Makna Istighfar Sejati Menurut Imam Ali as: Enam Tahapan Tobat yang Menyucikan Jiwa (1)
Istighfar sering kita dengar, sering pula kita ucapkan. Setiap kali berbuat salah, kita spontan berkata “Astaghfirullah.” Namun, menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as dalam Nahjul Balaghah, istighfar sejati bukanlah sekadar ucapan di bibir. Ia adalah perjalanan batin yang panjang, proses spiritual yang menyucikan jiwa dari kegelapan dosa dan mengembalikan manusia pada cahaya fitrahnya. Imam Ali menjelaskan bahwa istighfar merupakan kedudukan tinggi, tempat bersemayamnya para ‘uliyā’ orang-orang yang telah mencapai derajat kedekatan dengan Allah. Karena itu, tidak setiap orang yang mengucapkan istighfar otomatis telah sampai pada hakikatnya. Beliau menggambarkan bahwa istighfar sejati memiliki enam tahapan penting yang menjadi syarat kesempurnaannya.
1. Tahapan pertama adalah penyesalan yang mendalam atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Penyesalan bukan sekadar rasa bersalah yang lewat di hati, tetapi kesadaran mendalam bahwa dosa telah mengotori hubungan kita dengan Tuhan, sesama, dan diri sendiri. Hati yang menyesal adalah hati yang hidup; ia menangis bukan karena takut hukuman, tetapi karena kehilangan kedekatan dengan Allah. Dari sinilah istighfar dimulai dari luka batin yang melahirkan tekad untuk kembali.
2. Tahapan kedua adalah tekad yang kuat untuk tidak mengulangi dosa itu selamanya. Tobat tidak berarti berhenti sejenak lalu jatuh lagi ke jurang yang sama. Ia menuntut keputusan yang tegas, keberanian untuk memutus rantai kebiasaan buruk, dan kesadaran bahwa ampunan Allah bukan alasan untuk bermalas-malasan dalam memperbaiki diri. Seorang hamba yang benar-benar bertobat tidak sekadar menyesal di malam hari lalu mengulang kesalahan di siang hari. Ia berjuang untuk berubah, meski penuh perjuangan dan air mata.
3. Tahapan ketiga adalah mengembalikan hak-hak orang lain yang pernah dirampas. Imam Ali menegaskan, seseorang tidak dapat menghadap Allah dengan hati yang tenang jika masih membawa beban kezaliman terhadap sesama. Istighfar sejati menuntut keberanian untuk memperbaiki kerusakan yang pernah dibuat di dunia sosial—mengembalikan barang yang bukan miliknya, meminta maaf atas fitnah, atau menunaikan janji yang dilanggar. Tobat bukan hanya antara manusia dan Tuhan, tapi juga antara manusia dan manusia. Seorang hamba tidak akan benar-benar bersih sampai semua hak orang lain telah dikembalikan atau dimaafkan.
4. Tahapan keempat adalah menunaikan kewajiban-kewajiban yang pernah ditinggalkan. Banyak orang menyesal karena meninggalkan shalat, puasa, atau zakat, tetapi berhenti hanya pada rasa bersalah. Padahal, rasa bersalah tanpa tindakan hanyalah ilusi. Imam Ali mengajarkan agar kita menunaikan kembali semua kewajiban yang tertinggal qadha ibadah karena hanya dengan itu penyesalan menjadi nyata. Ibadah yang terlewat bukan sekadar masa lalu, tetapi hutang ruhani yang perlu dilunasi agar jiwa menjadi ringan di hadapan Allah.
5. Tahapan kelima lebih mendalam lagi: membersihkan tubuh dan hati dari pengaruh harta haram. Imam Ali berkata bahwa seseorang yang tubuhnya tumbuh dari rezeki haram harus berusaha menebusnya dengan kesedihan, penyesalan, dan amal yang tulus hingga tubuhnya seakan tumbuh kembali dari rizki yang halal. Inilah dimensi istighfar yang jarang disadari banyak orang. Dosa tidak hanya meninggalkan noda moral, tetapi juga jejak fisik dan spiritual yang harus disucikan. Makanan, rezeki, dan gaya hidup yang kotor harus diganti dengan yang bersih, karena tubuh yang tumbuh dari hal-hal haram sulit tunduk kepada cahaya ilahi.
Bersambung...