Imam Al Hadi as, Teguh di Atas Kebenaran (1)
Riwayat Singkat Imam Ali Al-Hadi Nama : Ali. Gelar : Al-Hadi. Panggilan : Abul Hasan. Ayah : Imam Muhammad Al-Jawad. Ibu : Samanah. Kelahiran : Madinah, 212 H. Kesyahidan : 254 H. Makam : Samara, Irak.
Hari Lahir Imam Ali Al-Hadi as dilahirkan pada 15 Dzulhijjah 212 Hijriah di Madinah Al-Munawwarah.
Beliau adalah Imam kesepuluh dari silsilah imam Ahlulbait as. Ayah beliau ialah Imam Muhammad Al-Jawad as, dan ibu beliau berasal dari Maroko bernama Samanah; seorang wanita yang mulia dan bertakwa. Ketika sang ayah syahid akibat diracun, Imam Al-Hadi as baru berusia 8 tahun. Pada usia yang masih sangat dini itu pula beliau memegang amanat Imamah (kepemimpinan Ilahi atas umat manusia). Orang-orang memanggil Imam as dengan berbagai julukan, antara lain Al-Murtadha, Al-Hadi, An-Naqi, Al-’Alim, Al-Faqih, Al-Mu’taman, At-Thayyib. Yang paling masyhur di antara semua julukan itu adalah Al-Hadi dan An-Naqi. Akhlak Luhur Imam Imam Ali Al-Hadi as senantiasa menjalani kehidupannya dengan zuhud dan ibadah kepada Allah SWT. Di dalam sebuah kamar yang hanya dihiasai oleh selembar tikar kecil, beliau menghabiskan waktunya dengan membaca Al-Qur’an dan merenungkan maknanya. Beliau menyambut orang-orang begitu ramah, berbelas kasih kepada orang-orang fakir, dan membantu orang-orang yang membutuhkannya. Suatu hari, Khalifah Al-Mutawakkil mengirimkan uang sebesar 1.000 Dinar kepada beliau. Beliau membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir miskin. Pada kesempatan lain, Al-Mutawakil jatuh sakit sehingga para dokter pribadi khalifah kebingungan bagaimana mengobatinya. Lalu, ibu Al-mutawakil mengutus menterinya ,Al-Fath bin Khaqan untuk menemui Imam Ali as.
Beliau segera memberinya obat yang reaksinya sangat cepat sekali, sehingga para dokter khalifah itu tercengang melihatnya. Atas kesembuhan putranya, ibu khalifah mengirimkan uang sebesar 1.000 Dinar sebagai hadiah kepada Imam as, dan beliau pun membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang yang membutuhkannya. Kisah Batu Cincin Yunus An-Naqasi masuk datang ke rumah Imam Ali Al-Hadi as. Dalam keadaan gemetar ketakutan, ia berkata kepada beliau, “Wahai tuanku, seseorang dari istana telah datang kepadaku dengan membawa sepotong batu Firuz yang sangat berharga sekali. Ia memintaku untuk mengukirnya. Namun, ketika aku sedang melakukannya, batu tersebut terbelah jadi dua, padahal besok siang aku harus mengembalikannya.
Bila dia tahu akan hal itu, pasti dia akan marah padaku.” Imam as menenangkannya dan berkata, “Jangan kuatir! Tidak akan ada keburukan yang akan menimpamu. Bahkan, dengan izin Allah SWT engkau akan mendapatkan kebaikan darinya.” Pada hari berikutnya, ajudan Khalifah datang dan berkata, “Sungguh aku telah mengubah pandanganku. Kalau sekiranya kamu bisa memotongnya menjadi dua, aku akan menambah upahmu!” Pengukir tersebut berpura-pura berpikir padahal hatinya sangat bergembira. Kemudian berkata, “Baiklah, akan aku coba pesananmu itu!” Akhirnya, pengawal Khalifah berterima kasih pada pengukir tersebut.
Dari sana, pengukir itu bergegas menemui Imam Ali as untuk menumpahkan rasa terima kasih kepadanya. Dalam keadaan itu, Imam as berkata kepadanya, “Sungguh aku telah berdoa kepada Allah, semoga Dia memperlihatkan kebaikan khalifah kepadamu dan melindungimu dari kejahatannya.” Al-Mutawakkil Setelah Khalifah Al-Mu’tashim meninggal, kedudukannya digantikan oleh khalifah Al-Watsiq yang masa pemerintahannya berlangsung selama 5 tahun 6 bulan. Setelah itu, pemerintahan jatuh ke tangan Al-Mutawakkil. Pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil, kerusakan dan kezaliman telah mewabah di mana-mana. Pengaruh orang-orang Turki dalam kekhalifahan sangat kuat dan luas sekali, sehingga mereka menjadi pengendali jalannya roda pemerintahan dan khalifah Al-Mutawakkil pun menjadi alat permainan mereka. Saat itu, kebencian Al-Mutawakkil terhadap Ahlulbait Nabi as dan Syi’ahnya begitu besar. Ia memerintahkan agar membuat sungai di atas makam Imam Husain as dan melarang kaum muslimin untuk menziarahi makamnya.
Bahkan, ia telah membunuh banyak peziarah, sampai digambarkan dalam sebuah syair: Demi Allah, bila Bani Umayyah telah melakukan pembunuhan terhadap putra dan putri Nabinya secara teraniaya, kini keluarga saudara ayahnya (Bani Abbas) melakukan hal yang sama. Maka esok lusa demi Allah ia akan menghancurkan kuburnya. Mereka menyesal bila seandainya saja tidak ikut serta membunuhnya. Tak segan lagi, Al-Mutawakkil melakukan pengawasan yang ketat terhadap Imam Ali Al-Hadi as di Madinah. Mata-mata khalifah senantiasa mengintai setiap langkah Imam as, lalu melaporkan padanya setiap gerak dan pembicaraanya. Al-Mutawakkil merasa kuatir sekali setelah tahu kepribadian dan kedudukan Imam as di tengah-tengah masyarakat. Mereka begitu menghormati dan mencintainya, karena beliau berbuat baik kepada mereka dan menghabiskan sebagian besar waktunya di masjid. Al-Mutawakkil mengirim Yahya bin Harsamah sebagai utusan khusus untuk menghadirkan Imam Ali as. Segera ia memasuki kota Madinah.
Sementara itu, berita tentang rencana jahat Al-Mutawakkil telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, hingga orang-orang berkumpul di seputar tempat tinggal utusan khusus itu, sebagai bentuk kepedulian dan kekuatiran mereka atas apa yang akan terjadi pada diri Imam as. Dalam pengkuannya, Yahya bin Harsamah mengatakan, “Aku sudah berupaya menenangkan mereka, dan bersumpah di hadapan mereka bahwa aku tidak diperintah untuk menyakitinya.” Al-Mutawakkil senantiasa berpikir bagaimana cara menurunkan kedudukan tinggi Imam as di tengah masyarakat. Maka, sebagian penasehatnya mengusulkan untuk menebarkan berita-berita bohong yang dapat menjatuhkan kehormatan beliau, melalui saudaranya, Musa yang terkenal dengan perilakunya yang buruk. Usulan tersebut disambut senang oleh Al-Mutawakkil.
Segera ia memanggil Musa. Imam Ali as sendiri pernah memperingatkan saudaranya itu dengan ucapan, “Sesungguhnya khalifah menghadirkanmu untuk menghancurkan nama baikmu dan menyodorkan uang yang dapat menguasaimu. Maka, takutlah kepada Allah, wahai saudaraku dan jannganlah melakukan hal-hal yang diharamkan-Nya!” Musa tidak mau menghiraukan nasehat Imam as. Ia bertekad bulat untuk melakukannya, dan ternyata Al-mutawakkil justru merendahkannya. Sejak saat itu pula Khalifah itu tidak menyambut Musa lagi. Kalimat Hak di Hadapan Orang Zalim Ibnu Sikkit adalah salah seorang ulama besar. Abul Abbas Al-Mubarrad pernah memberikan kesaksian, “Aku tidak pernah melihat buku karya tulis orang-orang Baghdad yang lebih baik dari buku Ibnu Sikkit tentang Logika.” Al-Mutawakkil meminta kepada Ibnu Sikkit untuk mengajar kedua anaknya; Al-Mu’taz dan Al-Mu’ayyad. Suatu hari, Al-Mutawakkil bertanya kepada Ibnu Sikkit, “Mana yang paling kau cintai, kedua anakku ini ataukah Hasan dan Husain?” Ibnu Sikkit menjawab dengan penuh kebencian, “Demi Allah, sesungguhnya pembantu Imam Ali bin Abi Thalib lebih baik dari pada kamu dan kedua anakmu itu!” Mendengar jawaban Ibnu Sikkit tersebut, Al-Mutawakkil terperanjat dan begitu berang. Segera ia memerintahkan algojo Turki untuk mencabut lidahnya sampai mati. Demikianlah, Ibnu Sikkit pun pergi ke hadapan Allah SWT dan menemui kesyahidan.
Bersambung...