Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bentuk Hubungan Allah Sesuai Pandangan Tauhid (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Di saat bersamaan, keesaan mutlak Allah dijabarkan dalam sejumlah riwayat. Imam Ali as berkata, ”Allah selalu Esa dan Azali di masa lalu dan depan; sebelum dimulainya masa dan setelah dibereskannya segala urusan.”[15] Imam Ridha as mengatakan, ”Allah Yang Mahaesa selalu Esa tanpa dibarengi suatu apa pun. Tiada batas dan `ardh (aksiden) bagi-Nya. Dia akan selalu seperti ini.”[16] Beliau juga menjelaskan, ”Sesungguhnya Allah, Sang Pencipta dan Maujud Pertama, adalah zat esa yang tak dibarengi suatu apa pun. Dia tunggal yang tiada duanya. Dia tak diketahui, juga tidak misterius. Dia tidak muhkam, juga tidak mutasyabih. Dia tidak diingat, juga tidak dilupakan. Nama sesuatu selain Allah tak bisa disematkan kepada-Nya.”[17]

Penjelasan mendalam ini adalah deskripsi tertinggi perihal keesaan mutlak Allah. Dia adalah hakikat yang tak bisa benar-benar ditunjuk. Sebab, Dia tak punya nama atau bentuk untuk bisa dikatakan: Dia diketahui atau tak diketahui, diingat atau dilupakan. Andai Allah punya nama dan bentuk, atau bisa ditunjuk, berarti ada seseorang atau sesuatu di hadapan dan bersama-Nya. Karena itu, wujud mutlak Allah dan hubungan-Nya  dengan selain diri-Nya dijelaskan Imam Baqir as sebagai berikut:”Allah ada dan tak ada suatu apa pun yang bersamanya. Hari ini Dia bersifat demikian dan akan terus begitu selamanya.”[18] Imam Shadiq as juga berkata, ”Sesungguhnya tak ada sesuatu selain Allah. Demikianlah keadaan-Nya hingga kini dan sampai nanti.”[19]

Dari semua penjelasan ini disimpulkan bahwa para makhluk tak punya hakikat di hadapan Allah agar mereka bisa disebut “selain Allah.” Fakta ini ditunjukkan oleh zikir yang dibaca Imam Ali as saat perang Badar dan Shiffin:”Ya huwa ya man la huwa illa huwa (Wahai Hakikat Mutlak, wahai Zat yang tiada hakikat selain diri-Nya).[20] Dengan memerhatikan keterangan ini, para makhluk adalah penampakan Allah yang tak terpisah dari-Nya, seperti yang ditegaskan Imam Ali as, ”Segala puji bagi Allah yang menampakkan diri kepada para makhluk dengan makhluk-Nya.”[21]

Menurut ucapan Imam Kazhim as,”Tiada hijab antara Allah dan makhluk-Nya kecuali (sisi) penciptaan. Dia tertutupi tanpa hijab dan terhalangi tanpa tirai.”[22] Oleh karena itu, ketika seseorang memaknai “Allahu akbar” dengan berkata, ”Allah lebih besar dari segala sesuatu,” Imam Shadiq as menimpali, ”Itu berarti ada sesuatu selain Allah, dan Dia lebih besar darinya.” Ketika orang itu menanyakan makna yang benar, Imam as menjawab, ”Allah jauh lebih agung untuk bisa disifati.”[23]

Kesimpulan dari penjelasan ini adalah bahwa hubungan wujudi makhluk dengan Allah tak seperti hubungan yang bisa dipahami akal. Allah bukan hakikat yang terpisah dan terbatas serta bisa dibandingkan dengan selain-Nya. Pada dasarnya, tidak ada sesuatu selain diri-Nya. Bahkan, para makhluk adalah penampakan Allah. Tiap karakteristik wujudi pada mereka tidak menunjukkan apa pun selain Allah.

Imam Ridha as berkata, ”Adakah maujud yang lebih nampak dan jelas dari Allah?”[24] Imam Ali as mengatakan,”Segala puji bagi Allah, Dia adalah Awal yang tak didahului sesuatu sebelum-Nya, dan Akhir yang tak ada sesuatu setelah-Nya. Dia Lahir yang tiada sesuatu lebih tinggi dari-Nya, dan Batin yang tiada sesuatu lebih dekat dari-Nya.”[25] Beliau juga berkata,”Semua yang tampak selain Allah, adalah tersembunyi. Dan setiap yang tersembunyi selain Allah, adalah tampak.”[26]

Dari semua riwayat ini, yang bisa disimpulkan adalah: pertama, ketika sesuatu bersinggungan dengan sesuatu yang lain, pertama-tama ia bersentuhan dengan Allah; kedua, usai mengalihkan perhatian dari suatu makhluk atau setelah ia tiada, yang ada hanya Allah. Sebab Dia adalah Hakikat Mutlak yang tiada hakikat selain-Nya. Tiap sesuatu selain Allah yang disangka “tampak”, sebenarnya dia tersembunyi, karena Allah Lahir dan juga Batin. Dia Tersembunyi saat Dia Tampak dan Dia Dekat meski Tersembunyi.


[1] An-Nur 25.

[2] Tauhid Shaduq bab 42.

[3] Ibid bab 36.

[4] Ibid bab 37.

[5] Ibid bab 6.

[6] Ibid bab 59.

[7] Ibid bab 11.

[8] Lihat Bihar al-Anwar jil 10.

[9] Tauhid Shaduq hal 284 hadis 5.

[10] Ibid hal 283 hadis 2.

[11] Ibid hal 31 hadis 1.

[12] Ibid hal 47 hadis 9.

[13] Ibid hal 34 hadis 2 dan hal 44 hadis 4.

[14] Ibid hal 31 hadis 1 dan hal 98 hadis 4, 9, 12, 13.

[15] Ibid hal 41 hadis 3.

[16] Ibid hal 43 baris 22.

[17] Ibid hal 435 hadis 12.

[18] Ibid 128 hadis 8.

[19] Ibid 140 hadis 5.

[20] Ibid 89 hadis 2.

[21] Nahj al-Balaghah khotbah 108.

[22] Tauhid Shaduq hal 178 hadis 12.

[23] Ibid hal 313 hadis 2.

[24] Ibid hal 186 hadis 2.

[25] Nahj al-Balaghah khotbah 96.

[26] Ibid khotbah 56.