Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sayyid Jamal al-Afghani dan Mimpi Besar Persatuan Dunia Islam (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Dalam pusaran gejolak dunia Islam abad ke-19—di mana kekuatan kolonial Barat menjalar ke berbagai belahan dunia muslim, dan pemerintahan otoriter dalam negeri sering kali terpapar kolaborasi asing—muncul sosok yang keberadaannya menyala sebagai pemicu kesadaran nasional dan religius: Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Ia tidak hanya berbicara soal spiritualitas, tetapi juga merumuskan visi keagamaan-politik yang menekankan bahwa umat Islam harus bersatu, modern, dan tidak tunduk pada kekuasaan yang menindas.

Karya-karya, surat-surat, dakwah, dan pengaruhnya merambah Mesir, Iran, India, Turki, serta komunitas intelektual Islam lainnya. Dalam kerangka pemikiran Islam Syiah, gagasan-gagasannya menarik untuk dianalisis: bagaimana ia melihat relasi Sunni-Syiah, bagaimana ia menyeimbangkan reformisme dan identitas Islam, serta bagaimana warisannya relevan hari ini.

Biografi Singkat & Kontroversi Identitas

Sayyid Jamaluddin dikenal dengan banyak nama: Jamal al-Din al-Afghani, Jamal al-Din Asadabadi, dan lainnya. Menurut Britannica, ia lahir sekitar tahun 1838 di Asadabad, Persia (sekarang wilayah Iran) dan meninggal pada 9 Maret 1897 di Istanbul.

Namun, identitas kebangsaan dan mazhabnya menjadi topik perdebatan. Meskipun dia menggunakan nisbah “al-Afghani” (menandakan asal dari Afghanistan), beberapa sejarawan berpendapat bahwa ia sebetulnya berasal dari Persia / Iran dan berasal dari keluarga Syiah.

Menurut Nikki Keddie (sejarawan Islam modern), klaim “Afghani” kemungkinan dilakukan agar gagasannya lebih diterima di kalangan Sunni, menjaga kredibilitasnya dalam lingkungan di mana identitas Syiah bisa menuai kecurigaan.

Dalam masa mudanya, Jamal al-Afghani mendapat pendidikan agama, filsafat, dan logika di pusat-pusat Syiah seperti Karbala dan Najaf, serta di kota-kota Persia seperti Qazvin dan Teheran.

Sejak usia muda (sekitar 17–18 tahun), ia melakukan perjalanan ke India, di mana ia melihat langsung praktik kolonialisme Inggris dan diskriminasi terhadap umat Islam. Pengalaman ini semakin membentuk kesadaran antiimperialisnya.

Karena aktivitas intelektual dan politiknya, ia sering berpindah tempat: dari India ke Mesir, kemudian ke Eropa, Turki, dan Iran, kadang diasingkan atau dilarang tinggal, menjadikannya figur gerilya intelektual.

Bersambung...