KARBALA: PARADIGMA KETULUSAN VS KEUNTUNGAN
Karbala bukan sekadar titik di peta, melainkan madrasah abadi yang mengukir jiwa-jiwa langka, yang bagi dunia tampak asing, bahkan menyimpang. Mereka adalah pewaris kebenaran yang teguh, memikul panji keadilan meski pahit bagai empedu yang merobek kalbu. Paradigma hidup mereka berpilin jauh dari orbit mayoritas, yang terpikat gravitasi kenyamanan dan ilusi kenikmatan. Jiwa-jiwa Karbalais ini memilih jalan eksistensial yang menentang arus, menabrak narasi dominan zaman.
Narasi yang kini meraja adalah pengejaran keuntungan dalam segala wujudnya: keamanan yang membius, kenyamanan yang melenakan, kemudahan tanpa rintang, kebebasan tanpa batas, hingga kenikmatan yang meluap. Singkatnya, segala yang kasatmata, terukur, dan kuantitatif. Namun, para penganut Karbalaisme, dengan gairah yang membakar, memilih opsi yang kian tergerus di era pemujaan kemudahan ini. Dalam nalar manusia biasa, apalagi dalam tafsir ketuhanan yang sering tersesat, pilihan mereka tampak paradoksal, bahkan kontradiktif.
Mereka memihak kebenaran dengan mata terbuka, menanggung risiko yang mengguncang: keteraniayaan yang menghunjam jiwa, kesulitan yang mengasah esensi diri, kepatuhan tulus tanpa pamrih, kegetiran yang menyucikan, dan pengorbanan yang mengharu biru. Mereka memilih yang kualitatif, abstrak, dan tak tersentuh tangan duniawi.
Sementara dunia berdesak-desakan dalam hiruk-pikuk, berjingkrak dalam tawa dan euforia pesta fana, Karbalaisme menyerap jiwa-jiwa terpilih ke dalam kesunyian langkah teguh. Mengabaikan sorak, cemooh, atau makian, mereka melangkah menuju magma duka yang menyala. Kaum yang dianggap aneh ini berkumpul dalam majelis kelam, menitikkan air mata bukan karena putus asa, melainkan demi kemuliaan yang diinjak nafsu kerakusan. Dengan hentakan tangan di dada, mereka melantunkan ratapan yang bukan sekadar duka, melainkan wujud empati terdalam dan cinta yang membara.
Logika kebenaran ini membuat misi suci al-Husain dan para kerabat serta sahabatnya dipandang sebagai tindakan konyol, bahkan bunuh diri eksistensial, oleh nalar pragmatis. Pragmatisme, anak kandung materialisme, telah merasuki pikiran dan tindakan mayoritas, menuhankan kenyamanan, keamanan semu, dan kesejahteraan jasmani sebagai satu-satunya keabsahan.
Inilah arus besar yang ditolak al-Husain dan para syuhada Karbala. Demi cinta tak terperi, mereka absen dari barisan manusia yang histeris mengejar hidup aman tanpa kehormatan. Memilih jalan sunyi sebagai buronan kebenaran, mereka menerima kemarjinalan, membiarkan darah mereka membuncah, bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk menyuburkan bumi dengan benih kemuliaan abadi.
Pertarungan abadi antara logika kebenaran yang kualitatif dan logika keuntungan yang kuantitatif terus bergulir, dari masa silam yang kelam, di riuh rendah masa kini, hingga masa depan yang masih berkabut. Kemenangan hakiki tak diukur oleh jumlah atau kekuatan fisik, melainkan keteguhan jiwa dan kemurnian nilai. Inilah kemenangan paradoksal, di mana kelembutan kualitatif mengungguli kegaduhan kuantitatif. Inilah logika abadi Karbala: titisan darah suci yang tulus akan selalu mengalahkan keangkuhan pedang semu. Karbala tetap berdenyut sebagai mercusuar agung, menuntun jiwa-jiwa yang memilih kebenaran meski pahit, di tengah samudera kenyamanan yang menipu.