Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Imam Ali Zainal Abidin dan Fajar Kesadaran Umat Setelah Karbala (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Tragedi Karbala bukan sekadar peristiwa berdarah, tetapi awal dari guncangan spiritual, sosial, dan politik terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Dari reruntuhan duka, suara perlawanan Ahlulbait as mulai menggema. Salah satu suara yang paling kuat dan menggugah adalah khutbah Imam Ali Zainal Abidin as sekembalinya dari Syam ke Madinah.

Setelah tragedi Asyura, propaganda Yazid mulai disebarkan oleh tangan-tangan kekuasaan. Di Kufah, Ibnu Ziyad memanfaatkan mimbar sebagai alat pembenaran atas kejahatan yang dilakukan terhadap Imam Husain as dan keluarganya. Namun ketika ia mencaci Imam dan memuji Yazid di depan umum, seorang tokoh bernama Abdullah bin ‘Afif al-Azdi berdiri dan menyanggah keras: “Hai musuh Allah! Engkau dan ayahmu pendusta. Engkau telah membunuh anak-anak Nabi dan kini berdiri di atas mimbar seakan-akan bersih dari dosa?” (Tarikh al-Tabari, j. 4, h. 353).

Perlawanan itu berakhir tragis. Abdullah ditangkap pada malam harinya, lalu dieksekusi dan kepalanya disalibkan. Namun insiden ini adalah percikan awal dari bara perlawanan yang terus menjalar ke seluruh wilayah kekuasaan Islam kala itu (Ansab al-Asyraf, Baladzuri, j. 3, h. 123).

Hijaz Bergolak, Madinah Menyala

Di Mekkah, Abdullah bin Zubair memanfaatkan kemarahan umat pasca Karbala. Ia mengecam pengkhianatan penduduk Kufah terhadap Imam Husain, seraya memuji sang Imam sebagai pemimpin yang zuhud dan bertakwa. Dari Mekkah ia menyusun kekuatan dan menyerang legitimasi Yazid (Tarikh al-Kamil, Ibn al-Atsir, j. 3, h. 405).

Sementara itu di Madinah, suara yang lebih suci dan berwibawa menggelegar dari lisan Imam Ali Zainal Abidin as. Sebelum memasuki kota, beliau mengumpulkan warga dan menyampaikan khutbah yang memilukan hati:

“Kami memuji Allah atas musibah-musibah agung… Telah dibunuh Abu Abdillah al-Husain. Telah ditawan wanita-wanita dan anak-anaknya. Mereka telah mengelilingkan kepalanya di negeri-negeri di atas ujung-ujung tombak…” (Luhuf, Ibn Thawus, h. 132; al-Ihtijaj, al-Thabarsi, j. 2, h. 31).

Khutbah ini bukan sekadar ratapan duka. Ia adalah dakwaan spiritual dan sosial terhadap kekuasaan zalim yang menginjak-injak warisan Rasulullah saw. Imam mengajak penduduk Madinah untuk berpikir: jika langit, bumi, dan seluruh makhluk menangisi Husain, mungkinkah umat manusia tetap diam? (al-Irshad, al-Mufid, j. 2, h. 116).

“Sungguh telah menangis tujuh langit, lautan, dan para malaikat muqarrabin karena kematiannya…” (Bihar al-Anwar, j. 45, h. 113).

Imam Zainal Abidin as menyampaikan kritik yang tajam namun penuh kehormatan terhadap kekejaman yang menimpa Ahlulbait as. Dalam khutbahnya, beliau menyinggung bahwa seandainya Rasulullah saw hadir menyaksikan langsung tragedi Karbala, para pelaku kekejaman itu tetap tidak akan mengubah tindakan mereka. Sebab, apa yang mereka lakukan sudah melampaui batas kemanusiaan.

“Kalau seandainya Nabi saw hadir saat mereka memerangi kami, mereka tidak akan melakukan lebih dari apa yang telah mereka perbuat…” (al-Ihtijaj, al-Thabarsi, j. 2, h. 31).

Beliau juga menegaskan, Rasulullah saw tak pernah membenarkan kekerasan—bahkan terhadap seekor hewan sekalipun. Maka bagaimana mungkin perlakuan biadab terhadap keluarganya dapat dibenarkan? Seruan ini menghujam kesadaran penduduk Madinah dan membuka mata mereka terhadap kejahatan sistematis yang dijalankan oleh Bani Umayyah.