Warisan Intelektual Imam Ali Ridha as (2)
Tauhid dan Ketuhanan dalam Pandangan Imam Ridha as
Tauhid atau keesaan Tuhan adalah tema sentral dalam ajaran Imam Ridha as. Beliau menjelaskan hakikat tauhid dengan pendekatan logis dan menyentuh hati. Dalam satu riwayat, seorang bertanya kepada beliau, “Apa bukti bahwa alam ini bersifat baru?” Imam menjawab:
“Sebelumnya kamu tidak ada, sekarang kamu ada. Maka ketahuilah, Allah-lah yang menciptakan ‘di mana’ tanpa tempat, dan menetapkan ‘bagaimana’ tanpa bentuk.”
Jawaban seperti ini menunjukkan tingkat argumentasi rasional yang tinggi. Seorang lelaki dari Balkh yang menantang beliau dengan pertanyaan tentang asal-usul Tuhan pun luluh dan mengakui keimaman beliau setelah mendapat penjelasan serupa. Dalam riwayat lain, Imam menegaskan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum ia tercipta, dan Dia adalah Cahaya, Ilmu, dan Kehidupan Mutlak.
Al-Qur’an dan Akal sebagai Hujjah
Imam Ridha as mengajarkan agar umat Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam hidup. Ia berkata:
“Al-Qur’an adalah kalam Allah. Jangan kalian lalaikan dia, dan jangan mencari petunjuk dari selainnya.”
Beliau juga menekankan pentingnya membedakan ayat-ayat yang muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), serta mengembalikan yang mutasyabih kepada yang muhkam, sebagaimana dilakukan dalam riwayat-riwayat Ahlulbait.
Namun, Imam tidak hanya mengandalkan teks suci, tetapi juga mendorong pemanfaatan akal sehat. Dalam dialog dengan Ibnu Sukait, ketika ditanya apa hujjah (argumen) Allah kepada umat di masa kini, beliau menjawab:
“Akal. Dengannya seseorang dapat mengenal Allah dan membedakan kebenaran dari kebatilan.”
Jawaban ini menegaskan bahwa dalam mazhab Ahlulbait, akal bukan lawan dari wahyu, melainkan pelengkapnya.
Kenabian, Mukjizat, dan Peran Ulul Azmi
Imam Ridha as juga menjelaskan perbedaan mukjizat para nabi sesuai konteks zamannya. Nabi Musa datang dengan tongkat karena masyarakatnya mengagungkan sihir. Nabi Isa membawa kemampuan menyembuhkan karena zaman itu ditandai dengan berkembangnya ilmu kedokteran. Dan Nabi Muhammad saw hadir dengan Al-Qur’an, karena masyarakat Arab masa itu mengagungkan orasi dan syair.
Beliau juga menekankan bahwa syariat Nabi Muhammad saw adalah penutup seluruh syariat, dan tidak ada nabi setelahnya. Mereka yang mengklaim sebagai nabi setelah Rasulullah saw adalah pendusta dan kafir terhadap wahyu Ilahi.
Imamah: Penerus Risalah dan Penjaga Agama
Salah satu tema pokok dalam ajaran Imam Ridha as adalah Imamah, yakni kepemimpinan spiritual dan sosial setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Dalam dialog dengan Abdul Aziz bin Muslim di kota Marw, Imam menjelaskan dengan panjang lebar bahwa Imamah adalah bagian dari kesempurnaan agama. Allah tidak mungkin meninggalkan umat tanpa penunjuk jalan.
Ia menegaskan bahwa Imamah bukan perkara yang bisa dipilih sembarangan. Allah sendiri yang menetapkan para imam dari keturunan yang suci dan bersih, sebagaimana ditegaskan dalam ayat: “Janji-Ku tidak akan sampai kepada orang-orang yang zalim.” Imamah, menurut beliau, adalah warisan suci dari Nabi Ibrahim as kepada keturunannya yang shaleh, dan akan terus berlanjut hingga akhir zaman.
Penutup
Warisan keilmuan Imam Ridha as bukan hanya sekadar catatan sejarah. Ia adalah cahaya yang menerangi jalan para pencari kebenaran. Dalam dirinya, bersatu wahyu dan akal, teks dan nalar, hikmah dan keberanian. Di tengah tekanan politik dan ancaman terhadap Ahlulbait, beliau tetap menjawab panggilan zaman dengan ilmu, argumen, dan keberanian.
Dari Marw hingga Masyhad, dari diskusi ilmiah hingga karya tulisnya, Imam Ridha as telah menunjukkan bahwa ilmu adalah senjata para wali Allah. Warisan intelektual beliau tetap hidup, membimbing hati yang jujur dan akal yang jernih menuju cahaya kebenaran Ahlulbait.