Ketika Surga Menebar Aromanya Melewati Sains (5)
Kelima argumen dari teks Alexander—yang berbasis pada anomali neurologis, kualitas pengalaman, konsistensi empiris, sifat waktu, dan isi transcendental—secara kolektif membangun kasus yang tangguh. Mereka tidak “membuktikan” kehidupan setelah mati dalam istilah sains yang ketat, tetapi mereka secara efektif meruntuhkan keyakinan materialis bahwa bukti itu mustahil.
Argumen-argumen ini mengajak kita untuk memperluas kerangka ilmiah dan filosofis kita, menerima kemungkinan bahwa kesadaran mungkin merupakan kekuatan fundamental dalam alam semesta, yang pada akhirnya tidak terikat pada tubuh fisik dan karena itu dapat bertahan setelah kematian. Seperti kata Alexander, ini bukanlah penolakan terhadap sains, melainkan undangan untuk menjangkau lebih jauh, mungkin hingga ke “aroma surga” itu sendiri.
Bagaimana Pandangan Filsafat?
Pengalaman Dr. Eben Alexander menyajikan sebuah tantangan empiris-modern terhadap materialisme. Namun, pertanyaan tentang kehidupan setelah mati telah digumuli oleh para filsuf sepanjang sejarah. Berikut adalah sepuluh argumen terkuat dari Filsafat Perenial, Yunani, Islam, Abad Pertengahan, dan Barat yang membuktikan atau mendukung gagasan tersebut, sekaligus beresonansi dengan narasi Alexander.
1. Argumen Plato tentang Jiwa yang Immaterial dan Abadi (Filsafat Yunani)
Dalam dialog-dialog seperti Phaedo, Plato berargumen bahwa jiwa (psyche) pada dasarnya berbeda dari tubuh. Jiwa bersifat immaterial, abadi, dan prarasional (sudah ada sebelum kelahiran). Pengetahuan tentang bentuk-bentuk abstrak (seperti matematika dan kebaikan) menunjukkan bahwa jiwa telah mengamati Realitas Abadi sebelum terperangkap dalam tubuh.
Kematian hanyalah pelepasan jiwa dari penjara tubuh menuju dunia ide. Argumen ini sangat terkait dengan klaim Alexander bahwa “Diri spiritual kita yang abadi lebih nyata” daripada dunia fisik, menunjukkan bahwa kesadaran adalah entitas non-fisik yang tidak bergantung pada otak.
2. Argumen Aristoteles tentang Intelek Aktif (Filsafat Yunani)
Meski Aristoteles lebih naturalis, dalam De Anima ia membedakan antara jiwa sebagai bentuk tubuh (yang binasa) dan Nous Poietikos (Intelekt Aktif). Intelekt ini bersifat ilahi, abadi, dan datang dari “luar” untuk memungkinkan pemikiran murni. Ia tidak bergantung pada tubuh dan bertahan setelah kematian.
Konsep ini selaras dengan pengalaman Alexander yang neokorteksnya (pusat pemikiran biologis) mati, tetapi kesadarannya justru mengalami pemahaman yang lebih tinggi dan langsung, seolah-olah dioperasikan oleh suatu “intelek” yang melampaui alat fisiknya.
3. Argumen Plotinus tentang Emanasi Jiwa dari Yang Esa (Neoplatonisme)
Plotinus, tokoh utama Neoplatonisme, menjelaskan bahwa seluruh realitas merupakan emanasi (pelimpahan) dari “Yang Esa” (The One) yang transenden. Jiwa individu berasal dari Jiwa Dunia dan pada akhirnya akan berepulasi (reunifikasi) dengan Sumbernya melalui pengalaman ekstatis. Pengalaman Alexander di “Core” yang penuh dengan kasih tak terbatas dan koneksi ilahi adalah gambaran sempurna dari filosofi ini. Ia tidak kehilangan diri, tetapi justru menyatu dengan realitas yang lebih besar dan penuh kasih.
Bersambung...