Keutamaan Merawat Ingatan Pada Rasulullah Saw dan Keluarganya as (2)
Berikutnya adalah riwayat berikut ini,
عن بكر بن محمّد الأزديّ عن الإمام الصّادق عليه السلام: قالَ عليه السلام: تَجلِسونَ وتَتَحَدَّثونَ؟ قُلتُ: جُعِلتُ فِداكَ، نَعَم. قالَ: إنَّ تِلكَ الَمجالِسَ اُحِبُّها، فَأحيوا أمرَنا؛ إنَّهُ مَن ذَكَرَنا أو ذُكِرنا عِندَهُ، فَخَرَجَ مِن عَينَيهِ مِثلُ جَناحِ الذُّبابِ، غَفَرَ اللّهُ لَهُ ذُنوبَهُ، وَلَو كانَت أكثَرَ مِن زَبَدِ البَحرِ.
Sumber: Tsawāb al-A‘māl karya Syaikh Shaduq, hlm. 223, hadis no. 1.
diriwayatkan dari Imam Ja’far ash-Shadiq as bersabda
“ Apakah kalian duduk dan saling berbincang (tentang kami)?” Aku menjawab: “Ya, semoga aku menjadi tebusanmu!” Beliau berkata: “Sesungguhnya aku menyukai majelis seperti itu. Maka hidupkanlah ajaran kami.
Sesungguhnya barang siapa yang mengingat kami atau disebutkan nama kami di hadapannya, lalu menetes air mata dari matanya walau seukuran sayap lalat, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya, meskipun dosa itu lebih banyak dari buih di lautan.”
Subhanallah! Demikian dahsyat faedah majelis yang merawat ingatan (memoria) pada Nabi Saw dan keluarganya yang suci as. Dalam riwayat ini , satu hal yang menarik adalah, tangisan dalam majelis yang merawat ingatan (memoria) atau majelis dzikr pada Nabi Saw dan keluarganya yang suci as adalah memiliki keutamaan yang luar biasa. Tangisan yang tulus seukuran sayap lalat akan membuat Allah mengampuni dosa-dosa seseorang walaupun lebih banyak dari buih di lautan. Apa sebenarnya hikmah yang ada di balik tangisan majelis duka keluarga Nabi Saw?
Di laboratorium neurosains modern, para peneliti menemukan fakta mengejutkan: air mata emosional—terutama yang lahir dari kesedihan kolektif—mengandung hormon stres seperti leucine enkephalin, semacam penghilang rasa sakit alami. Profesor William H. Frey dari Universitas Minnesota dalam penelitiannya Crying: The Mystery of Tears (1985) membuktikan bahwa menangis tidak sekadar melepaskan ketegangan, tetapi juga menciptakan ikatan neurokimia antarindividu. Temuan ini menjelaskan mengapa majelis duka Ahlul Bait mampu membentuk solidaritas abadi—air mata yang tumpah bersama secara harfiah menyinkronkan otak para pelaku ritual.
Imam Ja’far ash-Shadiq as, empat belas abad lalu, telah memahami kekuatan transformatif ini. Ketika beliau bersabda tentang nilai air mata “sebesar sayap lalat”, beliau sedang merujuk pada mekanisme psiko-spiritual yang kini dibuktikan sains modern. Dr. Jordan R. Poppenk dari Queen’s University dalam studi Collective Emotional Events (2020) menunjukkan bahwa kelompok yang menangis bersama menunjukkan peningkatan 40% dalam memori episodik kolektif. Inilah rahasia mengapa memoria collectiva Ahlul Bait bertahan melintasi milenium—setiap tetes air mata adalah enkripsi biologis yang menyimpan ingatan tentang Karbala.
Para filsuf besar sepanjang sejarah telah merenungkan fenomena ini. Rousseau dalam Emile (1762) menyebut tangisan sebagai “bahasa pertama manusia”—sebelum kata-kata ada, air mata telah berbicara. Hegel dalam Fenomenologi Roh (1807) melihat tangisan kolektif sebagai momen “pengakuan intersubjektif” dimana kesadaran individu melebur dalam Geist (Ruh Absolut). Ini menjelaskan sabda Imam Ja’far “Hidupkanlah ajaran kami”—dalam tangisan bersama itu, setiap jamaah bukan sekadar mengingat sejarah, tetapi mengalami reaktualisasi tragedi Karbala dalam kesadaran kolektif.
Sastrawan dunia pun memberikan testimoni tentang kekuatan transformatif air mata. Kahlil Gibran dalam Tears and Laughter (1914) menulis: “Air mataku adalah lautan yang menghubungkan bumi ke surga.” Pablo Neruda dalam Book of Questions (1974) bertanya: “Apakah air mata adalah kata-kata yang gagal menjadi puisi?” Pertanyaan ini menemukan jawabannya dalam majelis Ahlul Bait—setiap tetes air mata di sana adalah syair revolusi yang tak terucapkan.
Neurosains kontemporer menemukan bahwa tangisan spiritual mengaktifkan tiga area otak sekaligus: Insula anterior (pusat empati), Prefrontal cortex (kesadaran moral), Sistem limbik (memori emosional). Temuan Prof. Hideaki Kawabata dari Tokyo Institute of Technology (2019) ini menjelaskan mengapa hadis Imam Ja’far mengaitkan air mata dengan pengampunan dosa—proses neuroplastisitas yang terjadi saat menangis dalam majelis dzikir secara harfiah “mengubah” otak manusia.
Di ujung spektrum lain, filsuf kontemporer seperti Cornel West melihat tradisi tangisan Ahlul Bait sebagai contoh sempurna dari prophetic pragmatism—air mata yang tidak membuat pasif, tetapi membangkitkan semangat perlawanan. Sementara Slavoj Žižek dalam The Puppet and the Dwarf(2003) membaca tangisan religius sebagai “subversi terhadap tatanan simbolik”—persis seperti yang dilakukan Zainab saat menangis di istana Yazid sambil mengguncang fondasi hegemoninya.
Dalam konteks inilah kita memahami mengapa memoria collectiva Ahlul Bait tak pernah pudar. Setiap tahun, jutaan manusia di Karbala membuktikan temuan terbaru neurosains tentang collective emotional synchronization (Rimé, 2021). Setiap tetes air mata di majelis duka adalah aktualisasi dari puisi yang penulis gubah terinspirasi dari Hafez:
“Muharram tak lain adalah mawar berduri. Petiklah sekarang dan biarkan tanganmu tertusuk duri, tangisanmu dan darahmu menjadi embun yang menjaganya tetap segar dan memerah sepanjang jaman.”
Wa maa taufiiqi illa billah ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib