh dengan realpolitik, di mana agama digunakan baik sebagai alat legitimasi maupun delegitimasi.
Sebagaimana dikatakan Jacques Berque dalam The Arabs: Their History and Future*:
"Sejarah ditulis oleh para pemenang, tetapi kebenaran seringkali tersembunyi di balik retorika mereka."
Menggali ulang peristiwa ini bukan untuk memicu konflik sektarian, tetapi untuk memahami bahwa sejarah adalah medan pertarungan wacana —dan setiap generasi berhak menanyakan kembali versi yang diterimanya.