Peran Ijtihad Dalam Pendekatan Antar Mazhab
Salah satu bentuk rahmat Allah Swt adalah memberikan pelita hidayah dan bahtera keselamatan kepada umat Islam untuk membimbing mereka menuju kebaikan, menafsirkan al-Quran, menerangkan Sunnah Nabi Saw, dan menyimpulkan hukum syariat dari ayat dan riwayat.
Dari sini, muncul berbagai mazhab Islam, yang masing-masing memiliki program dan metode tersendiri. Namun semua mereka sepakat bahwa tujuan mereka adalah menyimpulkan hukum dan menyampaikannya kepada kaum Muslimin untuk kemudian diamalkan. Pembuat undang-undang adalah satu, yaitu Allah Swt; penyampainya juga satu, yaitu Rasulullah Muhammad Saw. Sungguh tepat apa yang dikatakan Imam Bushairi:
Mereka semua mengambil dari Rasulullah
Seteguk air dari laut atau hujan untuk hilangkan dahaga
Ijtihad dan mazhab-mazhab dengan beragam metodenya ini, telah mewariskan sebuah aset fikih yang tak ternilai bagi umat Islam. Oleh karena itu, kita mesti menggunakannya untuk lebih dekat satu sama lain, bukan untuk berbenturan dengan sesama seperti yang dikehendaki sebagian oknum tak berpengetahuan. Kita harus menjadikan ijtihad sebagai sumber kekuatan umat dan kebanggaan bagi anak-anak kita. Tujuan ini hanya bisa dicapai bila semua pengikut mazhab memahami bahwa ijtihad adalah salah satu gerbang menuju persatuan Islam, bukan jurang perselisihan dan pertikaian.
Oleh karenanya, saya memberi judul artikel ini dengan ‘Peran Ijtihad dalam Pendekatan Antarmazhab'. Ada empat hal yang akan dibahas dalam artikel ini, yaitu:
a. Substansi ijtihad dan urgensinya.
b. Wahyu ilahi dan pemikiran manusia.
c. Hubungan antara para pengikut mazhab fikih.
d. Ijtihad adalah jalan menuju pendekatan antarmazhab, bukan perselisihan antarmazhab.
A. Substansi Ijtihad dan Urgensinya
Para ulama Ushul mengatakan, ijtihad adalah upaya untuk memperoleh hukum-hukum syar`i melalui istinbath dari sebuah dalil syar`i terperinci (Abu Zuhrah, 1377:356; al-Khilaf, 1408:222; Zaidan, 1405:401).
Jika ijtihad berarti upaya untuk mengetahui hukum Allah sesuai prinsip dan standar tertentu yang telah ditetapkan para ulama, maka ia layak menjadi bekal setiap muslim dalam menjalankan kewajiban dan menghindari hal-hal yang diharamkan Allah.
Namun, dengan adanya perbedaan dalam daya nalar dan metode istinbath di tengah manusia, juga perhatian sebagian besar manusia kepada pekerjaan duniawi yang menghalangi mereka untuk berijtihad, maka Allah mengizinkan mereka untuk mengikuti orang-orang yang memiliki kemampuan ijtihad. Allah berfirman dalam al-Quran, Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mengetahui jika kalian tidak tahu (al-Nahl: 43). Dengan demikian, hukum ijtihad adalah wajib kifayah.
Artinya, bila ada orang yang mampu mengenalkan orang-orang kepada hukum-hukum agama, maka kewajiban ijtihad akan gugur dari orang-orang selainnya. Guna mengetahui hukum-hukum Allah dari al-Quran dan Sunnah yang merupakan referensi utama syariat, maka harus ada ijtihad di setiap waktu dan tempat. Zaman kita lebih membutuhkan ijtihad dibanding zaman-zaman lain. Kebutuhan ini berkaitan dengan serangkaian persoalan dan peristiwa baru yang tak disinggung oleh ayat al-Quran atau riwayat. Hal ini membutuhkan sebuah program baru untuk mengambil hukum fikih dari al-Quran dan Sunnah serta memecahkan masalah-masalah baru.
Dengan memerhatikan hal-hal di atas, keberadaan para ulama dan mujtahid di setiap zaman amat diperlukan. Sebab, setiap zaman memiliki persoalan tersendiri yang tidak di zaman sebelumnya. Muslimin harus mengetahui hukum Allah terkait persoalan itu. Untuk mengetahuinya, mereka harus menggunakan ijtihad. Oleh karena itu, bila di suatu zaman tak ada mujtahid yang memfokuskan perhatian dan pikirannya kepada hukum-hukum syariat, maka semua muslim turut bertanggung jawab atas pelanggaran hukum ini. Tanggung jawab atas pelanggaran ini hanya bisa diambil dari pundak mereka dengan keberadaan para ulama yang memiliki kemampuan ijtihad untuk menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya.
Meski jihad di jalan Allah adalah kewajiban terpenting yang mesti dilaksanakan hamba-hamba-Nya, namun Ia mengijinkan sebagian orang untuk tidak pergi berjihad demi mendalami masalah-masalah keagamaan, yaitu menyimpulkan hukum syariat dari al-Quran dan Sunnah. Allah berfirman, Tidaklah layak semua orang mukmin pergi ke medan perang. Bila tak ada beberapa orang dari mereka yang mendalami agama, niscaya mereka tak bisa memahaminya. (al-Taubah: 22). Tak diragukan bahwa ayat ini adalah dalil paling jelas bahwa ijtihad, seperti halnya jihad, diwajibkan bagi muslimin, namun bersifat wajib kifayah. Artinya, cukup sebagian orang saja yang mendalami agama untuk dijadikan rujukan sebagian yang lain dalam menjawab masalah-masalah fikih mereka.
Ijtihad berkaitan dengan teks al-Quran atau sunnah Nabi Saw. Sebab, ijtihad dalam suatu masalah agama adalah kejelasan kadar keabsahan dan pembuktian teks terkait, atau menyingkap makna dan penunjukannya. Terkait dengan penunjukan teks itu, yang diperhatikan adalah keumuman atau kekhususannya, ithlaq (mutlak) atau taqyid (penyempitan)-nya, serta potensinya untuk ditakwilkan dan dicari sebab hukumnya.
Terkait masalah ini, Imam Syafi`i rh mengatakan,"Tak ada seorang pun yang berhak membicarakan halal dan haramnya sesuatu, kecuali berdasarkan pengetahuan dari al-Quran, atau sunnah Nabi Saw, atau ijma`, atau qiyas." (al-Syafi`i, 1358:39) Jelas bahwa ijma` dan qiyas berkaitan erat dengan teks; teks adalah adalah fondasi validitas bagi keduanya.
Oleh karena itu, melalui ijtihad, pemikiran manusia tidak boleh melampaui batas teks dan makna yang ditunjukkannya. Sebab, bila ia keliru, maka ia telah menggugurkan hukum syariat dan menodai kesuciannya. Syathibi menjelaskan fakta ini dengan sangat baik. Ia menekankan bahwa akal manusia tak boleh melebihi wahyu dan teks syariat. Bila hal ini dibolehkan, maka ada kemungkinan ia akan menyimpang dari sumber nukilan (yaitu teks). Akibatnya, syariat akan digugurkan oleh akal, dan ini adalah hal yang mustahil.
Dengan kata lain, syariat adalah sebuah pembatasan bagi para mukallaf yang diberikan Allah melalui berita yang dibawa rasul-Nya. Syariat menentukan batas perbuatan, ucapan, dan keyakinan para mukallaf. Andai akal bisa melanggar batas salah satu dari hal-hal ini, maka ia pun bisa melampaui batas hal-hal selainnya. Sebab, sesuatu yang telah ditetapkan bagi suatu masalah, juga ditetapkan bagi masalah-masalah lain…Ini adalah sesuatu yang tidak diterima siapa pun."
(Syathibi: 1/88). Terkait masalah ini pula, Syaikh Khudri Beik mengingatkan bahwa mujtahid harus memiliki kemampuan menyimpulkan sebab-sebab hukum dari teks khusus dan umum. Ia juga harus mengetahui prinsip-prinsip umum syariat Islam yang akan menjadi saksi baginya dalam setiap sebab hukum yang ia simpulkan dari beragam kejadian (Khudri Beik, 1405:368).
Tiada keraguan bahwa hingga kini, tak satu pun mujtahid, termasuk ulama terdahulu, yang menyatakan sesuatu berlawanan dengan teks al-Quran dan sunnah Nabi Saw. Mereka lebih berhati-hati dibanding orang lain dalam masalah ini. Bahkan dalam proses penyimpulan hukum Allah, mereka tidak berselisih pendapat dengan sengaja. Sampai-sampai bila timbul suatu perbedaan pendapat, salah satu dari mereka akan mengabaikan pendapatnya sendiri demi menyesuaikan dengan pendapat mujtahid lain atau menghormati pendapat yang berlawanan.
Oleh karena itu, bila orang-orang terdahulu memiliki metode berbeda dalam mewujudkan tujuan syariat Islam, perbedaan ini muncul dari (perbedaan) pemahaman al-Quran dan Sunnah, khususnya dalam bagian-bagian yang mengandung kemungkinan perbedaan ijtihad dan argumentasinya. Perbedaan ini sama sekali bukan demi menentang atau menyalahkan pendapat pihak lain. Maka itu, perbedaan yang muncul dari (perbedaan) pemahaman dan bersandar pada kriteria-kriteria pencarian kebenaran, sama sekali tidak berujung pada timbulnya perpecahan di tengah mereka.
Dengan demikian, telah menjadi jelas pentingnya ijtihad dalam kehidupan umat Islam. Ijtihad adalah sebuah gerakan yang senantiasa membimbing muslimin mengetahui hukum syariat yang berkaitan dengan keseharian mereka. Sebab itu, fikih Islam tidak pernah membeku dan hanya berhenti pada persoalan-persoalan kontemporer saja. Bahkan ia akan selalu ada untuk membantu memenuhi segala kebutuhan masyarakat di sepanjang masa.
B. Wahyu Ilahi dan Pemikiran Manusia
Hubungan wahyu dengan pemikiran manusia dalam hal perundang-undangan Islam, mengemukakan serangkaian persoalan kepada kita. Persoalan-persoalan ini mesti diperhatikan dan pertanyaan-pertanyaan terkait dengannya harus dijawab.
Berikut adalah sejumlah persoalan dan pertanyaan tersebut:
Apakah pemikiran manusia (ijtihad) bisa menggantikan kedudukan wahyu dalam perumusan undang-undang Islam? Ataukah ia memiliki kedudukan lain?
Lebih jelasnya, apakah pemikiran manusia memiliki kesucian dan kekudusan wahyu?
Bila wahyu itu suci, lalu diingkari atau ditolak oleh maksum, apa posisi pemikiran manusia dalam masalah ini?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan mendapatkan pandangan Islam terkait masalah ini, pertama-tama kita harus mengetahui konsep wahyu, pemikiran manusia, dalil masing-masing dari keduanya, dan dasar perumusan undang-undang yang disediakan oleh masing-masing dari keduanya. Maka itu, kami mengatakan:
Wahyu adalah sebuah pemberitahuan Allah kepada salah satu hamba terpilih-Nya (nabi) yang mencakup semua pengetahuan tentang Dia, wujud, dan manusia. Wahyu diberikan dengan cara misterius yang tak lazim bagi manusia biasa (Al-Badri: 1404:50).
Terkait posisi wahyu dalam sistem undang-undang Islam, keimanan terhadapnya adalah salah satu keniscayaan agama yang tak boleh diingkari. Tak ada yang boleh meragukan validitas semua jenis ilmu dan pengetahuan yang diperoleh nabi melalui wahyu, sebab ini termasuk hal yang dititahkan Allah untuk diimani.
Oleh karena itu, undang-undang kewahyuan adalah sebuah undang-undang suci yang terjaga dari kesalahan. Ia tak boleh diabaikan atau diremehkan, sebagaimana ia tak bisa dijangkau oleh pikiran dan nalar. Sebab itu, ada kaidah fikih yang menyatakan ‘ijtihad tidak bisa melawan nash' (al-Mujaddidi: 1407:108, kaidah 260). Artinya, ketika sudah ada dalil dalam teks (al-Quran atau Sunnah), maka ijtihad tak lagi berarti. Semua muslim harus beriman dengan apa yang disampaikan Nabi Saw dari wahyu yang ia peroleh, tanpa dibarengi sedikit pun keraguan atau pengingkaran. Al-Quran telah menyinggung hal ini dalam beberapa ayat. Salah satunya, Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu al-Quran dalam bahasa Arab, supaya kau memberi peringatan kepada penduduk Makkah dan sekitarnya tentang hari kiamat dan bahwa satu golongan berada di surga dan lainnya di neraka.
Dalam ayat lain, Allah berfirman, Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-kitab (al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (al-Syura: 52)
Atau firman-Nya yang lain, Tidak ada pria atau wanita mukmin yang memiliki pilihan saat Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara (al-Ahzab: 36). Dengan demikian, di antara beragam referensi undang-undang Islam, referensi yang bersifat mengikat hanya al-Quran dan Sunnah.
Yang dimaksud pemikiran manusia adalah komentar dan penafsiran yang berupaya menjelaskan masalah-masalah dari wahyu berdasarkan standar ijtihad tertentu. Upaya ini memunculkan banyak aliran dan mazhab fikih dalam Islam.
Mazhab-mazhab ini mengandung semua hasil pemikiran muslimin dari masa pengutusan Nabi Saw hingga sekarang, yang berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah, wujud, dan manusia. Ijtihad manusia menunjukkan penafsiran atas pengetahuan-pengetahuan ini dalam bingkai prinsip-prinsip akidah, syariat, perilaku dan pemikiran manusia, serta wahyu ilahi; tanpa ada garis pemisah antara prinsip-prinsip permanen Islam (al-Quran dan Sunnah) dan hasil pemikiran yang lahir dari ijtihad dan penafsiran tersebut.
1. Validitas Pemikiran Manusia
Dalil akan validitas pemikiran manusia adalah sebagai berikut:
1.1. Berpikir Dalam Al-Quran
Mengingat bahwa pikiran adalah fenomena terpenting dalam keberadaan manusia dan yang membedakannya dari binatang, maka Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dia menyerahkan amanat besar kepada manusia supaya ia melaksanakan tanggung jawabnya dengan cara berpikir. Terkait hal ini, Allah berfirman, Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu. Mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (al-Ahzab: 72).
Dengan demikian, berpikir adalah bagian dari fitrah manusia. Islam yang merupakan agama penjunjung fitrah, tidak menolak proses berpikir. Sebaliknya, ia menuntut manusia menggunakan pikirannya dan menyediakan lahan yang amat luas untuk proses berpikirnya.
Salah satu hal yang memperkuat masalah ini adalah, tak ada kitab samawi atau nonsamawi seperti al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan memotivasinya memanfaatkan karunia Allah ini. Banyak ayat al-Quran yang mengajak manusia merenungi rahasia-rahasia penciptaan semesta. Salah satunya mengatakan, Sesungguhnya padanya terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka yang berpikir (al-Ra`d: 4). Atau ayat lain yang berbunyi, Mereka merenungi penciptaan langit dan bumi. (Mereka mengatakan) wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari siksa neraka (Ali Imran: 191).
Firman Allah yang lain, Tidakkah mereka melihat bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi dihamparkan? Berilah peringatan, sesungguhnya engkau adalah pemberi peringatan (al-Ghasyiyah: 17-21). Atau firman-Nya pula, Tidakkah mereka merenungi al-Quran? Ataukah hati-hati (mereka) telah terkunci? (Muhammad: 24). Semua ayat di atas, juga ayat-ayat lain, adalah seruan gamblang al-Quran kepada manusia untuk berpikir dan merenungi tanda-tanda kebenaran agama, agar mereka sampai kepada tujuan yang telah digariskan Allah. Di saat yang sama, ayat-ayat ini adalah pengakuan terhadap legalitas proses berpikir manusia, selama tidak di luar batas kriteria-kriteria kewahyuannya.
1.2. Berpikir Dalam Sunnah Nabi Saw
Dengan melihat kandungan riwayat-riwayat nabawi, kita akan memahami bahwa kehidupan praktis adalah tujuan dari himbauan al-Quran kepada manusia untuk berpikir. Dengan himbauan ini, al-Quran mendorong para sahabat Nabi Saw, yang pada gilirannya akan mengajak kaum muslimin, untuk menggunakan nalar mereka dalam kehidupan sehari-hari, tanpa mencampuradukkan medan perundang-undangan yang dikhususkan untuk wahyu dan medan-medan lain yang bisa dijelajahi pemikiran manusia.
Riwayat paling gamblang dalam masalah ini adalah bahwa para sahabat bertanya kepada Nabi Saw, apakah perintah-perintah beliau bagian dari wahyu atau pandangan pribadi beliau? Beliau menjawab, ini adalah pandangan dan pemikiran beliau. Oleh karena itu, para sahabat lalu mengemukakan pendapat dan pemikiran mereka.
Salah satu peristiwa yang berkenaan dengan hal di atas adalah musyawarah Nabi Saw dengan para sahabat sebelum perang Badar. Pada saat itu, Mu'adz bin Jabal berkata, "Wahai Rasulullah, apakah posisi ini adalah yang telah ditentukan Allah kepada Anda, sehingga kami tak berhak mendahului atau tertinggal darinya? Ataukah ini bagian dari taktik dan tipu daya dalam perang?" Beliau menjawab,"Ini adalah bagian dari taktik perang." Mu'adz berkata, "Kalau begitu, ini bukan posisi yang tepat. Perintahkan orang-orang untuk bergerak menuju tempat terdekat dengan air. Setelah itu, kita akan maju ke tempat di baliknya." Nabi Saw sangat gembira dengan pandangan ini dan bersabda,"Engkau telah mengatakan pendapat yang benar." (al-Buthi, 169).
Nabi Saw tak hanya membatasi penggunaan nalar dalam masalah perang saja, namun juga mendorong para sahabatnya untuk berijithad dan berpikir dalam masalah-masalah ibadah, dengan syarat tidak keluar dari batas wahyu. Salah satu contohnya adalah saat beliau menghimbau para sahabat untuk berijtihad dalam melakukan shalat asar atau menundanya saat sampai di daerah Bani Quraidhah. Beliau bersabda,"Siapa pun yang mendengar dan menaatiku, hendaknya ia menunda shalat asar sampai ia tiba di kawasan Bani Quraidhah (Sajistani, 3/303; Syaibani, 4/66).
Mu'adz bin Jabal meriwayatkan, ketika ia diutus Nabi Saw ke Yaman sebagai hakim, beliau bertanya kepadanya,"Bagaimana cara engkau memutuskan sebuah hukum?" Ia menjawab,"Saya akan memberi keputusan dengan al-Quran." Nabi bertanya kembali,"Bagaimana bila kau tak menemukan dalam al-Quran?" Ia menjawab,"Saya akan memutuskan berdasarkan sunnah Rasul." Beliau kembali bertanya,"Bagaimana jika kau tak mendapatkannya dalam al-Quran dan Sunnah?" Mu'adz menjawab,"Aku akan memberi keputusan berdasarkan ijtihadku." Nabi Saw lalu menepuk dada Mu'adz dan bersabda,"Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah untuk segala hal yang diridhainya."
Riwayat di atas dan riwayat-riwayat senada menunjukkan perhatian Nabi Saw terhadap proses berpikir dan ijtihad, dengan syarat masih dalam koridor wahyu ilahi. Hal ini membuktikan validitas pemikiran manusia dalam pandangan Islam.
1.3. Fukaha dan Pemikiran Manusia
Para ulama dan fukaha dari kalangan sahabat, tabi`in, dan mujtahid memahami hakikat pemikiran manusia dan kedudukannya. Mereka menjadikan ijtihad dan pandangan pribadi, tentunya dalam koridor syariat, sebagai salah satu prinsip pengambilan hukum. Mereka menggunakan beragam metode seperti qiyas, istihsan, tahqiq al-mashalih, sad al-dzarai`, raf` al-dharar, dan metode-metode ijtihad lain yang tak bertentangan dengan wahyu. Dalam hal penggunaan ijtihad dan pemikiran, bisa dikatakan bahwa para ulama Islam telah sampai pada ijma`.
Imam Syafi`i berkata, "Allah mengaruniakan akal kepada para hamba-Nya untuk mengetahui perbedaan-perbedaan dan menemukan kebenaran melalui teks dan penunjukan (dalil-dalil syari`i)." Dalam pembahasan tentang validitas akal dan menjawab orang-orang yang mengingkarinya, Ibnu Hazm mengatakan,"Kami tidak berkata bahwa setiap orang yang meyakini suatu mazhab pasti benar, atau bahwa setiap argumentasi bagi suatu mazhab pasti diterima. Tapi kami berkeyakinan bahwa sebagian argumentasi–tentunya yang dirangkai dengan benar–bisa menghantarkan kepada mazhab yang benar. Namun bila argumentasi menyalahi kaidah, maka ia akan berujung kepada mazhab yang salah." (Andalusi, 1404:1/17) Ibnu Taimiyah mengkritik orang-orang yang menolak dalil-dalil akal secara mutlak, sebab mereka menyangka bahwa dalil akal sama seperti pendapat baru sebagian orator dan filsuf (Abdulhamid, 13).
Dengan demikian, pandangan para fakih ini menunjukkan perbedaan antara pemikiran manusia yang tak berlandaskan al-Quran dan Sunnah dan yang berasaskan pada keduanya. Maka, apa pun yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah, adalah ijtihad yang diterima dan tak ada keraguan di dalamnya. Sebaliknya, apa pun yang berada di luar koridor keduanya, adalah ijtihad yang invalid secara syar`i dan tidak bisa diperhitungkan. Dalam hal ini, kita mesti melakukan sebuah kajian ringkas tentang sistem perundang-undangan Islam sehingga kita bisa mengetahui hasil-hasil pemikiran Islam dalam masalah ini.
2. Ijtihad Dalam Kehidupan Rasulullah Saw
Perumusan undang-undang di masa itu berlandaskan pada wahyu, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Namun dalam sebagian masalah, Rasulullah Saw menggunakan ijtihadnya. Beliau mengajarkan metode ini kepada kaum muslimin. Salah satu contoh ijtihad beliau adalah mengambil fidyah para tawanan Badar (Shan`ani, 1403:5/211) dan ijin beliau kepada orang-orang yang enggan ikut dalam perang Tabuk untuk tetap tinggal di Madinah karena alasan-alasan yang mereka kemukakan (al-Syaukani, 2/413).
Selain itu, Nabi Saw juga mengijinkan sebagian sahabat untuk menggunakan nalar mereka, seperti yang bisa disaksikan dalam percakapan beliau dengan Mu'adz bin Jabal saat ia diutus ke Yaman sebagai hakim.
Nabi Saw selalu berusaha mendorong para sahabatnya untuk berijtihad, seperti yang terjadi dalam kisah shalat di daerah Bani Quraidhah, saat beliau memberi pilihan kepada para sahabat untuk menentukan waktu melakukan shalat asar dan mengesahkan pilihan kedua kelompok, sebab masing-masing menggunakan pikiran mereka dalam memahami nash.
3. Ijtihad Setelah Masa Nabi Saw
Dengan berpulangnya Nabi Saw ke rahmatullah dan terputusnya wahyu, penggunaan ijtihad menjadi lebih menonjol dibanding sebelumnya. Hal ini seiring dengan perkembangan peradaban dan masalah-masalah baru yang muncul dalam kehidupan umat Islam.
Ketika Khulafa al-Rasyidin berhadapan dengan masalah-masalah baru dan tidak menemukan nash terkait dalam al-Quran dan Sunnah, mereka berijtihad dan mengemukakan pandangan mereka dalam masalah tersebut. Bila ada ucapan mereka yang mengecam pandangan pribadi, maka itu berkenaan dengan pandangan yang keliru dan ijtihad dalam masalah-masalah yang sudah dijelaskan oleh nash, atau pandangan yang disampaikan oleh mereka yang tak mengetahui prinsip syariat dan maslahat umum (Ibnu Qayyim,1/54-66). Namun mereka menerima pendapat yang disimpulkan dari Al-Quran dan Sunnah. Mereka tahu bahwa syariat bertujuan mewujudkan maslahat bagi hamba-hamba Allah dan menghilangkan madarat dari mereka.
Gerakan pemikiran Islam di masa ini bergerak menuju dua arah:
Pertama, ijtihad dalam cara memahami teks syariat: Sebagai contoh, al-Quran menentukan saham zakat bagi ‘muallafatu qulubuhum' (yaitu orang-orang mustadhafin) ketika muslimin masih dalam keadaan lemah dan perlu mengambil hati pihak lain demi mencegah bahaya. Namun, setelah muslimin menjadi kuat dan memiliki pemerintahan besar di masa Umar bin Khattab, tak ada lagi keharusan memberlakukan hukum ini. Sebab iu, Umar menghentikan saham zakat bagi muallafatu qulubuhum. Dengan tindakan ini, bukan berarti ia telah memutus hukum ini dari wahyu, namun dengan nalarnya ia memahami bahwa kondisi muslimin saat itu telah berubah, sehingga tak ada lagi syarat pemberlakuan hukum zakat bagi muallafatu qulubuhum.
Kedua, ijtihad dalam masalah-masalah baru yang membawa maslahat dan mencegah madarat: Contohnya adalah ijtihad Umar bin Khattab dan beberapa sahabat dalam mencegah pembagian tanah Irak antara mereka yang ikut dalam penaklukannya. Umar menyimpulkan bahwa pembagian tanah Irak akan menyebabkan sebagian kalangan menguasai harta berlimpah dan sebagian besar lainnya tidak dapat menikmatinya. Ia bersandar pada firman Allah, Supaya harta tak berpindah-pindah dari satu hartawan ke hartawan lainnya (al-Hasyr:7).
Para tabi`in dan generasi sesudah mereka juga mengikuti langkah serupa. Mereka menggunakan pemikiran mereka untuk memecahkan masalah-masalah baru yang timbul akibat perkembangan zaman, hingga memunculkan aliran-aliran fikih. Juga disusul oleh lahirnya mazhab-mazhab yang menunjukkan fleksibelitas hukum syariat Islam. Dengan cara ini, mereka telah mewariskan metode perumusan undang-undang yang meliputi kehidupan beragam bangsa di berbagai tempat dan masa. Hal ini menunjukkan kelenturan gerakan pemikiran Islam yang bisa berjalan seiring berbagai peristiwa dengan modal pemahaman terhadap Al-Quran dan Sunnah. Ini pula yang menyebabkan pemikiran Islam tak pernah terjebak dalam kejumudan dan jalan buntu.
Dengan memerhatikan hal-hal di atas, kita bisa menetapkan fakta-fakta berikut ini:
1. Teks-teks wahyu ilahi memperkuat fondasi akidah Islam tentang iman kepada Allah, malaikat, kitab samawi, para nabi, hari kiamat, serta qadha dan qadar (baik atau buruknya). Akal manusia tidak berhak campur tangan dalam substansi teks-teks ini, kecuali dengan kadar yang seorang manusia mampu membuktikan unsur-unsurnya melalui argumen ilmiah, sehingga ia bisa beriman kepada rukun-rukun akidah.
2. Setiap pemikiran manusia yang tak berlandaskan al-Quran dan Sunnah, bukan sebuah pemikiran Islami, baik itu pemikiran taSawuf atau perumusan undang-undang praktis. Ketika kita mengatakan bahwa makna pemikiran Islami adalah yang berlandaskan pada Islam, maka bila pemikiran manusia tidak bersumber dari akal murni dan konsep-konsep permanen Islami, ia tak bisa disebut sebagai pemikiran Islami.
3. Kita tidak bisa menyebut pemikiran Islami manusia sebagai pemikiran Islam itu sendiri dan menganggapnya sebagai juru bicara syariat dan akidah Islam. Pemikiran semacam ini hanyalah sebuah bentuk pemahaman terhadap wahyu ilahi.
Oleh karena itu, aliran pemikiran Islami dan ijtihad dalam fikih memiliki banyak variasi, sehingga Imam Syafi`i pernah berkata,"Mazhab kami lebih utama (rajih), namun ada kemungkinan salahnya, sementara mazhab yang lain tidak lebih utama (marjuh), namun ada kemungkinan benarnya."
4. Kita tidak boleh menganggap Islam hanya sebuah pandangan dan pemikiran belaka, sebab pemikiran lahir dari akal manusia, sementara Islam tidak seperti ini. Islam adalah sebuah wahyu suci yang turun dari sisi Allah Swt, yang sangat berbeda dengan pemikiran manusia.
Oleh karenanya, kita mengatakan:
Wahyu ilahi adalah perkara suci yang teks dan nashnya tidak bisa diutak-atik atau diprotes oleh kita. Sedangkan pemikiran manusia hanyalah salah satu sisi pemahamannya terhadap wahyu ini. Oleh karena itu, semua yang sesuai dengan neraca al-Quran dan Sunnah bisa diterima secara syar`i dan yang bertentangan dengan keduanya ditolak. Mengingat bahwa ijtihad adalah salah satu bentuk pemikiran manusia yang terikat pada prinsip-prinsip syariat dan sebuah sisi pemahaman manusia terhadap wahyu, maka para ulama, fukaha, dan pemikir mesti menjadikan pemikiran sebagai jalan untuk saling mendekatkan diri dan menjalin kerjasama, bukan sarana untuk saling menjauh dan bertikai. Sebab itu, mereka tidak boleh fanatik dengan pemikiran dan ijtihad masing-masing, selama dua ijtihad itu adalah salah satu bentuk pemahaman wahyu dan keduanya masih dalam koridor ijtihad syar`i. Maka itu, Rasulullah Saw pernah bersabda,"Jika seorang mujtahid mengeluarkan sebuah hukum yang benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia mengeluarkan sebuah hukum yang keliru dengan ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala." (Bukhari, 6/2676)
C. Hubungan Antara Para Pengikut Mazhab Fikih
Bila ijtihad adalah sebuah tugas dan taklif, dan selama ia menekankan kerjasama antara umat dan agama untuk mengkaji masalah-masalah baru demi menyelaraskan dengan perkembangan peradaban umat di setiap waktu dan tempat, maka hubungan antara para pengikut mazhab-mazhab fikih Islam juga harus dibangun berdasarkan kesepahaman antarmazhab. Pertanyaannya, bagaimana kita mengevaluasi hubungan antara para pengikut mazhab-mazhab fikih di zaman dahulu dan sekarang? Untuk menjawabnya, kita mengatakan:
Umat Islam menerima al-Quran dari Rasulullah Saw dalam bentuk tulisan dan hapalan. Riwayat-riwayat juga telah disebarluaskan oleh para sahabat dan tabi`in di seluruh penjuru. Para ulama pergi ke berbagai tempat dan menghimpun sunnah Nabi Saw. Akhirnya, semua upaya ini melahirkan beragam mazhab dengan metode-metode khas masing-masing. Para ulama lalu berbeda pendapat dalam sebagian kaidah-kaidah syar`i dan prioritas sebagian kaidah atas sebagian yang lain.
Perbedaan pendapat dalam sebagian asas-asas syariat ini berujung pada perselisihan dalam masalah-masalah cabang fikih. Topik pembahasan antara para ulama kian bertambah dan banyak diskusi serta dialog yang berlangsung antara mereka. Semua hal ini menarik perhatian para khalifah kepada ilmu, khususnya ilmu fikih, hingga mendorong mereka untuk mengawasi jalannya diskusi-diskusi ilmiah ini.
Sebagian ulama yang menyibukkan diri dengan apa yang diasumsikan mereka sebagai ilmu fikih, turut memperluas perbedaan pendapat antara ulama. Meski demikian, penentangan terhadap argumen tetap dikecam. Di masa itu, para ulama menentang taklid dan mementingkan dalil. Mereka menolak fanatisme dan berpihak kepada kebenaran, di pihak manapun ia berada.
Perbedaan pendapat para sahabat dan tabi`in, yang disusul para ulama dan mujtahid setelah mereka dalam banyak masalah fikih, adalah sebuah keniscayaan ilmiah. Ini adalah hal lumrah yang merupakan konsekuensi dari pemahaman terhadap teks-teks syariat. Ini bukan perbedaan pendapat yang lahir dari taklid buta dan fanatisme. Para pengikut masing-masing mazhab memiliki dalil tersendiri yang memuaskan mereka scara ilmiah. Sebab itu, mereka tidak berpaling dari mazhab mereka.
Perbedaan pendapat antara para sahabat, tabi`in, dan mujtahid tidak menimbulkan permusuhan dan pertikaian di tengah mereka. Mereka saling mengundang satu sama lain dan bermakmum dalam shalat di belakang pihak lain. Namun para pentaklid mereka justru bersikap sebaliknya. Mereka saling bermusuhan, membenci satu sama lain, menghindar dari shalat di belakang penganut mazhab lain, dan mencaci pihak yang berbeda pendapat dengan mereka.
Terkait masalah ini, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha berkata, "Orang-orang yang fanatik kepada mazhab mereka, tidak mau menerima bahwa perbedaan pendapat adalah suatu rahmat bagi mereka. Mereka tidak membolehkan para pengikutnya untuk bertaklid kepada pihak lain, bahkan demi manfaat pribadi mereka. Sebagian yang lain mengutuk penganut mazhab lain, seperti yang disebutkan dalam buku-buku sejarah. Bahkan, bila sebagian muslimin pergi ke kawasan yang penduduknya fanatik dengan mazhab lain, mereka akan dipandang seperti unta yang ditimpa penyakit kulit." (Isa, 134).
Syaukani mengatakan, "Sebagian pengikut Zaidiyah yang mengaku berilmu, pernah mengkafirkan seorang pria saleh hanya karena cara ia mengangkat tangan saat berdoa berbeda dengan cara mereka."Syaukani juga menyebutkan bahwa julukan ‘Sunni'di Yaman adalah sebuah julukan untuk mencela seseorang, sebab mereka meyakini bahwa ‘Sunni' adalah sebutan bagi orang yang berpihak kepada Muawiyah dalam memerangi Ali as. (al-Asyqar, 175-176)
Perselisihan antara pengikut mazhab telah sampai pada batas yang mengkhawatirkan, dimana masing-masing berupaya untuk menyakiti dan mengusik pengikut mazhab lain. Hal ini memunculkan banyak peristiwa memilukan.
Sejarah merekam beberapa peristiwa terkait masalah ini. Salah satunya adalah yang dinukil oleh Hafidh bin Katsir bahwa ketika Raja Afdhal bin Shalahudin meninggal dunia pada tahun 595 HQ, penguasa Mesir memutuskan untuk mengusir para pengikut mazhab Hanbali dari negaranya. Ia juga menulis surat kepada saudara-saudaranya untuk melakukan hal serupa (Ibnu Katsir, 13:18).
Terkait tragedi di Khurasan, Ibnu Katsir menulis bahwa saat Fakhrudin Razi bertemu dengan penguasa Ghazneh, sang Raja memuliakannya dan membangun sebuah sekolah untuknya di Harat. Namun penduduk Harat yang tidak bermazhab sama seperti mereka, bersikap memusuhi Fakhrudin Razi dan berdebat dengannya. Perdebatan itu memprovokasi penduduk dan berujung pada pemukulan dirinya. Akhirnya, Raja lalu mengeluarkan perintah untuk mengusir Razi dari negerinya (Ibnu Katsir, 19-21).
Ibnu Katsir juga mengisahkan pertikaian antara para pengikut mazhab Hanbali dan Syafi`i yang kadang menyebabkan kekacauan dalam negara. Terkait kebesaran Isfahan di zaman dahulu, Yaqut Hamawi menulis,"Banyak kerusakan terjadi di banyak bagian kota ini yang dipicu oleh fanatisme mazhab antara para pengikut Syafi`i dan Hanbali. Tiap kelompok merampok pemukiman kelompok lain dan membakarnya. Mereka tidak menunjukkan belas kasihan satu sama lain. Masalah ini juga terjadi di pedesaan dan perkampungan kota ini." (Hamawi, 1/273)
Benturan antara kaum Syiah dan Sunni juga sangat terkenal dan memenuhi lembarang-lembaran buku sejarah. Salah satunya adalah yang dinukil Ibnu Atsir terkait peristiwa-peristiwa tahun 443 HQ, "Di tahun ini, pertikaian antara kelompok Sunni dan Syiah kembali pecah dan melebihi tahun-tahun sebelumnya." Kemudian ia mengisahkan bagaimana pertikaian ini berubah menjadi perang dan perampokan disebabkan terbunuhnya seorang keturunan Bani Hasyim dari kalangan Sunni. Ia mengatakan,"Keluarga korban mengusung jenazahnya dan memprovokasi masyarakat untuk membalas dendam. Mereka lalu menuju Haram dan merampok benda-benda berharga di dalamnya. Mereka juga membakar banyak kuburan para imam Syiah. Setelah itu, orang-orang Syiah menyerbu kediaman para fukaha Hanafi dan merampoknya. Mereka membunuh Abu As`ad Sarkhasi, salah satu guru para pengikut Hanafi, dan membakar rumah-rumah para fukaha." (Abi Syamah,3/32)
Fanatisme mazhab semacam ini menimbulkan jurang pemisah antara muslimin dan perang antara pihak-pihak yang bertikai. Musuh-musuh Islam dengan senang hati akan menyaksikan perpecahan ini dan memanfaatkannya untuk menguasai kaum muslimin. Penyebab utama semua persoalan ini adalah tidak adanya program yang benar dalam dialog antarmazhab. Benar bahwa dialog antarmazhab telah dirintis dengan kesepahaman yang baik, namun pada akhirnya terancam oleh sikap keras sebagian pihak. Mereka amat terburu-buru dalam memvonis pemikiran dan niat pihak lain serta menuduh mereka mengobarkan api fitnah.
Renungan mendalam terhadap teks-teks syariat dan menggabungkannya satu sama lain, jelas membutuhkan ijtihad demi mencapai kebenaran. Ini akan melahirkan suatu kondisi yang jelas berbeda dengan kondisi perpecahan dan pertikaian. Kelapangan dada Islam mampu menanggung perbedaan pendapat. Orang yang berlapang dada seperti ini, akan menerima bila ijtihadnya salah dan dikritisi oleh pihak lain.
Oleh karena itu, semua pihak dalam dialog antarmazhab harus memahami bahwa kemanunggalan hakikat, tidak menafikan munculnya beragam pandangan dan perbedaan dalam penafsirannya. Sebab itu, sejarah mencatat perbedaan antara sahabat dalam banyak masalah yang disinggung dalam al-Quran dan Sunnah. Sejarah juga merekam perbedaan pendapat antara tabi`in dan pengikut mereka, kemudian antara para mujtahid, dalam berbagai masalah fikih. Namun semua perbedaan ini tidak menimbulkan pertikaian dan penghinaan antara mereka. Kaidah yang diyakini mereka adalah bahwa perbedaan pendapat tidak bisa menghapus pokok masalah. Prinsip yang dipegang mereka menunjukkan bahwa pendapat kami lebih utama (arjah) lantaran ada kemungkinan kesalahannya dan pendapat yang lain tidak lebih utama (marjuh) lantaran ada kemungkinan kebenarannya.
Dalam dialog antarmazhab, mesti dibedakan antara masalah-masalah yang berkaitan dengan wahyu (yang tak bisa diabaikan sama sekali dan mesti dipilih oleh setiap muslim) dan masalah-masalah yang berkaitan dengan ijtihad serta penafsiran teks syariat, sehingga para pelaku dialog bisa bertukar pendapat dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat; tanpa harus dihadapkan dengan persoalan seperti kemurtadan, atau peremehan hukum, atau penghancuran rukun-rukun hukum.
Dialog Keagamaan Terarah
Bila sekarang kita menghendaki kesuksesan dialog antara para pengikut mazhab dan kelompok Islam, kita mesti memerhatikan beberapa fakta berikut ini:
Penerapan hukum Islam di masa kita membutuhkan ijtihad, sebab literatur syar`i kita -yaitu al-Quran dan Sunnah- terbatas, sementara masalah-masalah baru terus bermunculan seiring perjalanan waktu. Perumusan undang-undang mesti berbarengan dengan perkembangan zaman sehingga Islam bisa langgeng dan relevan untuk setiap waktu dan tempat. Ketika tak ada nash, maka ijtihad adalah jalan menuju hukum syariat. Ini adalah hal yang telah ditetapkan oleh nash itu sendiri dan bisa disaksikan dalam riwayat Mu'adz bin Jabal saat diutus Nabi Saw ke Yaman. Riwayat-riwayat mutawatir berkenaan dengan ijtihad Nabi Saw dan para sahabat dalam menafsirkan teks syariat, menguatkan masalah ini.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ketika Nabi Saw kembali dari perang Ahzab, beliau bersabda kepada para sahabat untuk tidak melakukan shalat asar kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah. Saat waktu shalat asar tiba ketika mereka masih di tengah jalan, sebagian sahabat berkata kami tidak akan shalat kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah, sementara sebagian yang lain mengatakan kami akan shalat sekarang, sebab kami tidak diperintahkan seperti itu. Ketika hal ini diberitahukan kepada Nabi Saw, beliau tidak menyalahkan kelompok manapun (Shahih Bukhari, 1/321; Shahih Muslim, 3/139; Shahih Ibnu Haban, 4/321)
Ini adalah bukti bahwa Nabi Saw menerima ijtihad para sahabatnya dan tidak menyalahkan pihak manapun atas pemahaman mereka terhadap sabdanya. Dengan demikian, ijtihad bisa menjawab persoalan-persoalan yang tiada batasnya.
Islam adalah sebuah tatanan kehidupan yang hukumnya berputar bersama sebab-sebab. Perumusan undang-undangnya seiring dengan tujuan-tujuan tertentu yang bisa dipahami akal dan tak terpisah darinya. Jika terpisah, maka keadilan akan gugur dan taklif menjadi mustahil dilakukan.
Hukum syariat berlandaskan pada kemaslahatan manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Maka itu, setiap masalah yang berujung pada madarat dan kesia-siaan, bukan bagian dari hukum syariat, meski sudah ditakwil dan ditafsirkan. Syariat adalah bentuk keadilan Allah di tengah manusia, rahmat-Nya bagi mereka, dan yang menunjukkan keberadaan-Nya kepada mereka (Ibnu Qayyim, 3/3). Islam yang harus diperlihatkan kepada manusia, adalah Islam yang seiring dengan pemikiran mendalam dan ijtihad yang tidak terbatas pada kata-kata, kecuali bila berhubungan dengan masalah ibadah yang sebab dan hukumnya tak bisa dijangkau akal manusia (Qaradhawi, 114-172).
Oleh karena itu, akal manusia bisa berhubungan dengan hukum-hukum syar`i yang berkaitan dengan sebab dan tujuan, serta menjadi sarana untuk memahami dan menafsirkan teks-teks syariat demi mewujudkan kehendak Allah.
Islam tidak menghadapkan para pengikutnya dengan kesulitan dalam hidup, sebab muslim sejati adalah orang yang tidak membenci masyarakat dan dunia. Ia meyakini bahwa kehidupan adalah sebuah produk ilahi, Allah menciptakan segala sesuatu dengan baik, lalu memberinya hidayah. Allah menciptakan semua untuk manusia dan memintanya untuk menjaganya, (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat ‘Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi' (al-Baqarah: 30).
Allah juga berfirman, Dialah yang telah menciptakan kalian dari tanah dan meminta kalian untuk memakmurkannya (Hud:61). Seorang muslim tak boleh bersikap pesimis terhadap diri, masyarakat, dan kehidupan sekitarnya. Bahkan, ia harus berperilaku seperti yang disabdakan Nabi Saw,"Sesiapa yang bersikap lemah lembut dan dekat (dengan orang lain), maka Allah akan mengharamkan neraka atasnya." (Baihaqi. 6/271; al-Mundziri, 2/354 ia berkata bahwa Hakim juga meriwayatkan hadis ini dan berkata bahwa hadis ini sahih berdasarkan syarat Muslim; Hanad, 2/596)
Pemahaman seorang muslim terhadap kehidupan sekarang adalah masalah yang penting. Tidak layak bila seorang muslim menjauhi persoalan kehidupan masa kini dan mengucilkan diri dari realitas kehidupan. Ia harus menghadapinya dengan lapang dada dan pikiran terbuka.
Para pengikut mazhab-mazhab Islam di masa sekarang saling berperilaku negatif satu sama lain. Jelas bahwa hal ini adalah sikap ‘lari dari kenyataan' yang tak akan memecahkan masalah atau mewujudkan tujuan. Maka itu, kami dengan tulus menyeru setiap muslim dari mazhab manapun untuk berdialog dengan pihak lain. Orang yang tak bisa berdialog dengan dirinya, tak akan mampu berdialog dengan orang lain. Dialog harus dibangun berdasarkan prinsip ‘pendapat kami lebih utama karena mungkin salah dan pendapat yang lain tidak lebih utama karena mungkin benar'. Umat Islam akan berhasil dalam naungan ijtihad yang kandungannya telah disabdakan Nabi Saw, "Jika seorang hakim berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala. Jika ia berijtihad dan salah, ia memperoleh satu pahala." (Daruquthni, 324)
Pemecahan masalah-masalah fikih bergantung pada perbaikan pola pikir dan kekeliruan dalam pemahaman Islam. Ini bisa diwujudkan dengan menyingkirkan formalitas, melenyapkan fanatisme mazhab, dan mempersiapkan hati-hati untuk menerima kebenaran. Dialog keagamaan di masa kini, tanpa melihat mazhab atau kelompok, memerlukan prioritas-prioritas tertentu guna mewujudkan kepentingan umum, sehingga tujuan utamanya, yaitu mengidentifikasi persoalan-persoalan umat Islam dan memecahkannya, bisa dicapai.
Dengan memerhatikan hal-hal di atas, maka dialog antarmazhab harus berkisar seputar persoalan-persoalan besar yang dihadapi muslimin. Dialog seperti ini harus bersih dari perdebatan fikih tentang masalah-masalah kecil dan dibangun berdasarkan himpunan beberapa pandangan ilmiah. Dengan cara semacam ini, kami menjamin terciptanya hubungan harmonis antara mazhab-mazhab fikih melalui dialog yang terarah. Persatuan antarmazhab bisa diwujudkan dengan tetap menjaga identitas masing-masing mazhab dan kepentingan umum umat Islam.
D. Ijtihad Adalah Jalan Menuju Pendekatan Mazhab, Bukan Sarana Pertikaian
Sebagian orang menyangka bahwa perbedaan dan keragaman pandangan dalam masalah fikih lantaran ijtihad, akan memecah belah umat Islam. Padahal kita harus mengetahui bahwa perbedaan hukum lantaran tiadanya literatur terkait atau karena variasi pemahaman literatur yang ada, bukan sebuah masalah yang patut dikhawatirkan. Sebagai muslim, kita berhak memiliki kebebasan berpendapat dan kematangan berpikir sehingga bisa beradaptasi dengan perubahan zaman dalam memecahkan masalah-masalah fikih.
Hal yang menekankan makna di atas adalah bahwa ijtihad dalam Islam bukan sebuah improvisasi absolut yang terdapat pada sebagian besar bidang pemikiran manusia. Ijtihad adalah sebuah jalan yang telah digariskan dan komitmen pada program tertentu. Semua fakih dan mujtahid telah sepakat dalam prinsip-prinsip dan masalah-masalah utama ijtihad. Pada hakikatnya, ijtihad tidak lebih dari proses pencarian hukum Allah; hukum yang telah Ia sampaikan kepada para hamba-Nya dalam al-Quran atau wahyu kepada Rasul-Nya. Ijtihad dilakukan dengan metode dan sarana keilmuan khusus yang mesti dicamkan siapa pun tanpa terkecuali. Oleh karena itu, ijtihad bagi para periset memiliki kaidah dan prinsip permanen dalam proses penafsiran teks syariat, sehingga ijithad bisa menjadi salah satu faktor pendekatan antarmazhab, bukan faktor perpecahan dan pertikaian.
1. Pelanggaran (khilaf) dan Perbedaan (ikhtilaf)
Perbedaan dalam masalah-masalah cabang (furu`) adalah salah satu kebutuhan manusia yang tak bisa dikesampingkan; juga tak membahayakan persatuan umat. Buktinya, masyarakat yang berada dalam satu barisan kadang berbeda pandangan satu sama lain. Bahaya yang dikhawatirkan adalah yang muncul dari pelanggaran (khilaf), bukan perbedaan (ikhtilaf). Keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
Oleh karena itu, para ulama dan fukaha berbeda pandangan dalam memahami kitab Allah. Perbedaan ini khususnya terjadi dalam hal yang berkaitan dengan ijtihad dan argumentasi. Perbedaan ini bukan karena mereka hendak menentang atau menyalahkan pihak lain. Perbedaan yang muncul dari (perbedaan) pemahaman -yang tak ada unsur kesengajaan untuk menentang pihak lain- sama sekali tidak menyebabkan perpecahan dan pertikaian antarmazhab.
Dua kata ‘khilaf' dan ‘ikhtilaf' berasal dari akar kata ‘khalafa'; yang bila dicermati, kita akan mengetahui perbedaan antara makna dua kata ini. Makna ‘khilaf' adalah penentangan dan pelanggaran perintah. Terkait hal ini, Allah berfirman, Hendaknya orang-orang yang melanggar perintah Allah waspada akan ujian atau azab yang akan menimpa mereka (al-Nur: 63). Al-Quran tidak berkata ‘yakhtalifuna `an amrihi' yang berarti perbedaan pendapat dalam perintah-Nya. Ayat lain mengatakan, Kami tidak menurunkan Al-Quran kepadamu kecuali untuk menerangkan hal yang mereka berbeda pendapat tentangnya (al-Nahl: 64).
Firman Allah yang lain, Manusia adalah satu umat, lalu Allah mengutus para nabi sebagai pembawa berita gembira dan peringatan serta menurunkan bersama mereka kitab dengan kebenaran supaya mereka memberi keputusan tentang masalah yang diperselisihkan manusia (al-Baqarah: 213). Al-Quran juga mengatakan, Ketika Isa datang membawa bukti-bukti nyata, ia berkata,"Aku telah datang kepada kalian dengan membawa hikmah supaya aku menerangkan kepada kalian sebagian masalah yang kalian perselisihkan (al-Zukhruf: 63). Dalam ayat-ayat ini, al-Quran menyebut ‘ikhtilaf' sebagai perbedaan dan perselisihan dalam pandangan, bukan sebagai pelanggaran dan penentangan.
Ketika para fukaha berbeda pendapat satu sama lain, mereka menganggapnya sebagai salah satu nikmat Allah atas hamba-hamba-Nya. Mereka menyebutnya sebagai bentuk dari kematangan berpikir, selama berlandaskan pada dalil dan argumen. Imam Syafi`i berkata,"Allah mengaruniakan akal kepada para hamba-Nya untuk memahami perbedaan dan membimbing mereka kepada kebenaran melalui teks (syariat) dan maknanya." Ibnu Hazm juga mengatakan,"Bila benar ada perbedaan pendapat antara para sahabat, maka tak bisa dikatakan bahwa orang setelah mereka tak boleh mengemukakan pandangannya atau melarang ijtihad yang menyebabkan perbedaan pendapat dalam masalah itu. Selama orang tersebut membawakan dalil yang hasilnya sama seperti argumentasi sebagian sahabat, maka ini bukan suatu masalah." (Ibnu Hazm, 1405:21)
Perbedaan dalam masalah furu` -dengan tetap menjaga prinsip-prinsip agama–tidak akan menyebabkan perpecahan. Semua mujtahid bertujuan memahami maksud pembuat undang-undang, kendati cara mereka berbeda-beda. Sebab itu, mereka tetap saling menghormati karena tujuan mereka sama. Perbedaan dalam metode tidak memengaruhi hubungan baik antara mereka. Mereka selalu mengatakan bahwa meski pemahaman kami berbeda, namun tak ada jurang yang memisahkan hati-hati kami.
Diriwayatkan bahwa Imam Ali as berkata tentang Utsman,"Wahai orang-orang! Bertakwalah kepada Allah dan jangan berlebihan dalam menghakimi Utsman bahwa ia telah membakar mushaf-mushaf. Demi Allah, ia tidak membakarnya kecuali di hadapan kami para sahabat Muhammad Saw." (Qurthubi,1/54) Juga diriwayatkan bahwa Imam Ali as amat berduka atas terbunuhnya Thalhah dan Zubair serta memberitahukan bahwa pembunuh Shafiyah akan masuk neraka. Saat mendengar Thalhah dibunuh, beliau berkata,"Wahai Abu Muhammad! Sungguh berat bagiku melihatmu terkapar di padang di bawah bintang-bintang langit. Aku mengadukan duka dan sedihku hanya kepada Allah." (al-Ma`zi, 13/420)
Ibnu Abbas banyak berbeda pendapat dengan Zaid dalam masalah faraidh dan warisan kakek. Terkait masalah ini, ia pernah berkata,"Apakah Zaid tidak takut kepada Allah saat menjadikan cucu seperti anak, tapi tidak menjadikan kakek seperti ayah?" Tentang masalah `aul, Ibnu Abbas berkata,"Aku ingin bersama orang-orang yang berbeda pendapat denganku dalam masalah ini untuk berkumpul dan meletakkan tangan di atas rukun Ka`bah, lalu berdoa supaya Allah melaknat para pendusta di antara kami." (Abdurrazzaq, 10/255)
Meski demikian, Sya`bi meriwayatkan, "Ketika Zaid bin Tsabit hendak menaiki tunggangannya, Abdullah bin Abbas mendekat dan memegang tali kekang kudanya. Zaid berkata,'Wahai sepupu Nabi, jangan lakukan hal ini!' Ibnu Abbas menjawab,'Kami diperintahkan berbuat seperti ini kepada para ulama kami.' Zaid lalu mencium tangan Ibnu Abbas dan berkata,'Kami diperintahkan memperlakukan kerabat Nabi Saw seperti ini.'" (Al-Manawi,5/382)
Ahmad bin Hanbal mendoakan Syafi`i serta ayah dan ibunya. Ketika anaknya, Abdullah, bertanya,'Syafi`i itu orang macam apa? Aku melihat Ayah banyak berdoa untuknya," Ahmad bin Hanbal menjawab,"Wahai anakku, Syafi`i ibarat matahari bagi dunia dan akhirat bagi manusia. Lihatlah dua hal ini, apakah keduanya memiliki pengganti?" (al-Dzahabi,10/45)
Terkait akhlak dan sopan santun antarmujtahid, diriwayatkan bahwa Syafi`i melakukan shalat subuh di masjid Abu Hanifah. Demi menghormati Abu Hanifah, ia meninggalkan qunut dan membaca basmalah dengan suara pelan. Abu Hanifah dan para pengikutnya serta Syafi`i bermakmum kepada para pemuka mazhab Maliki di Madinah meski mereka membaca basmalah dalam shalat tidak dengan pelan atau keras. Dari kisah-kisah ini bisa diketahui bahwa para fukaha dan mujtahid tidak berbeda pendapat satu sama lain lantaran masalah pribadi atau tujuan duniawi. Tapi mereka mencari kebenaran dan berusaha mendapatkannya, meski itu ada di pihak lain.
2. Rahmat dan Terbukanya Keragaman Pendapat Fikih
Hal yang bisa dikatakan di sini adalah bahwa perbedaan mazhab di tengah umat Islam adalah suatu berkah dan perkembangan bagi agama yang toleran ini. Tiap nabi sebelum Nabi Muhammad Saw diutus dengan satu syariat dan hukum. Lantaran ‘keminiman' syariat mereka, maka mereka hanya memiliki sedikit pilihan dalam banyak masalah cabang.
Syariat Islam memiliki hukum-hukum yang bersifat general. Sedangkan perincian dan detil-detilnya diserahkan kepada para mujtahid, seperti yang disebut dalam hadis dari Mu'adz bin Jabal. Ini adalah salah satu prinsip perumusan undang-undang yang menelurkan hukum syar`i. Oleh karena itu, ijtihad dan keragaman pendapat yang muncul darinya, adalah suatu keniscayaan dalam syariat terakhir ini. Ini adalah rahmat Allah bagi para hamba-Nya dan tak ada bahaya di dalamnya. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda,"Perbedaan di tengah umatku adalah sebuah rahmat." (al-Nawawi, 1/91)
Terkait hadis ini dan hal-hal yang berhubungan dengannya, Nawawi mengatakan, "Perbedaan dalam agama ada tiga macam: Pertama adalah yang berhubungan dengan pembuktian keberadaan dan keesaan Allah, yang bila diingkari akan menyebabkan kekafiran. Kedua adalah yang berhubungan dengan sifat dan kehendak-Nya, yang pengingkarannya adalah bidah. Ketiga adalah yang berhubungan dengan hukum-hukum furu` yang memiliki beberapa sisi kemungkinan. Allah menjadikannya sebagai rahmat dan kemuliaan bagi para ulama. Inilah makna dari hadis ‘perbedaan di tengah umatku adalah rahmat.'"
Ibnu Qudamah dalam mukadimah Al-Mughni-nya mengatakan,"Allah dengan kasih-Nya telah menjadikan orang-orang terdahulu dari umat ini sebagai manusia-manusia berilmu. Merekalah yang membangun fondasi Islam dan memecahkan berbagai masalah hukum. Kesepakatan mereka adalah hujjah yang kuat dan perbedaan (pendapat) mereka adalah rahmat yang luas." (Ibnu Qudamah,1/17)
Ibnu Taimiyah berkata,"Seseorang menulis buku tentang perbedaan (antara ulama). Ahmad berkata kepadanya,'Jangan namakan buku ini ikhtilaf' (perbedaan), tapi namakan sa`ah (keluasan).'" (al-Harani,3/79)
Guna lebih menekankan masalah ini, para fukaha menyebutkan beberapa poin yang menyiratkan perhatian kepada semua pandangan dan tidak membatasi diri hanya pada satu mazhab saja. Poin-poin terpenting yang disebut mereka adalah:
1. Penguasa tidak boleh melarang penyebaran ilmu yang bertentangan dengan mazhabnya: Penguasa harus memberi kebebasan kepada setiap muslim untuk memilih jalannya sendiri. Ibnu Abbas dan Ibnu Umar memberi fatwa berbeda dari fatwa Umar tentang haji tamattu`. Abu Hanifah dan beberapa sahabat juga memiliki pendapat berbeda dengan Utsman dalam masalah shalat sempurna di Arafah.
2. Tidak mencurigai niat pihak lain: Meski menurut Anda pihak lain bertentangan dengan kebenaran, namun Anda tak boleh mencurigai niatnya. Muslim yang beriman kepada al-Quran dan Sunnah, diasumsikan bahwa ia tidak keluar dari ijma` muslimin; bahwa ia mencintai Nabi dan condong kepada kebenaran. Anda harus berdialog dengannya berdasarkan asumsi ini dan berpandangan baik tentang dirinya.
3. Menerima kebenaran dari pihak lain: Ketika orang beriman menemukan kebenaran, maka ia harus menerimanya dan tak boleh mengingkarinya. Sebab mengingkari kebenaran bisa menyebabkan kekafiran, seperti yang disabdakan Nabi Saw,"Jangan berdebat tentang Al-Quran, karena perdebatan tentangnya adalah kekafiran." (Haitsami,1/157) Arti perdebatan di sini adalah menolak dalil al-Quran dengan cara batil, karena ini adalah pendustaan terhadap Allah dan hukum-Nya, bukan pendustaan pihak lain.
4. Tidak menyebut pihak lain sebagai fasik atau pelaku bidah: Tidak boleh menisbatkan hal-hal negatif kepada pihak lain dan menyebutnya sebagai orang fasik. Bila ada orang yang berbuat seperti ini, berarti ia telah melanggar ijma` para sahabat dan bimbingan para salaf yang saleh. Ibnu Taimiyah berkata,"Semua ulama sepakat bahwa dalam masalah-masalah perbedaan, setiap kelompok harus menerima pandangan ijtihad kelompok lain, seperti masalah ibadah, nikah, warisan, hibah, politik, dan lain-lain." Di tahun pertama, Umar mengutarakan suatu pendapat dalam sebuah masalah. Namun di tahun berikutnya, ia mengemukakan pendapat berbeda dalam masalah yang sama. Ketika ia ditanya tentang hal ini, ia menjawab,"Jawaban itu adalah keputusan untuk saat itu dan ini adalah keputusan untuk saat ini." (al-Bahuti,1/312)
Dalam biografi Imam Muhammad bin Nashr Maruzi, Dzahabi mengatakan,"Bila kita menentang setiap pemuka mazhab yang ijtihadnya keliru dalam masalah-masalah yang bisa dimaklumi, lalu kita menyebutnya pelaku bidah dan mengasingkannya, maka kita tak akan memiliki Ibnu Nashir, atau Ibnu Mundih, atau ulama-ulama yang lebih besar dari mereka. Allah adalah Maha Pengasih yang membimbing manusia kepada kebenaran dan kita berlindung kepada-Nya dari hawa nafsu dan sikap ekstrem." (Sair A`lam al-Nubala`,14/640)
5. Tidak memaksa masyarakat untuk menerima pandangan ijtihadi: Seorang mujtahid atau pemuka mazhab tak boleh memaksa masyarakat menerima pendapat dan ijtihadnya. Sebuah mazhab fikih juga tidak layak memaksa masyarakat untuk berijtihad. Bila hal ini dilakukan, maka akan menempatkan Islam dalam satu sudut pandang dan pemahaman. Menempatkan Islam dalam sebuah lingkaran sempit yang hanya memuat satu mazhab dan pandangan tertentu, adalah sebuah kejahatan atas agama ini.
Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa siapa pun tidak berhak memaksa masyarakat menerima ijtihadnya. Tapi ia boleh membicarakan pendapatnya berdasarkan dalil dan argumen ilmiah. Siapa pun yang merasa salah satu pendapat adalah benar, maka ia bisa mengikuti pendapat itu dan tidak berhak menyalahkan orang yang mengikuti pendapat lain.
Dikatakan bahwa kebanyakan mujtahid terdahulu tidak pernah mengingkari masalah-masalah perselisihan yang diperoleh melalui ijtihad. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengatakan,"Seorang fakih tidak boleh memaksa masyarakat untuk mengikuti suatu mazhab tertentu atau mempersulit mereka." (Ibnu Taimiyah,4/567) Nawawi juga berkata, "Mufti atau hakim tidak berhak memrotes orang yang berbeda pendapat dengannya selama ucapannya tidak bertentangan dengan nash, ijma`, atau qiyas." (Nawawi, 2/24)
Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang membaca al-Fatihah dan surah di belakang imam. Ia menjawab, "Jika kalian membacanya, berarti kalian telah meneladani para sahabat Nabi Saw dalam hal ini." Ketika Abdullah bin Umar ditanya tentang hal serupa, ia menjawab,"Kami pernah pergi bersama Rasulullah Saw. Sebagian dari kami berpuasa, sementara yang lainnya tidak berpuasa. Namun orang yang tak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa, dan demikian pula sebaliknya." Riwayat yang sama juga dinukil dari Abu Musa. (al-Haitsami,3/159)
Jika kita ingin menentukan strategi pendekatan mazhab-mazhab Islam melalui ijtihad seperti yang disinggung dalam makalah ini, maka hal ini membutuhkan sebuah mekanisme ilmiah dari pihak ulama dan mubalig dari semua mazhab:
1. Dari sisi konsep dan posisi, muslimin harus memahami perbedaan antara wahyu dan pemikiran manusia sebagai dua sumber utama perumusan undang-undang Islam. Wahyu adalah sesuatu yang kudus; yang kandungannya tak bisa dibantah atau dikritik. Sementara pemikiran manusia adalah bentuk pemahaman manusia terhadap wahyu. Oleh karena itu, apa pun yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah bisa diterima secara syar`i dan yang bertentangan dengan keduanya, mesti ditolak.
Hal ini memerlukan upaya kolektif untuk mengamalkan masalah-masalah yang disepakati mazhab-mazhab Islam, yang tentunya berjumlah banyak. Mazhab-mazhab Islam memiliki kesamaan dalam banyak hal, baik dalam masalah akidah, perumusan undang-undang, akhlak, atau budaya. Dalam hal-hal yang menjadi perbedaan antarmazhab, kita harus saling memaklumi satu sama lain. Sebab kita menerima perbedaan fatwa dan pendapat lantaran syariat tidak melarang perbedaan dalam ijtihad. Yang dilarang adalah perbedaan yang melemahkan umat dan memecah persatuan mereka.
Mengingat bahwa ijtihad adalah bentuk pemikiran manusia yang berasaskan prinsip-prinsip syariat dan salah satu ragam pemahaman wahyu ilahi, maka para ulama dan fukaha mesti menjadikannya sebagai sarana pendekatan, bukan sarana pertikaian. Oleh karena itu, tidak boleh ada fanatisme terhadap suatu pandangan tertentu dan pengingkaran pandangan lain, selama keduanya adalah dua ragam pemahaman terhadap wahyu dan masih dalam koridor ijtihad syar`i. Atas dasar inilah Nabi Saw bersabda bahwa bila hakim memutuskan hukum yang benar dengan ijtihadnya, maka dia mendapat dua pahala, dan bila ijtihadnya keliru, ia memperoleh satu pahala. (Shahih Bukhari,6/2676)
2. Perbedaan (ikhtilaf) dan pelanggaran (khilaf) harus dibedakan. Khilaf berarti niat untuk menentang dan melawan perintah ilahi yang menyebabkan permusuhan antarpihak. Sedangkan ikhtilaf bermakna perbedaan dalam pandangan dan pemahaman sesuatu untuk mengetahui hukum syar`inya, tanpa ada kebencian dan permusuhan antara kedua pihak.
Oleh karena itu, perbedaan dalam masalah furu`-dengan tetap menjaga kesatuan dalam masalah ushul–tidak akan menyebabkan perpecahan antarmazhab. Sebab itulah, kita bisa menyaksikan rasa cinta kasih dalam masalah-masalah ijtihadi, karena para mujtahid sama-sama ingin memahami maksud si pembuat undang-undang. Perbedaan metode mereka untuk mewujudkan tujuan ini tidak berpengaruh dalam hubungan baik antarmereka. Masing-masing saling menghormati pihak lain, sampai dikatakan bahwa andai ada perbedaan dalam kesimpulan kami, namun hati kami tetap satu.
Atas dasar ini, maka budaya pengkafiran di tengah masyarakat Islam harus dikikis habis. Budaya pengkafiran ini adalah sebuah budaya ‘selundupan' dalam pemikiran Islami, sebab seorang muslim tidak boleh mengkafirkan muslim lain atau menyebutnya sebagai orang fasik, kecuali bila ia memang mengingkari suatu ajaran gamblang dalam agama. Kami menginginkan perubahan mendasar dalam masalah ini dari tahap iman dan kafir menjadi tahap benar dan salah; dari tahap tuduhan fasik dan bidah menjadi tahap rajih dan marjuh. Dengan demikian, maka pemikiran Islam akan tetap menjaga rasionalitasnya.
3. Harus ada perhatian terhadap penyebaran budaya dialog antarmazhab. Para pelaku dialog ini harus memahami bahwa persatuan hakiki tidak bertentangan dengan keragaman penafsiran dan perbedaan pandangan. Sejarah menyebutkan perbedaan antara para sahabat Nabi dalam banyak masalah yang terdapat dalam teks Al-Quran dan Sunnah. Sejarah juga merekam perbedaan pendapat antara para tabi`in dan pemuka mazhab serta para pengikut mereka tanpa adanya sikap saling memusuhi antarmereka. Prinsip mereka adalah ‘pendapat kami lebih utama karena ada kemungkinan salah, dan pendapat yang lain tidak lebih utama karena ada kemungkinan benar.'
Dialog adalah logika sehat dalam mengemukakan pikiran kepada pihak lain. Mendengar pendapat pihak lain dan mengikuti pendapat yang terbaik dan terkuat dari sisi argumen serta tidak merendahkan pihak lain, adalah seruan Al-Quran kepada kita semua:
Katakanlah, kalian tidak akan ditanya tentang keburukan yang kami lakukan. Kami juga tak akan ditanya tentang apa yang kalian lakukan.
Al-Quran menjaga perasaan pihak lain dengan tidak mengatakan ‘kami juga tak akan ditanya tentang keburukan yang kalian lakukan', meski sebenarnya cocok dengan alur kalimat sebelumnya. Bahkan, al-Quran mengatakan ‘Kami tak akan ditanya tentang apa yang kalian lakukan'. Al-Quran mengajari kita untuk menghormati pihak lain. Dialog yang disebut dalam ayat ini berkenaan dengan pihak nonmuslim. Lalu, bagaimana bila dialog terjadi antara dua pihak muslim yang sama-sama ingin mengetahui hukum syariat dari sumber serupa?
4. Masyarakat Muslim harus menerima bahwa keragaman pandangan dan perbedaan dalam hukum fikih, adalah suatu pintu rahmat bagi umat, bukan sebuah bencana atau musibah. Oleh karena itu, perbedaan antarmazhab adalah suatu keutamaan bagi umat Islam. Para nabi sebelum Rasulullah Saw diutus hanya dengan satu syariat, sehingga dalam banyak masalah umat mereka hanya memiliki pilihan terbatas, berbeda dengan kita yang memiliki banyak pilihan.
Syariat Islam memiliki hukum-hukum yang bersifat general. Sedangkan perincian dan detil-detilnya diserahkan kepada para mujtahid, seperti yang disebut dalam hadis dari Mu'adz bin Jabal. Ini adalah salah satu prinsip perumusan undang-undang yang menelurkan hukum syar`i. Dengan demikian, ijtihad dan keragaman pendapat yang muncul darinya, adalah suatu keniscayaan dalam syariat terakhir ini. Ini adalah rahmat Allah bagi para hamba-Nya dan tak ada bahaya di dalamnya. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda, "Perbedaan (pendapat) di tengah umatku adalah sebuah rahmat." (al-Nawawi,1/91)
5. Islam melarang sikap tidak santun karena dikhawatirkan akan berujung pada penghinaan terhadap keyakinan dan akidah agama. Allah berfirman, Janganlah memaki orang-orang yang berdoa kepada selain Allah, supaya mereka tidak memaki Allah karena ketidaktahuan mereka. (Al-An`am:108) Bila penghinaan terhadap nonmuslim dilarang, lalu bagaimana dengan penghinaan kepada sesama muslim? Bila ini terjadi, maka para pengikut mazhab akan kehilangan kendali dan melakukan hal-hal yang merusak misi pendekatan antarmazhab dan persatuan Islam.
Tidak ada keraguan bahwa tanggung jawab ini berada di pundak para ulama, mubalig, dan penyeru pendekatan antarmazhab. Mereka harus menyampaikan kepada masyarakat bahwa perbedaan pandangan lantaran keragaman dalil dan pemahaman, adalah sesuatu yang wajar. Tentu saja hal ini lebih dipahami para ulama dan fukaha, sebab dari satu sisi, mereka adalah pewaris para nabi dan pemegang panji Islam. Dan dari sisi lain, mereka lebih mengetahui prinsip-prinsip pendekatan antarmazhab. (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)