Sayyid Jamal al-Afghani dan Mimpi Besar Persatuan Dunia Islam (3)
2. Reformisme yang Proporsional: Ilmu, Teknologi, dan Nilai Islam
Jamal al-Afghani adalah seorang modernis Islam avant-garde: ia menolak dogma yang menolak sains dan kemajuan, namun juga menolak tirani budaya Barat yang memaksakan ide Barat begitu saja. Dalam tulisannya, ia menyerukan umat Islam agar mempelajari ilmu modern, teknologi, dan menerapkannya — tetapi tanpa kehilangan esensi spiritual dan rasional Islam.
Ia mengkritik mereka yang “terbawa gemerlap Barat” dan melihat dunia hanya dari sudut pandang Barat, meninggalkan dunia Islam. Dia menolak interpretasi yang memaksakan metodologi Barat sepenuhnya ke dalam Al-Qur’an atau metafisika Islam.
Dalam esaynya ar-Radd ‘ala al-Dahriyyin (Refutation of the Materialists), ia menggugat filsafat materialisme dan naturalisme modern, menyatakan bahwa agama Islam dan rasio tidak saling bertentangan.
3. Diagnosa “Penyakit Umat” & Resep Perjuangan
Jamal al-Afghani menyebutkan sejumlah “penyakit” atau problem struktural dalam dunia Islam:
1. Absolutisme politik yang mengekang kebebasan rakyat
2. Ketertinggalan ilmiah dan peradaban umat Islam
3. Penyebaran gagasan korup atau menyimpang
4. Perpecahan internal umat Islam
5. Dominasi kolonialisme Barat, baik dalam politik, ekonomi, maupun budaya
Ia menaruh harapan besar bahwa umat Islam harus melakukan “rekonstitusi ideologis” dan politis. Resepnya antara lain:
Menegakkan bahwa perjuangan politik melawan tirani dan penjajahan adalah kewajiban agama, bukan sekadar urusan dunia saja.
Mendidik umat agar memahami bahwa agama dan politik tidak bisa dipisahkan begitu saja — bahwa keterlibatan dalam urusan politik adalah bagian dari tanggung jawab keagamaan.
Memperkuat kapasitas intelektual dan ilmiah umat Islam agar mereka tidak lagi bergantung pada pemikiran asing.
Menggalang persatuan umat Islam (Sunni-Syiah) dalam konteks solidaritas politik dan peradaban, bukan memaksakan penyatuan dogma.
Dalam praktiknya, Jamal terlibat dalam perlawanan nyata kepada otoritas dan kekuasaan kolonial. Ia dijadikan inspirator Gerakan Tembakau (Tobacco Protest) di Iran, yang merupakan respons massa terhadap monopoli Inggris atas perdagangan tembakau Iran.
Bersambung...