Akibat Mengingkari Hari Kebangkitan (1)
Keimanan kepada Hari Kebangkitan bukan sekadar ajaran akidah yang abstrak, melainkan poros kesadaran manusia. Di sanalah terletak akar moralitas dan rasa tanggung jawab. Manusia yang yakin bahwa segala amalnya akan diperhitungkan kelak, tidak akan berani berbuat sewenang-wenang; sementara yang mengingkarinya akan hidup dalam kelalaian, menganggap hidup ini sekadar permainan tanpa arah dan tanpa akhir. Pengingkaran terhadap kebangkitan sejatinya bukanlah penolakan intelektual, melainkan perlawanan terhadap nurani dan fitrah yang menuntut keadilan dan makna hidup.
1. Melalaikan Tanggung Jawab
Setiap manusia dianugerahi kesadaran moral — sebuah suara lembut dalam hati yang menegur ketika hendak berbuat zalim. Namun, manusia juga memiliki kecenderungan untuk memanipulasi kesadarannya sendiri. Ketika seseorang ingin mengambil manfaat dari pohon yang bukan miliknya, ia mendengar suara hati yang melarangnya. Tetapi agar dapat menipu dirinya sendiri, ia berbisik dalam hati, “Tak ada pemiliknya.” Dengan alasan itu, ia menenangkan batinnya, lalu melanggar larangan moralnya sendiri.
Perilaku seperti ini adalah cerminan dari jiwa yang kehilangan arah, sebagaimana digambarkan Al-Qur’an:
“Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus-menerus. Ia bertanya: ‘Kapankah hari Kiamat yang diancamkan itu?”
(QS. Al-Qiyamah [75]: 5–6)
Pertanyaan sinis itu bukanlah pencarian pengetahuan, melainkan bentuk ejekan terhadap kebenaran. Ia bukan bertanya untuk memahami, melainkan untuk membenarkan penolakannya sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, gejala ini sangat nyata. Seseorang ingin menuruti hawa nafsunya, lalu ia berkata, “Kita semua bersaudara, tak ada salahnya.” Saat takut kepada penguasa zalim, ia beralasan, “Kita harus bertaqiyah.” Ketika ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan yang rusak, ia berdalih, “Kita harus bekerja sama dengan masyarakat.” Padahal yang sebenarnya ia lakukan hanyalah menutupi kelemahannya dengan topeng rasionalitas.
Manusia seperti ini telah kehilangan kejujuran terhadap dirinya sendiri. Ia membangun tembok alasan untuk menolak tanggung jawab yang sudah menjadi fitrahnya. Inilah akar dari segala penyimpangan moral — ketika seseorang mulai percaya bahwa tidak ada hari perhitungan, tidak ada keadilan Ilahi yang menantinya. Ia menjadi bebas tanpa kendali, hidup seolah-olah tidak akan pernah mati.
Bersambung...