Halal dan Berkah: Tanggung Jawab Bersama Suami dan Istri (1)
Fenomena istri pejabat yang pura-pura tidak tahu ketika suaminya terjerat kasus korupsi adalah sesuatu yang berulang kali kita saksikan. Ketika operasi tangkap tangan dilakukan atau dakwaan dibacakan, publik hampir dapat menebak respons yang akan keluar. Biasanya pernyataannya sama, bahwa itu urusan pribadi sang suami, bahwa ia tidak pernah ikut campur urusan pekerjaan, dan bahwa keuangan rumah tangga mereka terpisah. Dari sisi hukum positif, jika memang tidak ada bukti keterlibatan dan tidak ada aliran dana ke rekening pribadi, mungkin sang istri tidak dapat dijerat secara hukum. Akan tetapi, persoalan korupsi bukan hanya soal hukum negara, ia juga menyangkut persoalan nurani, moral, dan tanggung jawab agama.
Dalam rumah tangga yang sehat, wajar jika seorang istri tahu atau setidaknya curiga ketika ada ketidakberesan dalam sumber nafkah. Seorang suami yang bergaji terbatas namun mendadak mampu membeli rumah mewah, mobil berlapis-lapis, tas dan perhiasan dengan harga miliaran rupiah, atau berlibur ke luar negeri berkali-kali tentu akan menimbulkan pertanyaan. Ketika semua itu terjadi, wajar publik mempertanyakan apakah pernyataan tidak tahu itu benar-benar tidak tahu atau hanya berpura-pura tidak mau tahu. Dalam bahasa sehari-hari, ini disebut tutup mata. Menutup mata terhadap sesuatu yang nyata bukanlah sikap netral; itu bentuk pembiaran yang membuat kezaliman merasa aman.
Islam memandang harta bukan hanya sebagai alat memenuhi kebutuhan, tetapi juga ujian. Al-Qur’an mengingatkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 188: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” Ayat ini tegas melarang memakan harta haram, baik dengan cara langsung maupun tidak langsung. Ketika seorang istri membiarkan suaminya membawa pulang harta yang jelas bukan haknya dan ia menikmati hasilnya, sesungguhnya ia ikut terlibat secara moral.
Rasulullah SAW juga memperingatkan tentang dampak harta haram. Dalam sebuah hadis beliau bersabda: “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih pantas baginya.” Pesan ini menyiratkan bahwa kemewahan yang bersumber dari korupsi tidak membawa berkah. Sekalipun seseorang merasa tidak bersalah di pengadilan dunia, di hadapan Allah setiap kenikmatan yang berasal dari harta haram akan dipertanggungjawabkan.
Di Indonesia, sudah berkali-kali kita melihat contohnya. Kasus pejabat pajak yang memiliki kekayaan luar biasa namun tidak sebanding dengan pendapatan resminya menjadi sorotan publik. Ketika sang pejabat dijerat kasus gratifikasi dan pencucian uang, gaya hidup mewah keluarganya yang diunggah di media sosial ikut menjadi pembicaraan. Ada pula kasus suap di sektor perizinan tambang yang melibatkan keluarga besar, di mana istri pejabat menikmati kemewahan hasil dari praktik korupsi. Dalam banyak kasus, memang tidak semua istri dijerat karena tidak terbukti ikut menerima aliran dana. Tetapi masyarakat bertanya-tanya, bagaimana mungkin bertahun-tahun hidup dalam kemewahan tanpa sedikit pun bertanya asal usul kekayaan?
Bersambung...