Kalau Syiah Itu Agama Lain, Kenapa Kamu Menyerangnya Pakai Dalil Islam? (1)
Logika Kontradiktif yang Perlu Diperiksa Ulang
Di banyak ruang diskusi, terutama di media sosial, Syiah sering dijadikan sasaran tuduhan berat. Salah satu yang paling sering muncul adalah bahwa Syiah bukan mazhab, melainkan agama lain. Tuduhan ini terdengar tegas, ingin memutus total keterkaitan Syiah dengan Islam. Namun ada kejanggalan yang cukup mencolok. Jika memang Syiah agama lain, mengapa argumen bantahan terhadap Syiah selalu menggunakan dalil dari Al-Qur’an, hadis, bahkan ilmu akidah Islam?
Kita tidak pernah menyalahkan umat Kristen karena tidak shalat, atau menegur umat Buddha karena tidak membayar zakat. Karena kita paham, mereka berada di luar sistem keyakinan Islam, sehingga tak relevan menggunakan hukum Islam untuk menilai mereka. Tapi anehnya, dalam kasus Syiah yang katanya bukan Islam, kritik yang diarahkan justru sangat islami. Mereka dikritik karena dianggap tidak mengikuti hadis sahih, tidak mencintai sahabat, atau menyeleweng dari akidah Islam.
Semua tuduhan itu hanya masuk akal jika pelakunya diakui berada dalam rumah Islam. Tidak mungkin menyimpang dari ajaran Nabi jika Nabi saja tidak diakui. Tidak mungkin menyimpang dari Qur’an jika Qur’an bukan kitab sucinya. Maka ketika tuduhan-tuduhan itu dilontarkan kepada Syiah yang katanya agama lain, itu berarti secara tidak sadar, si penuduh mengakui bahwa Syiah berada dalam cakupan Islam.
Inilah yang disebut logika kontradiktif. Di satu sisi ingin mengatakan Syiah itu agama lain. Tapi di sisi lain, menyerangnya tetap dari dalam, memakai narasi keislaman. Kalau memang benar Syiah agama lain, cukup posisikan mereka seperti memosisikan agama-agama non-Islam lainnya. Tapi kenyataannya, perlakuan yang diberikan bukan seperti kepada agama luar, melainkan seperti saudara sendiri.
Untuk memahami persoalan ini lebih jernih, kita perlu melihat dari sisi sejarah dan ilmu. Kata Syiah sendiri bukan istilah asing. Dalam Al-Qur’an surat Ash-Shaffat ayat 83 disebutkan bahwa Nabi Ibrahim termasuk dalam kelompok pengikut, atau syi’ah, dari Nabi Nuh. Secara bahasa, Syiah berarti pengikut, loyalis, atau pendukung suatu tokoh. Dalam sejarah Islam, Syiah merujuk pada kelompok umat Islam yang meyakini bahwa sepeninggal Nabi Muhammad, kepemimpinan umat semestinya berada di tangan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Perbedaan ini pada dasarnya adalah perbedaan politik dan teologis dalam tubuh Islam, bukan kelahiran agama baru.
Kitab-kitab klasik seperti Al-Milal wa An-Nihal karya Syahrastani dan Al-Farq bayn al-Firaq karya Al-Baghdadi secara eksplisit mencantumkan Syiah sebagai bagian dari kelompok Islam. Tidak pernah disebut sebagai agama luar atau kepercayaan baru yang lahir terpisah. Bahkan ulama sekelas Imam Ghazali pun, meski keras terhadap sebagian pemikiran Syiah, tidak pernah mengeluarkan mereka dari Islam.
Bersambung...