Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Take and Give: Don’t Take If You are not a Giver (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Ketika manusia mengambil sumber daya dari alam tanpa membantu proses regenerasinya, tindakan ini disebut eksploitasi. Begitu pula dengan hubungan antar manusia. Mengambil tenaga, waktu, dan ilmu orang lain tanpa memberikan apresiasi atau penghargaan yang layak juga dapat dianggap sebagai eksploitasi manusia.

Dengan memahami konsep gerak substansial ini, kita diajarkan tentang keseimbangan dan etika dalam berhubungan dengan alam maupun sesama manusia. Kita diajak untuk menyadari bahwa semua hal saling berkaitan, bergerak menuju kesempurnaan dan tujuan tertentu, sekaligus menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap sunnatullah (hukum Allah) yang berlaku di alam semesta.

Fenomena Eksploitasi Manusia Dibalik Kata Khidmat

Istilah “khidmat” yang secara harfiah berarti mengabdi atau setia kepada sesuatu yang mulia—Allah, umat, atau Imam Mahdi—semestinya membawa makna luhur dalam praktiknya. Namun, kenyataannya, banyak para pemuka agama atau talabeh (pelajar agama) mengalami ketidakadilan dalam apresiasi atas khidmat mereka. Penghargaan yang layak sebagai manusia seringkali diabaikan, justru dengan alasan bahwa mereka sedang berkhidmat di jalan Allah.

Realitasnya, seseorang yang berkhidmat juga membutuhkan jaminan hidup yang layak. Mereka perlu makan, keluarganya perlu biaya pendidikan, dan kesehatan harus terjamin. Jika apresiasi tidak diberikan secara memadai, fokus mereka akan terpecah antara berkhidmat dengan memikirkan hal-hal mendasar dalam kehidupan sehari-hari.

Penting dipahami bahwa apresiasi yang dimaksud bukanlah bentuk hedonisme yang berlebihan, seperti upah ratusan juta sekali ceramah atau kegiatan agama yang glamor. Sebaliknya, apresiasi adalah bentuk tanggung jawab moral kita kepada mereka yang telah mencurahkan tenaga, ilmu, dan waktu demi umat. Prinsip ini sejalan dengan hukum alam: take and give. Kita tidak bisa hanya mengambil sebanyak mungkin tanpa memberi sebanyak mungkin pula.

Seringkali, kita mendengar kalimat, “Imam Mahdi yang membalasnya” atau “Allah yang akan membalasnya”. Meskipun pernyataan ini secara teologis benar, menggunakannya untuk menghindari kewajiban membayar upah layak adalah manipulatif. Pertama, ketika kita sendiri yang mengambil manfaat dari usaha orang lain, mengapa tanggung jawab membalas jasa itu dilimpahkan kepada Imam atau Allah? Kedua, dengan kalimat tersebut, seseorang merasa sungkan untuk meminta haknya, karena “dijamin Allah”—sebuah manipulasi yang halus tetapi menyakitkan. Ketiga, dengan alasan ini, kita menjadi abai terhadap kehidupan nyata para pemuka agama tersebut. Kita tidak tahu bagaimana kondisi dapurnya, kesehatan keluarganya, bahkan isi perut mereka sehari-hari.

Memberikan apresiasi yang layak bukanlah penolakan terhadap keberkahan spiritual. Justru dengan memberi apresiasi secara materi yang layak, kita turut berpartisipasi dalam keberkahan tersebut. Dengan demikian, ilmu yang kita dapatkan dari pemuka agama menjadi berkah, harta kita pun mendapat keberkahan karena digunakan di jalan yang benar, dan semua ini menjadi investasi amal jangka panjang di hari pembalasan.Kondisi kurangnya apresiasi ini membawa dua kemungkinan buruk. Pertama, seorang pemuka agama atau talabeh harus mencari sumber penghasilan lain, seperti berbisnis atau bekerja di bidang yang tidak terkait dengan khidmatnya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya fokus mereka dalam mendalami ilmu agama, yang pada akhirnya mengurangi kualitas khidmatnya. Kedua, kondisi lebih parah adalah mereka terpaksa meminta bantuan dari lembaga atau pihak tertentu, menempatkan mereka dalam posisi yang sangat rentan dan tidak nyaman secara martabat manusia.

Bersambung...