Menyembelih Ego, Meraih Kesucian dan Keridhoan: Pelajaran Agung dari Kisah Kurban Nabi Ibrahim AS (4)
Hadis Hikmah Berkurban
Dalam pandangan para Imam Ahlulbait as, ibadah kurban bukan sekadar ritual fisik, melainkan sarat dengan makna spiritual yang mendalam. Imam Ja’far ash-Shadiq as menjelaskan bahwa Allah tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung hikmah, dan hikmah dari kurban adalah untuk menumbuhkan sikap berserah diri, mengakui rububiyah Allah, serta menyucikan jiwa dari kelalaian dalam penghambaan. Kurban menjadi simbol ketundukan total kepada kehendak Ilahi, mencerminkan inti dari proses tazkiyah (penyucian jiwa).
Hal ini senada dengan sabda Imam Ali ar-Ridha as yang menyatakan bahwa disyariatkannya kurban adalah sebagai pengganti dari ujian berat Nabi Ibrahim as yang hampir menyembelih putranya, Ismail, agar menjadi tradisi yang bermakna di tengah umat: menjaga anak-anak dari kebinasaan melalui pengorbanan dan keikhlasan.
Selain dimensi spiritual, kurban juga mengandung filosofi sosial yang kuat. Imam Ja‘far ash-Shadiq as mengajarkan bahwa daging kurban tidak hanya dinikmati pribadi, tetapi harus dibagikan kepada keluarga, tetangga, dan kaum fakir sebagai wujud solidaritas dan kasih sayang sosial. Ini menunjukkan bahwa kurban adalah momentum untuk mempererat ikatan kemanusiaan, memperhatikan kaum dhuafa, dan menyebarkan rahmat dalam masyarakat. Namun, semua itu hanya akan bermakna jika lahir dari jiwa yang suci, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ja‘far ash-Shadiq as bahwa: “Kurban tidak akan diterima kecuali dari jiwa yang suci.” Dengan demikian, esensi kurban terletak pada kemurnian niat, kebersihan hati, dan kepedulian sosial yang sejati.