Ghasb Administratif: Mark Up Tipis, Dosa Serius (3)
Dari sudut pandang fikih Islam mazhab Ahlulbait (Syiah Ja’fari), mengambil harta milik bersama umat—seperti anggaran perusahaan, dana publik, atau kas institusi—tanpa izin sah dari pemiliknya atau tanpa kejelasan syar’i termasuk ghasb (perampasan), dan hukumnya haram secara mutlak. Dalam Tahrir al-Wasilah karya Imam Khomeini dan Minhaj al-Shalihin karya Ayatullah Sistani, ditegaskan bahwa siapa pun yang mengambil harta orang lain secara tidak sah, maka ia wajib:
1. Mengembalikan harta tersebut seutuhnya kepada pemiliknya (dalam hal ini perusahaan),
2. Bertaubat secara sungguh-sungguh,
3. Jika pemilik tidak diketahui secara spesifik, maka dana itu wajib disalurkan kepada fakir miskin atau atas izin wakil wali faqih.
Perbuatan semacam ini juga termasuk dalam kategori khiyanah (pengkhianatan amanah) yang disebutkan dalam Al-Kāfī bahwa: “Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak bisa dipercaya” (Imam Ja‘far Shadiq a.s.). Maka walaupun jumlah yang diambil tampak kecil, statusnya tetap haram, dan wajib diperlakukan sebagaimana pencurian.
Budaya mark up ini bukan hanya soal angka, tapi soal akhlak. Jika terus dibiarkan, ia akan menjadi tradisi gelap yang diwariskan dari satu generasi pegawai ke generasi berikutnya. Pegawai baru belajar bahwa “laporan yang baik bukan yang sesuai realita, tapi yang aman dari pemeriksaan.” Maka integritas pun perlahan terkikis, dan kejujuran menjadi barang langka yang hanya ditemukan dalam seminar etika atau khutbah Jumat.
Perusahaan yang ingin sehat harus berani menertibkan dari hal kecil. Mulai dari disiplin pelaporan, transparansi anggaran, hingga keberanian menindak yang menyimpang meskipun hanya ratusan ribu. Sistem perlu diperkuat, tapi lebih penting lagi: nurani karyawan perlu dihidupkan. Mereka yang tetap jujur meski punya celah untuk curang adalah penjaga marwah perusahaan. Mereka mungkin tidak populer, tapi merekalah yang membuat perusahaan layak dipercaya.
Di tengah tekanan ekonomi, target kerja, dan budaya permisif, jujur mungkin terasa seperti keputusan yang “tidak menguntungkan.” Tapi di hadapan Allah, itulah kemenangan yang sebenarnya. Rezeki yang bersih bukan hanya menyenangkan saat diterima, tapi juga menyelamatkan saat dipertanggungjawabkan. Rezeki yang berasal dari nota palsu mungkin bisa beli makan enak, tapi tidak akan bisa membeli ketenangan hati.
Mark up memang tipis. Tapi dosanya tebal.
Referensi
1. Al-Qur’an al-Karim, QS. Al-Baqarah: 188; QS. At-Taubah: 119
2. Al-Kulaini, Muhammad bin Ya‘qub. Al-Kāfī, Jilid 2, Kitab al-‘Iman wa al-Kufr, bab al-Khiyanah
3. Rasulullah SAW dalam Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim, tentang keadilan dalam hukuman dan larangan menipu umat
4. Imam Khomeini. Tahrir al-Wasilah, Jilid 2, Bab Ghasb
5. Ayatullah al-‘Uzma Sayyid Ali al-Sistani. Minhaj al-Shalihin, Masā’il Fiqhiyah tentang khiyanah, ghasb, dan harta yang diambil tanpa izin
6. Management Accounting Quarterly, Spring 2013, Vol. 14, No. 3: Walker, Kenton B. & Fleischman, Gary M., “Toeing the Line: The Ethics of Manipulating Budgets and Earnings”