Taklid: Apakah Bentuk Feodalisme? (1)
Dalam tradisi keilmuan Islam, ketaatan dan penghormatan terhadap ulama menempati posisi yang sangat penting. Sejak masa awal peradaban Islam, para penuntut ilmu diajarkan untuk merendahkan diri di hadapan guru, menjaga adab, dan menerima nasihat dengan penuh hormat. Otoritas keilmuan para ulama tidak hanya lahir dari penguasaan ilmu, tetapi juga dari kepribadian dan keikhlasan mereka dalam mengajar. Dalam hubungan yang demikian sakral ini, muncul satu pertanyaan yang kerap dibicarakan dalam wacana modern: apakah konsep taklid, yakni mengikuti ulama tanpa menggali dalil sendiri, dapat dianggap sebagai bentuk feodalisme dalam kehidupan keagamaan?
Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi sebenarnya menyentuh perbedaan mendasar antara dua ranah yang berbeda: dunia ilmu dan dunia kekuasaan. Taklid berakar dari epistemologi Islam, sedangkan feodalisme berasal dari sistem sosial politik yang menempatkan manusia dalam hierarki kekuasaan. Keduanya sama sama mengenal konsep otoritas, namun berbeda dalam tujuan dan prinsip dasarnya. Taklid berfungsi menjaga kesinambungan ilmu dan otoritas pengetahuan, sedangkan feodalisme bertujuan mempertahankan struktur kekuasaan yang diwariskan.
Secara etimologis, taklid berarti mengalungkan sesuatu di leher yang secara simbolik bermakna mempercayakan urusan hukum kepada seorang ahli. Dalam fikih, taklid berarti mengikuti pendapat seorang mujtahid karena seseorang belum memiliki kemampuan untuk berijtihad sendiri. Dalam pandangan Syiah Imamiyah, seorang mukallaf wajib memilih seorang marjaʿ al taqlid, yaitu ulama yang paling alim dan paling adil, untuk diikuti dalam urusan hukum agama. Pemilihan itu bukan berdasarkan status sosial atau garis keturunan, tetapi karena kekuatan argumentasi dan keilmuan sang marjaʿ. Dalam Islam Sunni pun prinsipnya serupa. Umat mengikuti imam mazhab karena keahliannya dalam menafsirkan dalil, bukan karena kedudukannya di masyarakat.
Dengan demikian, taklid sejatinya adalah bentuk penghormatan rasional terhadap otoritas ilmu. Ia bukan penyerahan buta, melainkan pengakuan terhadap batas kemampuan manusia dalam memahami hukum hukum agama yang kompleks. Taklid melahirkan keteraturan dalam tradisi keilmuan. Yang belum mampu berijtihad belajar kepada yang lebih ahli, sedangkan ulama bertanggung jawab atas keabsahan ilmunya di hadapan Tuhan dan umat. Di sini, otoritas bukan berasal dari kekuasaan, melainkan dari tanggung jawab ilmiah dan moral.
Feodalisme, sebaliknya, berakar pada hubungan kekuasaan yang bersifat hierarkis. Ia membangun struktur sosial yang menempatkan sebagian orang sebagai penguasa dan sebagian lainnya sebagai pengikut. Dalam sistem feodal, kepatuhan didasarkan pada status, bukan kapasitas. Kekuasaan diwariskan, bukan dihasilkan oleh keahlian atau keutamaan moral. Feodalisme cenderung menuntut ketaatan tanpa ruang kritik dan karena itu sering menumpulkan rasionalitas.
Sekilas keduanya tampak serupa karena sama sama menuntut kepatuhan terhadap otoritas. Tetapi kesamaan bentuk tidak berarti kesamaan makna. Dalam taklid ada elemen kesadaran dan pilihan rasional. Seseorang secara sadar memilih ulama yang ia percayai keilmuannya. Dalam feodalisme, kepatuhan tidak lahir dari kesadaran, melainkan dari tekanan sosial dan struktur kuasa. Taklid tumbuh dari disiplin ilmu, sedangkan feodalisme tumbuh dari dominasi sosial.
Bersambung...