Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kesendirian dan Luka Kosmik Husain (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Dalam satu momen agung malam Asyura, Husain memberi izin sahabat-sahabatnya untuk meninggalkannya. “Mereka hanya ingin membunuhku,” katanya. “Pergilah, aku takkan mencela kalian.” Tapi mereka tetap tinggal. Mereka tidak tinggal karena diperintah, tapi karena sadar: bahwa bersamanya adalah bersama dengan nilai yang tak mungkin dibeli oleh dunia. Di sinilah al-Witr al-Mautur mencapai puncaknya: kesendirian yang menghidupkan jiwa orang lain. Kesendirian yang penuh Kasih bagi sesama. Kesendirian yang merupakan Pancaran Kasih Ilahi.

Gelar al-Witr al-Mautur pun menjadi gema abadi. Dalam Al-Qur’an (al-Fajr: 3), Allah bersumpah: “Demi yang genap dan yang ganjil.” Tafsir-tafsir menyebut bahwa al-witr adalah simbol tauhid, puncak dari kemurnian spiritual. Maka Husain adalah pancaran ketauhidan itu di medan realitas historis. Ia adalah witr, karena satu-satunya. Ia adalah mautur, karena tidak ada yang membalasnya — oleh karena itu , seharusnya umat Muslim merawat ingatan kolektif (memoria collective) pada Imam Husain dengan majelis Aza dalam bulan Muharram dan Shafar.Dan dalam majelis duka cita Imam Husain, kita bertanya pada diri kita: apakah kita bagian dari mereka yang diam, atau bagian dari mereka yang bangkit dan menangis demi menjaga cahaya keadilan tetap menyala? Apakah kita siap bila karena Cinta kita pada Husain, kita dikucilkan, kita ditinggal mereka yang menyayangi kita dan menghormati kita. Apakah kita siap menjadi sendiri, tertindas, dan terkadang terzalimi tanpa mampu membalas dan tanpa keadilan yang ditegakkan? Sebagaimana ujaran Guru Bangsa KH. Jalaluddin Rakhmat, “ Seluruh fitnah di dunia harus ada alasannya, kecuali fitnah pada para pecinta Husain. Sepanjang sejarah , para pengikut Husain difitnah tanpa alasan, dicerca tanpa dasar, dipersekusi tanpa perlu diadili, dihancurkan kehormatannya tanpa pembela, dan dibunuh tanpa belas kasihan. Kesalahan mereka satu-satunya adalah, karena mereka mencintai Husain.”

Husain adalah al-Witr al-Mautur. Ia sendiri. Ia tertindas, tanpa ada yang membela. Ia tidak hanya syahid, ia adalah makna syahadah. Ia tidak hanya sendirian, ia adalah suara Tuhan yang berdiri dalam sunyi di hadapan puluhan ribu anak panah, tombak dan pedang angkara murka. Apakah kita siap membelanya dalam sunyi di hadapan puluhan cercaan, makian tentara angkara ?

Dan jika suatu hari dunia kehilangan cahaya, ingatlah: Husain adalah lentera yang berdiri dalam gelap,
bukan untuk dilihat, tetapi untuk menerangi.

Ia bukan sekadar nama dalam kisah,
Ia luka yang tak berhenti bernyanyi,
Di tengah padang Karbala yang merah,
Husain berdiri. Sendiri.

Ia bukan sekadar yang gugur,
Ia makna gugur itu sendiri,
Syahadah bukan darah yang tumpah,
Syahadah adalah keputusan abadi
untuk tidak tunduk pada bumi.

Di malam sunyi yang tak bertirai,
Ia padamkan pelita, berkata lirih:
“Pergilah, jangan ikuti aku menuju maut,”
Tapi mereka diam,
Dan tetap tinggal
Karena mereka tahu:
Yang berdiri di hadapan mereka
Adalah kebenaran yang mewujud dalam tubuh
Yang kecil
Namun menjulang tinggi seperti langit yang tak habis dibaca.

Wahai Karbala!
Kau bukan tanah,
Kau adalah cermin langit
yang memantulkan kesunyian Allah
pada tubuh Husain yang dicincang
namun tak pernah menyerah.

Ia al-Witr
Yang tak punya pasangan
Kecuali cahaya dari langit tertinggi
Yang membakar dunia tanpa suara
Dan memekakkan telinga zaman dengan bisikan cinta.

Ia al-Mautur,
Yang dizalimi tanpa ada pembela di bumi
Namun dibela oleh seluruh langit,
Dibela oleh air mata para nabi
Yang menetes dari zaman Adam
hingga Muhammad,
Dan bahkan oleh ruh zaman yang gemetar
setiap kali bulan Muharram datang.

Wahai umat yang menyaksikan!
Berapa banyak dari kalian
yang diam ketika keadilan disembelih?
Berapa banyak dari kalian
yang menunduk
ketika suara Tuhan berteriak
di tubuh Husain yang tak bernyawa?

Jika kau menangis untuk Husain,
biarlah air matamu jadi sungai yang melawan keserakahan.
Jika kau menyebut namanya,
biarlah suaramu jadi guntur yang meruntuhkan tahta palsu.
Jika kau mencintainya,
biarlah cintamu menjadi jalan panjang yang tak henti mengeja:
Tiada kehormatan
dalam sujud kepada tirani.

Dan jika suatu hari dunia kehilangan cahaya,
ingatlah:
Husain adalah lentera yang berdiri dalam gelap,
bukan untuk dilihat,
tetapi untuk menerangi.

Wa maa taufiiqi illa billah ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib