Akibat Mengingkari Hari Kebangkitan (3)
4. Sikap Keras Kepala dan Permintaan Mustahil
Namun sebagian manusia, bahkan setelah melihat tanda-tanda itu, tetap saja menolak. Mereka bertanya dengan nada ejekan, “Kapankah Hari Kebangkitan itu?”
Al-Qur’an menegaskan:
“Mereka berkata: ‘Siapakah yang akan menghidupkan kami kembali?’ Katakanlah: ‘Yang telah menciptakan kamu pada kali pertama.’ Lalu mereka menggelengkan kepala dan berkata: ‘Kapankah itu terjadi?’ Katakanlah: ‘Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat.’”
(QS. Al-Isra [17]: 51)
Penolakan mereka bukan karena tidak tahu, tetapi karena tidak mau tahu. Mereka menuntut mukjizat yang mustahil — agar planet-planet diturunkan ke bumi, agar Allah tampak dalam wujud manusia, agar gunung melahirkan unta seketika. Namun ketika mukjizat pun benar-benar ditunjukkan, seperti terbelahnya bulan, mereka berkata, “Itu hanya sihir.”
Padahal tugas para nabi bukanlah menjadi pesulap yang memenuhi keinginan manusia, melainkan menjadi penunjuk jalan menuju kesadaran. Dunia ini bukan panggung hiburan atau pameran mukjizat; ia adalah ruang ujian di mana iman harus tumbuh dari kesadaran, bukan dari paksaan penglihatan.
5. Kematian Sebagai Sunnatullah
Keengganan manusia untuk menerima kebangkitan seringkali lahir dari ketakutannya terhadap kematian. Ia membayangkan mati sebagai akhir dari segalanya, padahal kematian hanyalah perpindahan dari satu alam ke alam lain.
Al-Qur’an menyatakan:
“Kami telah menetapkan kematian di antara kamu, dan Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan.”
(QS. Al-Waqi‘ah [56]: 60)
Menariknya, dalam Al-Qur’an kata mati sering digunakan bersamaan dengan istilah tawaffa — yang berarti “mengambil kembali secara utuh.” Dengan demikian, kematian bukanlah kehancuran, melainkan proses pengembalian amanah jiwa kepada pemiliknya, yaitu Allah SWT.
“Dia yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
(QS. Al-Mulk [67]: 2)
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Janganlah kamu mengira kematian itu melenyapkanmu. Sesungguhnya kematian hanyalah memindahkanmu dari satu rumah ke rumah yang lain.”
(Bihar al-Anwar)
Kematian bukanlah kegelapan, melainkan pintu menuju cahaya yang abadi. Ia adalah fase kelahiran kedua — kelahiran rohani yang menyingkapkan hakikat segala amal. Siapa yang hidup dengan keimanan akan terlahir kembali dalam kedamaian; siapa yang hidup dalam penyangkalan akan menuai kebingungan di hadapan kebenaran yang selama ini ia dustakan.
Menyambut Kesadaran Kebangkitan
Pengingkaran terhadap Hari Kebangkitan bukanlah persoalan intelektual, tetapi persoalan moral dan spiritual. Ia lahir dari ketakutan terhadap tanggung jawab. Manusia yang menolak kebangkitan ingin bebas tanpa batas, ingin berbuat tanpa konsekuensi. Namun tanpa kebangkitan, seluruh makna keadilan hilang; yang lemah akan selamanya tertindas, yang zalim takkan pernah diadili.
Iman kepada kebangkitan menegakkan keseimbangan semesta. Ia membuat manusia sadar bahwa setiap tindakan — sekecil apa pun — memiliki akibat. Ia mengajarkan bahwa kehidupan dunia hanyalah ladang tempat menanam benih amal untuk dituai di hari perhitungan.
Keyakinan ini pula yang menjadi rahasia keteguhan para syuhada Karbala. Mereka tidak takut mati karena mereka tidak menganggap kematian sebagai akhir, melainkan sebagai perjumpaan dengan Tuhan yang mereka cintai.
Di sinilah perbedaan antara orang yang beriman dan yang mengingkari: yang pertama memandang kematian sebagai gerbang menuju kehidupan, sementara yang kedua menganggap kehidupan sebagai jalan menuju kehampaan.
Semoga kita termasuk mereka yang menatap maut dengan senyum, karena di baliknya terhampar kehidupan abadi yang dijanjikan Allah.