Arba‘īn: Diplomasi Budaya di Jalan Najaf–Karbala (2)
Arba‘īn juga berperan sebagai ruang belajar sosial yang unik. Peziarah dari negara yang memiliki sejarah ketegangan politik dapat bertemu, berdialog, dan menemukan titik temu melalui nilai-nilai bersama. Seorang peziarah Eropa, misalnya, yang sebelumnya mengenal Timur Tengah hanya dari berita konflik, pulang dengan cerita tentang keramahan penduduk Irak. Sebaliknya, warga lokal Irak menyadari bahwa tamu dari benua lain datang membawa semangat dan rasa hormat yang sama terhadap tradisi Arba‘īn. Inilah diplomasi yang menembus batas geopolitik dan mempertemukan manusia pada tingkat yang lebih personal.
Khusus bagi Iran dan Irak, Arba‘īn adalah aset soft power yang berharga. Irak menampilkan kapasitas logistik, keamanan, dan keramahan rakyatnya dalam mengelola jutaan tamu internasional. Sementara itu, Iran memproyeksikan dirinya sebagai penjaga nilai-nilai Karbala, membawa pesan moral dan spiritual ke panggung internasional. Meski terdapat tantangan seperti framing media yang bias, isu keamanan, atau gesekan politik, kekuatan diplomasi budaya Arba‘īn tetap sulit ditandingi. Ia bekerja senyap namun mendalam, meninggalkan kesan yang bertahan lama di hati para peserta.
Dari jalan Najaf–Karbala, dunia belajar bahwa diplomasi tidak selalu lahir dari meja perundingan. Ia bisa tumbuh di bawah tenda sederhana, melalui pertukaran bahasa, puisi, sajian teh, atau simbol identitas. Arba‘īn membuktikan bahwa kekuatan budaya terletak pada kemampuannya membuat orang yang berbeda latar belakang merasa berada dalam satu kisah yang sama — sebuah kisah yang terus ditulis ulang oleh jutaan langkah kaki setiap tahun.
Fenomena ini juga menjadi arsip hidup bagi para peneliti dan pemerhati hubungan internasional. Mereka melihat bagaimana interaksi di Arba‘īn menciptakan jejaring lintas budaya yang sulit diwujudkan dalam forum politik formal. Pertukaran ini bukan hanya terjadi antarindividu, tetapi juga antarorganisasi dan komunitas, yang kemudian melahirkan kerja sama jangka panjang di bidang kemanusiaan, pendidikan, hingga seni dan media.
Bagi sebagian orang, Arba‘īn adalah perjalanan spiritual; bagi yang lain, ia adalah riset lapangan tentang kemanusiaan. Ada pula yang melihatnya sebagai ritual kolektif yang memulihkan rasa percaya antarbangsa di tengah dunia yang kian terfragmentasi oleh politik dan informasi yang bias.
“Di antara lautan manusia ini, aku kehilangan namaku, namun menemukan diriku di dalam hatimu.” Ungkapan ini menggambarkan esensi Arba‘īn — lautan kemanusiaan di mana identitas pribadi larut dalam persaudaraan universal. Di sinilah diplomasi budaya menemukan bentuknya yang paling murni: tanpa protokol, tanpa sekat, hanya ada manusia yang saling mendengar, membantu, dan merasakan penderitaan serta harapan yang sama.
Arba‘īn 2025 bukan hanya akan menjadi peristiwa keagamaan terbesar tahun ini, tetapi juga momen diplomasi budaya global yang akan tercatat dalam sejarah. Dari Najaf ke Karbala, dari langkah pertama hingga langkah terakhir, jutaan peziarah membuktikan bahwa meski dunia sering dipisahkan oleh batas negara dan ideologi, selalu ada ruang di mana semua manusia bisa berjalan bersama — dalam satu tujuan, satu doa, dan satu cinta kepada Imam Husain as.