Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Para Tawanan Ahlulbait di Damaskus: Ketika Kebenaran Menembus Kegelapan (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Syam—negeri luas yang kini kita kenal sebagai Suriah—pernah menjadi panggung utama dalam tragedi terbesar sejarah Islam: pasca tragedi Karbala. Negeri ini dulunya ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah komando Khalid bin Walid dan kemudian diperintah oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Namun, di balik kejayaan politik itu, tersembunyi sebuah realitas sosial dan keagamaan yang sangat mencengangkan: penduduk Syam tidak pernah melihat Rasulullah saw. Mereka tidak mengenal sabdanya dari dekat, tidak hidup bersama sahabat-sahabat utama beliau, bahkan tidak tahu siapa keluarga suci beliau.

Dalam kekosongan pengetahuan itu, propaganda menjadi senjata paling ampuh. Mu’awiyah dan rezim Bani Umayyah membentuk opini publik bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari “sunnah Nabi”. Tidak sedikit rakyat Syam yang menerima mentah-mentah narasi ini, karena bagi mereka, tidak ada rujukan langsung tentang Islam selain yang ditampilkan oleh penguasa.

Oleh karena itu, ketika kafilah tawanan Ahlulbait—keluarga Rasulullah saw—tiba di Damaskus setelah peristiwa Karbala, penduduk Syam menyambut mereka bukan dengan belas kasihan, melainkan dengan cemoohan. Mereka tidak tahu bahwa yang diarak sebagai tawanan adalah cucu Nabi, cicit Nabi, dan keluarga suci yang Allah sucikan dalam Al-Qur’an.

Pertemuan Sang Imam dengan Lelaki Tua Syam

Dalam catatan sejarah, disebutkan bahwa saat kafilah Ahlulbait memasuki Damaskus, seorang lelaki tua mendekati Imam Ali Zainal Abidin as, putra Imam Husain as. Dengan keyakinan yang dibentuk oleh propaganda bertahun-tahun, lelaki itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membinasakan kalian dan memenangkan Amirul Mukminin (yakni Yazid bin Mu’awiyah) atas kalian.”

Imam as, dengan kelembutan yang mencerminkan akhlak Rasulullah, tidak membalas dengan kemarahan. Beliau justru bertanya, “Wahai orang tua, pernahkah engkau membaca Al-Qur’an?”

Lelaki itu menjawab, “Ya, aku pernah membacanya.”

Imam pun mengutip beberapa ayat yang secara tegas menyinggung posisi keluarga Nabi: “Katakanlah: Aku tidak meminta balasan apa pun darimu selain kecintaan terhadap keluarga dekatku (al-qurba).” (QS. Asy-Syura: 23)


“Maka berikanlah kepada dzil qurba hak mereka.” (QS. Ar-Rum: 38)


“Ketahuilah, dari apa pun yang kalian peroleh, maka sesungguhnya seperlima darinya untuk Allah, Rasul, dan dzil qurba.” (QS. Al-Anfal: 41)

“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan kenistaan dari kalian, wahai Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Lelaki itu mulai terdiam, matanya berkaca-kaca. Imam berkata tegas, “Kamilah dzil qurba. Kamilah Ahlulbait yang disucikan oleh ayat itu.”

Kesadaran menghantam batin lelaki tua itu. Ia menangis, melemparkan sorbannya, lalu menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah, aku berlepas diri dari musuh-musuh keluarga Muhammad.”

Itulah titik balik kecil, namun berarti: sebuah cahaya yang menembus kabut kebodohan dan propaganda. Kebenaran akan selalu menemukan jalannya, bahkan di tengah negeri yang gelap sekalipun.