Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Filsafat dan Kehidupan Diri Kita Part-2 (bagian1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Diri (al-nafs) dalam diri manusia memiliki keunikan tersendiri. Akal dan hati menjadi satu alat epistemologi mendasar bagi manusia. Meskipun pada aktualitasnya hati menunjukkan dirinya terlebih dahulu daripada aktualitas akal. Hal ini dapat kita lihat manusia dalam fase-fase awal kehidupannya sebagai bayi.

Manusia memulai hidupnya sebagai bayi dengan mengaktivasi secara bertahap alat pengetahuannya, terutama panca Indera; mata, telinga, hidung, kulit, lidah. Pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan pada fase awal juga adalah pengetahuan inderawi yaitu, pengetahuan yang diperoleh melalui interaksi antara panca Indera dengan objek-objek inderawi. Pengetahuan yang terjadi karena ada perantaraan gambaran di pikiran manusia. Semua pengetahuan manusia pada awalnya adalah persepsi inderawi, persepsi psikologis seperti (marah, sedih, Bahagia, dll) ada dalam tingkat yang sangat sederhana. Dalam fase ini, seluruh tindakannya didorong oleh keinginannya (hasratnya) seperti hasrat makan, Hasrat tidur, dll). Dalam fase ini juga manusia sudah memiliki akal material (al-Aql al-Maddah) artinya secara potensial wadahnya sudah ada untuk manusia melakukan aktivitas berpikirnya.

Selain persepsi psikologis, keinginan-keinginan manusia saat usia bayi fokus pada keinginan memenuhi kebutuhan dirinya yang sederhana seperti pemenuhan rasa lapar, rasa haus, rasa panas, rasa tidak nyaman dan setelah manusia berusia 18 bulan ke atas, anak sudah memiliki rasa keinginan untuk memutuskan sesuatu dengan sendiri. Misalnya, ingin memilih baju sendiri, ingin makan sendiri. Dalam tahap ini manusia kecil yang disebut sebagai Batita (Bawah Tiga Tahun) sudah mulai menggunakan fungsi akalnya untuk menghimpun data dan informasi dari apa yang dilihat, didengar bahkan disentuh olehnya. Meski pada fase ini, aktivitasnya masih didominasi dengan keinginannya. Keinginan tanpa ada nilai baik-buruk pada dirinya. Dengan demikian, orangtua memiliki ruang besar pada diri anak untuk mengkonstruk nilai di pikiran anak-anaknya. Karena sejak awal, nilai bukan sesuatu yang secara otomatis muncul di dalam pikiran anak.

Sejak usia 3 tahun, anak sudah bisa diajak bicara soal baik-buruk dan benar-salah. Orangtua perlu memberikan pengetahuan apa yang baik dan buru juga benar dan salah pada anak-anaknya, sehingga anak perlahan mulai bisa menilai dirinya sendiri. Meski tentu sikap dan tindakannya akan tetap memiliki kecenderungan pada keinginan-keinginannya. Setelah lewat 3 tahun, anak akan berpegang-teguh pada apa yang dia anggap benar dengan tentu masih adanya kecenderungan pada keinginan-keinginannya. Sebagai contoh, seorang anak diberitahu bahwa memakan permen terlalu banyak akan membuat gigi menjadi rusak. Seorang anak yang mendengar pernyataan tersebut tidak akan lagi memakan permen saat itu, tapi bisa jadi setelah lupa akan pernyataan tersebut, anak itu akan tetap memakannya, karena kecenderungannya tetap pada keinginannya.

Bersambung ...