Imam Ali Bin Abi Thalib : Ladang Dulu, Pajak Belakangan (2)
Bagi Imam Ali bin Abi Thalin, pertanian, bukan sekadar sumber pangan. Ia adalah urat nadi perdagangan, penopang harga yang stabil, dan penjamin kedaulatan bangsa dan negara. Negara yang membiarkan tanahnya gersang, tak produktif dan petaninya miskin sedang menyiapkan liang kubur bagi negaranya sendiri. Pajak yang sehat lahir dari rakyat yang kenyang, bukan dari rakyat yang terhimpit.
Di masa kepemimpinannya, Imam Ali menyadari bahwa Mesir adalah wilayah yang subur dan strategis. Mengandalkan Mesir hanya sebagai sumber pajak berarti mereduksi potensinya yang jauh lebih besar. Maka beliau mengarahkan Malik Asytar untuk memperhatikan irigasi, memperbaiki saluran air, memberi kemudahan bagi petani, dan memastikan mereka mendapatkan perlindungan. Sebab ketika petani diberdayakan, hasil panen meningkat, perdagangan berkembang, dan pajak mengalir dengan sendirinya—tanpa paksaan, tanpa perlawanan.
Prinsip ini terasa sederhana, tetapi sering diabaikan oleh banyak pemimpin sepanjang sejarah. Dari kekaisaran besar hingga negara modern, kesalahan yang sama berulang: menuntut lebih banyak dari rakyat pada saat rakyat justru memerlukan bantuan untuk bangkit. Di sinilah kebijaksanaan Imam Ali menjadi seperti cahaya yang menerangi lorong gelap: jangan mulai dari memungut, mulailah dari menanam.
Jika kita tarik ke masa kini, nasihat ini semakin relevan. Banyak negara, termasuk yang memiliki tanah subur dan sumber daya melimpah, masih lebih sibuk menetapkan target pajak ketimbang memikirkan bagaimana sektor produktif—terutama pertanian—dapat berkembang. Akibatnya, petani tetap miskin, lahan menganggur, dan pangan justru diimpor dari luar. Padahal, membangun pertanian bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal kedaulatan dan ketahanan bangsa.
Roma memberi kita pelajaran pahit: kemewahan dan kejayaan militer tidak akan menyelamatkan sebuah negara jika rakyatnya diperas habis-habisan. Imam Ali menawarkan jalan sebaliknya: majukan produksi, perkuat fondasi, baru pajak akan datang sebagai hasil alami.
Bayangkan sebuah desa yang diberi akses air bersih, teknologi tanam modern, dan pasar yang adil. Petaninya sejahtera, panen melimpah, dan anak-anak mereka dapat bersekolah dengan baik. Negara pun menerima pajak dari perdagangan dan surplus panen itu. Pajak dibayar bukan karena takut sanksi, tetapi karena rakyat merasakan manfaatnya kembali. Itulah gambaran ekonomi yang sehat dalam pandangan Imam Ali—sebuah siklus yang adil dan berkelanjutan.
Hari ini, kita mungkin tidak lagi hidup di bawah naungan aqueduct Roma atau di bawah payung kekhalifahan klasik. Tetapi pilihan yang dihadapi pemimpin tetap sama: membangun ekonomi dari akarnya atau memaksakan pungutan dari batang yang rapuh. Roma memilih jalan kedua dan tumbang. Imam Ali mengajarkan jalan pertama—dan itulah jalan yang menjaga kehormatan rakyat sekaligus ketahanan negara.
Sejarah tidak pernah bosan mengajarkan bahwa kemegahan tanpa keadilan hanyalah istana di atas pasir. Ia akan runtuh ketika gelombang pertama datang. Pertanian, bagi Imam Ali, adalah pondasi itu. Bukan karena tanah semata, tetapi karena tanah adalah kehidupan. Dan kehidupanlah yang menjadi sumber sejati dari segala kemakmuran—termasuk pajak yang adil.