Sebuah Momen Di Padang Cinta (3)
Ikatanya bukan sekadar darah, tapi darah yang tumpah karena cinta Allah.
Tidak ada keacakan dalam semesta. Semua terhubung dalam Jalinan Kasih dan Takdir-Nya. Di balik semua kepedihan Karbala, sungguh Allah selalu mengawasi. Allah menyebut diri-Nya Raqīb dalam QS. An-Nisā’ (4:1):
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Sesungguhnya Allah senantiasa mengawasi kalian. (QS. 4:1)
Bagi Al-Husain as, Allah ar-Raqib bahkan lebih terang dari mentari; lebih dekat ketimbang urat nadi. Ia yang setiap hari shalat 1000 roka’at. Dan punggungnya ada bekas hitam saking banyaknya mengangkat karung-karung hadiah cinta bagi para fukara di malam hari. Adalah Ia yang tak pernah lepas sedetik pun terpisah dari tatapan pada Allahur Raqib. Allah, Tuhan Penuh Cinta Yang Senantiasa Mengawasi.
Sayyid Muhammad Husain Husaini Tehrani menuliskan dalam Lama’at al-Husayn
“ Banyaknya luka dan cedera pada tubuhnya membuat Imam sangat kelelahan. Ia berhenti bertarung untuk beristirahat sejenak, tetapi seseorang melemparkan batu ke dahinya, sehingga darah mengalir di wajahnya. Ketika ia ingin membersihkan darah dari matanya dengan pakaiannya, seseorang menusuk jantungnya dengan anak panah bermata tiga. Putra Rasulullah berkata:
بسم الله، وبالله، وعلى ملة رسول الله
(Bismillah, wa billah, wa ‘ala millati rasuulillah). Dalam nama Allah, dengan Allah, dan dalam agama Rasulullah.
Kemudian ia menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata,
إلهي، إنك تعلم أنهم يقتلون رجلاً ليس على وجه الأرض ابن نبي غيره
(Ilahi, innaka ta’lamu annahum yaqtuluuna rojulan laisa ‘ala wajhil ardhi ibnu nabiyyin ghoiruh).
Ya Tuhanku, Engkau benar-benar tahu bahwa mereka membunuh seseorang yang tiada putra nabi lain di muka bumi ini.
Ia meraih anak panah itu dengan tangan dan mencabutnya dari punggungnya, sehingga darah memancar seperti air hujan yang mengalir dari talang. Imam meletakkan telapak tangannya di bawah luka, dan telapak itu pun penuh dengan darah. Kemudian ia memercikkan darah itu ke langit dan berkata,
هون عليّ ما نزل بي أنه بعين الله
(Haunun ‘alayya maa nazala bii annahu bi ‘ainillah).
Penderitaan ini ringan bagiku karena sesungguhnya ini di hadapan mata Allah.
Sungguh, tiada darah Husain yang tumpah sia-sia.
Tidak setetes pun dari darah itu jatuh kembali ke bumi. Ia meletakkan telapak tangannya di bawah luka dan mengisinya dengan darah untuk kedua kalinya, lalu mengusapkannya ke kepala dan janggutnya yang mulia, dan berkata, “Aku akan tetap seperti ini hingga aku bertemu dengan kakekku, Rasulullah.” Ia kehilangan begitu banyak darah sehingga ia benar-benar lelah. Maka ia duduk di tanah, sementara ia tidak mampu lagi menahan kepalanya.
Kemudian Malik ibn Busr mendekat, memaki Imam, dan memukul kepalanya dengan pedang. Jubah kepala panjang Imam (بُرْنُس, burnus) dipenuhi darah. Ia melepasnya, lalu mengikat sorbannya (عِمَامَة, imamah) di sekitar topi biasa (قَلَنْسُوَة, qalansuwah), atau menurut beberapa riwayat, ia membalut kepalanya dengan sehelai kain.
Kemudian Zur’ah Ibn Syarik memukul bahu kiri [atau tangan] Imam, Husain [ibn Numayr at-Tamimi] menembakkan anak panah ke tenggorokannya, dan orang lain memukul leher mulia Imam dengan pedang. Sinan Ibn Anas memukul tulang selangka Imam dan kemudian dadanya dengan tombak, serta juga menembakkan anak panah ke tenggorokannya. Tombak lain dari Saleh ibn Wahab menembus sisi tubuh Imam.
Hilal ibn Nafi’ melaporkan. “ Aku berdiri di dekat Husain ketika ia mengambil nafas terakhirnya. Demi Allah, saya belum pernah melihat seseorang yang berlumuran darahnya sendiri namun memiliki wajah yang begitu cerah dan gemilang. Sungguh, saya begitu terpikat oleh cahaya wajahnya sehingga saya tidak terpikir untuk membunuhnya.”
Bersambung...