Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Imam Ali Zainal Abidin dan Fajar Kesadaran Umat Setelah Karbala (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Madinah yang Tak Lagi Diam

Ketegangan di kota Madinah terus meningkat. Yazid mengganti gubernur lama, Walid bin ‘Utbah, dengan Utsman bin Muhammad bin Abi Sufyan. Utsman lalu mengirim delegasi Muhajirin dan Anshar ke Damaskus agar mereka menyaksikan langsung kebesaran Khalifah.

Namun yang mereka saksikan justru sebaliknya: Yazid sedang mabuk, dikelilingi musik dan anjing, jauh dari adab seorang pemimpin umat (Tarikh al-Kamil, j. 3, h. 406; Tarikh al-Ya’qubi, j. 2, h. 241).

Saat kembali ke Madinah, mereka menyampaikan kepada rakyat:

“Kami datang dari seorang yang tidak memiliki agama. Ia meminum khamar, bermain dengan anjing, dan dikelilingi para pemusik dan pelacur. Demi Allah, kami tidak mengakui kekhalifahannya!” (al-Bidayah wa al-Nihayah, Ibn Katsir, j. 8, h. 242).

Salah satu tokoh mereka, Abdullah bin Hanzhalah, berkata: “Kalau aku hanya berperang melawan mereka demi menyelamatkan anak-anakku sendiri, itu sudah cukup bagiku!” (Tarikh al-Kamil, j. 3, h. 407).

Akhirnya, penduduk Madinah menarik baiat mereka dari Yazid dan membaiat Abdullah bin Hanzhalah. Revolusi Madinah pun dimulai, yang kemudian dikenal dengan tragedi Harrah.

Imam Zainal Abidin: Jalan Sunyi Penuh Makna

Meski Imam Zainal Abidin tidak memimpin perlawanan bersenjata, peran beliau justru lebih mendalam: menanamkan benih kesadaran dan kejujuran sejarah. Beliau menunjukkan bahwa penderitaan Ahlulbait bukanlah aib, tapi kemuliaan.

Melalui khutbah dan doa, Imam menampakkan kebenaran secara telanjang: bahwa keluarga Nabi saw diperlakukan lebih hina dari tawanan biasa, digiring dari Kufah ke Syam, tanpa alasan selain mereka membawa kebenaran.

“Kami diusir dan dihancurkan tempat tinggal kami, seakan-akan kami adalah anak-anak Turki dan Kabil. Padahal tidak ada kejahatan yang kami lakukan…” (Luhuf, h. 134).

Beliau juga mengingatkan bahwa Nabi saw tidak pernah meminta upah atas dakwahnya kecuali kecintaan kepada keluarganya:

“Aku tidak meminta kepadamu upah kecuali kasih sayang terhadap al-qurba” (QS. Asy-Syura: 23). Dan Ahlulbait adalah orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat ini (Tafsir al-Tha’labi, j. 8, h. 310).

Khutbah Imam Ali Zainal Abidin as di Madinah menjadi nyala perlawanan spiritual terhadap kezaliman tirani. Meski beliau tidak mengangkat pedang, kekuatan moral dan intelektualnya telah menjatuhkan topeng Bani Umayyah. Kata-kata beliau melintasi zaman, membangkitkan kesadaran umat, dan menegaskan bahwa Ahlulbait adalah pusat kebenaran yang tak akan pernah dipadamkan sejarah.

Imam Zainal Abidin as adalah penegak keadilan dalam bentuk paling halus dan paling kuat. Suaranya di Madinah adalah gema dari Karbala, yang akan terus menggema hingga akhir zaman.