Pentingnya Amal untuk Mencapai Irfan (1)
Setiap agama hadir bukan hanya untuk memberi pengetahuan rasional, etis, dan praktis kepada manusia, tetapi juga untuk membimbingnya menuju kesempurnaan hakiki: mengenal Allah dan berjumpa dengan-Nya secara sadar. Jalan menuju irfan—pengenalan batin yang mendalam kepada Allah—tidak cukup ditempuh dengan pengetahuan semata, melainkan harus dibarengi dengan amal nyata. Pengetahuan tanpa amal hanya akan melahirkan konsep kering, sementara amal tanpa pengetahuan berisiko terjebak dalam ritual tanpa makna.
Dalam tradisi Islam, keterpaduan iman dan amal selalu ditekankan sebagai fondasi kesempurnaan manusia. Al-Qur’an berkali-kali menyandingkan iman dengan amal saleh, seolah keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Demikian pula para Imam Ahlulbait menegaskan bahwa makrifat sejati kepada Allah hanya sah jika terwujud dalam perilaku nyata. Dengan kata lain, amal menjadi cermin keaslian pengetahuan spiritual seseorang.
Tulisan ini akan mengurai bagaimana amal berperan penting dalam memperdalam makrifat, meneguhkan iman, serta menghubungkan manusia dengan hakikat semesta. Dengan menilik ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat para Imam, akan tampak bahwa amal bukan sekadar konsekuensi dari iman, melainkan syarat mutlak untuk mencapai irfan yang sejati.
Tujuan agama dan para pemukanya adalah: pertama, menjelaskan pengetahuan rasional, etis, dan praktis kepada manusia. Tiga aspek inilah yang akan membentuk esensi manusia: “Katakan, tiap orang hendaknya beramal sesuai keadaannya (watak, pola pikir, dan karakternya)”[1]; kedua, mendorong manusia dengan beragam cara untuk menempuh jalan ini dan sampai kepada Allah.
Imam Shadiq as berkata, ”Allah hanya menerima amal yang didasari makrifat, dan makrifat pun hanya bisa diterima bersama amal. Jadi, orang yang tidak beramal, berarti tak memiliki makrifat.”[2]
Dari hadis ini, disimpulkan bahwa pengenalan awal manusia terhadap Allah serta hubungan antara dia dan makhluk lain, akan mendorongnya untuk menaati Allah. Jika ketaatan ini tidak terwujud, maka ia harus memperbaiki pengetahuan awalnya tersebut. Agar makrifat menjadi hakiki dan kian terang, diperlukan peran amal. Sesuai riwayat, iman adalah urusan batin yang akan mengokoh jika dibarengi dengan amal yang sesuai dengannya. Jika diamalkan, iman juga akan menyebar ke seluruh anggota tubuh. Tiap anggota tubuh memiliki tugas keimanan tertentu, yang jika tidak dilaksanakan, maka imannya tidak lengkap.[3]
Dengan menilik ayat, “Kalimat yang baik (keyakinan sahih) akan naik kepada-Nya dan amal saleh mengangkatnya,”[4] juga ayat-ayat yang menjelaskan pengaruh iman dan amal saleh, disimpulkan bahwa iman sahih, apa pun derajatnya, yang disertai amal saleh memiliki pengaruh khusus di hati dan hakikat wujud manusia. Keduanya akan menghubungkannya dengan alam gaib dan realitas semesta serta mewujudkannya dalam dirinya.
Walau semua manusia, pada akhirnya, memang menuju Allah, “Wahai manusia, sesungguhnya kau bersusah payah menuju Tuhanmu dan akan menemui-Nya,”[5] tapi pertemuan ini berlangsung dengan penuh kesadaran dan lebih tinggi dari proses kembalinya para makhluk kepada Allah. Oleh sebab itu, pertemuan ini ada dua macam: menyenangkan jika disertai iman dan amal saleh, atau menyengsarakan jika dibarengi pengingkaran hati atau amal terhadap Allah. Pembagian ini disinggung dalam kelanjutan ayat di atas.[6] Hal ini ditegaskan dalam ayat ini, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari Tuhan mereka.[7]
Bersambung...