Filsafat dan Kehidupan Diri Kita Part-2 (bagian2)
Begitulah gambaran manusia sejak kecil hingga usia lima tahun dan ternyata setelah penulis merefleksikan bahwa manusia hingga mendewasa selalu berdinamika dengan dirinya, jiwanya dan kecenderungan-kecenderungannya. Dalam Filsafat Islam, kita mengenal potensialitas hati yang positif dan di sisi lain negatif. Al-Qur’an memberikan informasi mengenai hati. Hati sebagai lokus pertemuan hamba dengan Tuhan sekaligus tempatnya seluruh penyakit hati seperti iri, dengki. Dalam kajian kosmologi Sachiko Murata dijelaskan bahwa segala hasrat dan keinginan yang ada di dalam diri manusia bersumber dari hati yang menghadap ke alam semesta sehingga menghasilkan tarikan yang kuat pada diri ke alam semesta. Dengan demikian, kecenderungannya cenderung pada hasratnya sebagai manusia.
Hasrat manusia secara irfani adalah sesuatu yang bersifat suci karena segala sesuatu yang ada ini tidak lain dan tidak bukan hanya dari Allah SWT, dengan demikian hasrat memiliki nilai kesucian tersendiri seperti hasrat makan, hasrat memimpin, hasrat pada keindahan, hasrat seksual, hasrat berilmu. Namun hasrat ini tidak dibiarkan begitu saja sendirian, hasrat membutuhkan akal atau hati permukaan dalam untuk memberikan hasrat jalannya yang benar, sehingga tidak menghilangkan dimensi kesuciannya. Misalnya, hasrat makan pada awalnya baik, karena tujuan dari makan memberikan manusia energi untuk bergerak, beribadah, dll. Tetapi hasrat makan bisa menjadi buruk ketika mendominasi diri manusia itu sendiri.
Dengan demikian, hasrat atau dorongan alamiah dalam diri senantiasa bekerja dalam diri manusia dalam tiap fase usia atau tahapan perkembangan manusia. Mulai dari anak-anak hingga lansia. Oleh karena itu, pengelolaan hasrat menjadi hal penting terutama saat memasuki tingkatan akal aktualnya. Akal memiliki tugas dan peran penting dalam pengelolaan hasrat. Misalnya, hasrat makan jika tidak dikelola oleh akal akan mengakibatkan kerugian bagi manusia seperti mengidap penyakit bahkan kematian. Begitu juga dengan hasrat seksual, pengelolaannya harus dilakukan secara rasional agar tidak terjadi perilaku kekerasan seksual, pelecehan seksual.
Dinamika antara hasrat dan akal mengingatkan penulis pada sebuah hadis yang meriwayatkan tentang Jihad al-Akbar. Jihad al-Akbar adalah perjuangan untuk menaklukan hasrat dan memenangkan akal atas dominasi hasrat. Perjuangan ini perlu diajarkan secara bertahap sejak anak mulai bisa membuat keputusan-keputusan atas dirinya sendiri. Membuat keputusan berdasarkan pengetahuan yang benar, sehingga manusia terhindar dari penguasaan hasrat atas dirinya. Dalam filsafat, akal memiliki ruang yang besar untuk membantu jiwa dalam pengelolaan hasrat, karena akal akan menghantarkan manusia pada kesadaran eksistensialnya dan kesadaran eksistensial akan menghantarkan manusia pada kesadaran akan tindakan yang benar.
Pertanyaan selanjutnya, sampai kapankah kita sebagai manusia melakukan perjuangan menaklukan hasrat diri? Selama kita masih memiliki hasrat dan memberikan kesadaran lebih pada hasrat, maka sampai kapanpun kita akan terus melakukan perjuangan untuk menaklukkan hasrat dengan akal kita sendiri.