Peran Agama Dalam Masyarakat (2)
Membicarakan berbagai aliran itu tidaklah mungkin di sini. Terpaksa dipilih “wakil-wakilnya” untuk setiap perspektif. Tesis Weber dipilih untuk perspektif idealistik dan teori Smelser untuk perspektif materialistik.
1.Perspektif Idealistik
Menurut perspektif ini, gagasan menentukan perilaku manusia. Dengan mengikuti pendapat Lerner, gagasan merasuki manusia seperti ruh halus memasuki tukang-tukang sihir dan menggerakkan seluruh perilaku mereka. Menurut Hegel, sejarah umat manusia adalah perkembangan ruh (spirit) dalam waktu. Agama termasuk wilayah gagasan. Agama adalah semacam ideologi. Agama adalah ideologi yang menimbulkan perubahan —begitu tesis Max Weber ketika ia membicarakan etika Protestan dan ruh kapitalisme. Kapitalisme didasarkan pada perilaku rasional yang dilahirkan oleh kesalehan (asceticism). Menurut paham Protestan, iman adalah karunia Tuhan, dan manusia mampu membuktikan karunia Tuhan ini dengan amal yang nyata. Kerja memang tidak menjamin keselamatan, tetapi kerja mutlak diperlukan untuk membuktikan bahwa kita memiliki keselamatan itu. Dengan pemikiran itu, orang Kristen menata hidupnya secara rasional. Penghamburan waktu dipandang sebagai dosa. Begitu pula kemewahan. Kerja adalah panggilan Tuhan. “Bila pembatasan konsumsi dikombinasikan dengan pengeluaran kegiatan yang menghasilkan, hasil yang tak terhindarkan sudah jelas: akumulasi modal lewat dorongan kesalehan untuk menabung,” kata Weber.
Mengikuti tesis Weber ini, banyak penelitian telah dilakukan untuk membuktikan peran agama dalam pembangunan. Pieris (1969) menunjukkan bagaimana Sikhisme, yang memberontak kepada sistem kasta Hindu, telah melahirkan sikap positif terhadap kerja dan kehidupan yang sederhana. Kelompok Sikh, akhirnya, menjadi pengusaha-pengusaha yang hidupnya relatif lebih maju daripada kelompok-kelompok Hindu. Geertz, dalam penelitian terkenal atas Mojokuto, menunjukkan bahwa kelompok Muslim pembaru memiliki kesalehan yang mirip dengan etika Protestan. Kelompok pembaru ini hidup berhemat (gemi), bekerja keras, makan dan berpakaian sederhana, menghindari upacara-upacara yang meriah, dan menekankan usaha individual. Dari kelompok inilah lahir—pengusaha-pengusaha pribumi—petty manufacturers. Walaupun tesis Weber ini banyak dikritik, karena kelemahan metodologis (begitu pula Geertz), saya melihat satu hal yang penting. Agama akan bisa berperan apabila agama itu melahirkan dimensi ideologis yang mendorong perubahan sosial, dan bila dimensi sosial agama membersit cukup kuat dalam kehidupan sehari-hari. Protestantisme adalah reaksi terhadap Katolikisme, seperti reformisme Islam juga merupakan reaksi terhadap konservatisme. Keduanya tampaknya mengecilkan dimensi ritual dan mistikal, dan menonjolkan dimensi sosial dan ideologikal.
2. Perspektif Materialistik
Dalam perspektif ini, agama sama sekali dianggap tidak penting. Yang penting adalah perubahan modus produksi (kata Marx), atau teknologi (kata Veblen dan Ogburn), atau institusi sosial (kata Smelser). Agama tidak menimbulkan perubahan. Agama malah berubah karena terjadinya perubahan pada aspek kehidupan material. Sering kali, agama bahkan menjadi anakronisme yang jauh “tertinggal” dalam persaingan dengan perkembangan kebudayaan material (kata Ogburn). Menurut Smelser, pembangunan terjadi lewat (a) modernisasi teknologi yang mendorong penggunaan pengetahuan ilmiah, (b) komersialisasi agrikultural yang mendorong timbulnya spesialisasi dan sistem upah, (c) proses industrialisasi yang mengalihkan penggunaan tenaga manusia ke tenaga mesin, dan (d) urbanisasi yang menyebabkan perubahan dimensi ekologis (Smelser, 1971).
Yang mirip dengan tesis Smelser adalah teori pertumbuhan ekonominya Rostow (amat populer di Indonesia). Menurut Rostow, pertumbuhan ekonomi melewati lima tahap: masyarakat tradisional, prakondisi lepas landas, lepas landas, dorongan ke arah kedewasaan, dan masa konsumsi massa yang tinggi. Semua tahapan itu sama sekali tidak berkaitan dengan agama. Yang penting di sini ialah karakteristik ekonomis yang kuantitatif (misalnya, infrastruktur, pembangunan pabrik, dan sebagainya). Yang mirip teori ini adalah teori Daniel Lerner (juga populer di kalangan ilmuwan sosial) yang melihat tahapan pembangunan lewat urbanisasi, pendidikan, terpaan media, dan partisipasi. Ubahlah dahulu penduduk menjadi masyarakat kota, nanti ia akan menjadi berpendidikan. Mereka akan membaca koran, dan akan terjadilah partisipasi politik. Baik Rostow, Smelser, maupun Lerner telah dikritik, karena pandangan mereka yang simplistik dan berorientasi pada evolusi masyarakat Barat. Walaupun demikian, gagasan mereka masih banyak melandasi kebijakan-kebijakan pembangunan di banyak negara berkembang. Di dalam kenyataan, teori-teori ini tampak pada kecenderungan untuk memprioritaskan pembangunan material (untuk memenuhi indeks kondisi lepas landas) dan mengabaikan segi-segi ruhaniah.
Sembari menyimpulkan dua perspektif di atas, sekali lagi kita tekankan bahwa peran agama dalam masyarakat membangun amat bergantung pada bagaimana kita memandang agama; dari sini, kita memberikan peran apa kepada agama? Agama tidak otomatis berperan. Kita yang memberikan peran kepada agama. Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap peran agama dalam membangun masyarakat?
Bersambung...