Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Imam Ali Bin Abi Thalib : Ladang Dulu, Pajak Belakangan (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Roma adalah sebuah peradaban yang memancarkan kemegahan. Istana-istana marmernya terkenal ke seantero jagat. Jalan-jalan raya membentang ribuan kilometer, menghubungkan kota-kota megah yang dihiasi patung-patung dewa dan kolom-kolom raksasa. Air mengalir deras dari aqueduct yang mengalirkan air dari ujung negara mengalir deras ke pusa pemandian umum berlapis mosaik dan rumah-rumah bangsawan yang dipenuhi lukisan dinding. Pasar-pasarnya riuh oleh pedagang dari tiga benua, menawarkan rempah dari Timur, kaca dari Suriah, dan emas dari Afrika. Legiun-legiunnya, bersenjata rapi dan terlatih, membuat kerajaan-kerajaan lain tunduk, sementara arena Colosseum menyuguhkan tontonan yang memukau puluhan ribu penonton.

Namun di balik kemegahan itu, sebuah penyakit perlahan menggerogoti jantung kekaisaran. Beban pajak yang semakin berat mencekik rakyatnya. Petani harus menyerahkan lebih dari separuh hasil panen mereka. Koin perak yang dulu menjadi kebanggaan—bahkan masih dipakai hingga masa puncak kejayaan Islam—sedikit demi sedikit kehilangan nilainya hingga tersisa logam murahan. Harga-harga meroket, pungutan pajak negara naik ribuan persen.

Kelas menengah, yang menjadi tulang punggung ekonomi, hancur. Tanah-tanah subur beralih ke tangan bangsawan, sementara rakyat jelata meninggalkan lahan mereka. Di Tingkat bawah rakyat menjerit kesulitan, para pejabat berpesta pora. Roma yang perkasa secara militer dan megah secara arsitektur ternyata rapuh dari dalam akibat kebijakan pajak yang serakah.

Sejarawan kemudian menulis bahwa kejatuhan Roma adalah gabungan dari merosotnya moral para pemimpin korup,  krisis politik berkepanjangan, dan beban fiskal yang tak tertanggungkan. Namun di akar persoalan ekonomi, ada satu pola yang sama: negara memaksa mengambil lebih banyak dari rakyat ketika kemampuan rakyat untuk menghasilkan justru merosot. Itu adalah resep pasti untuk kehancuran.

Lebih dari seribu tiga ratus tahun lalu, jauh dari reruntuhan Roma, Imam Ali bin Abi Thalib sudah memberikan peringatan yang senada. Dalam suratnya kepada Malik Asytar, gubernur Mesir yang beliau angkat, beliau menulis: “Hendaklah usahamu memajukan pertanian lebih besar daripada usahamu dalam menambah kharaj (pajak). Penambahan pendapatan negara tidak akan tercapai kecuali dengan pembangunan pertanian.”

Kata-kata itu lahir dari seorang pemimpin yang mengerti bahwa pajak hanyalah buah dari pohon ekonomi yang sehat. Memaksa pohon berbuah saat akarnya keropos hanyalah mempercepat kehancuran. Imam Ali bin Abi Thalib ingin agar Malik Asytar memahami: kekuatan negara dibangun dari rakyat yang makmur, bukan dari pajak yang menindas dan tidak adil.

Bersambung...