Pengorbanan yang Abadi: Sayyidah Khadijah dan Lahirnya Islam (2)
Pengorbanan Sebelum Kemenangan
Sejarah sering merangkum pengorbanan Khadijah (sa) dengan kalimat sederhana: “Ia menginfakkan hartanya untuk Islam.” Namun kalimat singkat itu jauh dari memadai. Sesungguhnya, ia memberikan bukan sebagian, melainkan seluruh hartanya.
Al-Qur’an menegaskan perbedaan antara orang yang berjuang sebelum kemenangan dan setelahnya: “Tidaklah sama di antara kalian orang-orang yang berinfak dan berperang sebelum kemenangan…” (QS. 57:10). Khadijah (sa) adalah perwujudan ayat ini. Ia berkorban ketika Islam masih kecil, ketika jumlah kaum Muslim dapat dihitung dengan jari, ketika ejekan, pengucilan, dan siksaan menjadi santapan sehari-hari.
Puncak pengorbanannya terjadi pada masa pemboikotan Quraisy di Syi’b Abi Thalib. Selama tiga tahun, kaum Muslimin diasingkan, diputus jalur perdagangan, dan dibiarkan kelaparan. Khadijah (sa) menghabiskan seluruh sisa kekayaannya demi menyambung hidup kaum beriman. Ia sendiri merasakan perihnya lapar hingga akhirnya jatuh sakit dan wafat. Wafatnya menjadi bagian dari ‘Am al-Huzn—Tahun Kesedihan—karena Nabi kehilangan dua penopang utamanya: Khadijah (sa) dan Abu Thalib (as).
Ibu Ahlulbait: Pondasi Risalah dan Imamah
Sayyidah Khadijah (sa) adalah ibu dari Sayyidah Fatimah Zahra (sa), nenek dari sebelas Imam, dan pengasuh bagi Imam Ali (as) sejak kecil. Dengan demikian, rumah tangganya menjadi buaian bagi risalah dan imamah sekaligus.
Imam Khamenei menegaskan bahwa Ahlulbait tidak bisa dipisahkan dari Khadijah (sa). Bahkan sejarawan besar Sunni, Ibn Hajar al-‘Asqalani, menyatakan bahwa akar dari Ahlulbait adalah Khadijah (sa). Sebab, dari rahimnya lahir Fatimah Zahra (sa), dan di rumahnyalah Ali (as) dibesarkan hingga kemudian menikah dengan Fatimah (sa). Maka, setiap cinta kepada Ahlulbait sejatinya kembali berakar pada cinta kepada Khadijah (sa).
Rumah Tangga yang Dilandasi Cinta dan Misi
Kisah pernikahan Nabi saw dan Khadijah (sa) adalah kisah yang melampaui norma-norma sosial Arabia kala itu. Khadijah (sa), seorang saudagar kaya raya, yang justru melamar seorang pemuda sederhana yang terkenal akan kejujuran dan kesucian akhlaknya.
Selama 25 tahun pernikahan mereka, Rasulullah tidak pernah menikah lagi. Kebersamaan itu dipenuhi cinta, ketenangan, dan saling dukung dalam menghadapi misi Ilahi. Nabi saw mengenangnya dengan penuh haru: “Ia beriman kepadaku ketika orang lain mengingkari, ia membenarkanku ketika orang lain mendustakan, ia mendukungku dengan hartanya ketika orang lain menahannya dariku, dan Allah memberiku anak darinya, tidak dari istri-istri lain.”
Kenangan itu begitu kuat hingga Aisyah, istri Nabi setelah wafatnya Khadijah, mengaku bahwa tidak ada istri Nabi yang lebih membuatnya cemburu daripada Khadijah—meski ia tak pernah sekalipun bertemu dengannya.
Teladan Abadi bagi Umat
Khadijah (sa) adalah jawaban atas dua ekstrem dalam pandangan tentang perempuan. Ia menolak wajah jahiliyyah lama yang menistakan perempuan hingga layak dikubur hidup-hidup. Ia juga menolak wajah jahiliyyah modern yang merendahkan perempuan menjadi sekadar komoditas.
Ia menunjukkan jalan ketiga: perempuan yang mandiri, berperan aktif, tetap menjaga kesucian, dan menjadikan iman sebagai puncak martabat. Karena itu, ia sejajar dengan Maryam (sa), Asiyah (sa), dan Fatimah Zahra (sa) sebagai empat wanita agung yang dijanjikan surga. Rasulullah saw bahkan memberi kabar gembira bahwa Allah menyiapkan sebuah istana di surga bagi Khadijah (sa), tempat yang bebas dari hiruk pikuk dan penderitaan.
Sayyidah Khadijah al-Kubra (sa) adalah penopang pertama risalah Islam. Ia menginfakkan seluruh hartanya, mengorbankan kenyamanan hidupnya, hingga menyerahkan jiwanya demi tegaknya kalimat Allah. Ia adalah ibu kaum beriman, dan dari rahimnya lahir generasi Ahlulbait (as) yang menjadi pelanjut risalah Nabi.
Imam Ali Khamenei sering menekankan bahwa umat Islam, khususnya generasi muda, harus mengenang dan meneladani Khadijah (sa). Sebab, ia adalah cermin keberanian, kesucian, dan pengorbanan yang melampaui batas zaman. Mengenang Khadijah (sa) bukan sekadar mengenang sejarah, melainkan meneguhkan fondasi iman. Sebab tanpa dirinya, perjalanan risalah Islam tidak akan pernah sama.