Makna Istighfar Sejati Menurut Imam Ali as: Enam Tahapan Tobat yang Menyucikan Jiwa (2)
6. Tahapan terakhir, menurut Imam Ali, adalah merasakan penderitaan dalam ketaatan sebagaimana dahulu kita pernah merasakan kenikmatan dalam berbuat dosa. Artinya, tobat sejati tidak berhenti pada penyesalan dan perubahan perilaku, tetapi juga melatih jiwa agar menemukan rasa manis dalam ketaatan sebagaimana dulu ia menikmati maksiat. Seseorang yang pernah larut dalam dosa akan diuji dengan kepedihan ketika berusaha berubah. Ia mungkin merasakan beratnya meninggalkan kebiasaan lama, kesepian, atau godaan untuk kembali. Namun, justru di situlah nilai istighfar diuji. Ketika ketaatan mulai terasa manis dan dosa menjadi sesuatu yang menjijikkan, barulah seseorang benar-benar kembali kepada Allah. Imam Ali menutup penjelasannya dengan kalimat yang sangat dalam: “Setelah menjalani semua ini, barulah engkau pantas mengucapkan: Astaghfirullah.”
Dari uraian itu, jelaslah bahwa istighfar bukan permainan lisan. Ia bukan jampi penenang rasa bersalah. Banyak orang mengucapkan “Astaghfirullah” setiap kali tergelincir dalam dosa, lalu merasa telah menebus kesalahannya. Padahal, ucapan itu tanpa niat dan kesungguhan ibarat benih yang ditabur di tanah kering—tidak akan tumbuh apa-apa. Istighfar sejati lahir dari hati yang hancur karena dosa, dari tekad yang hidup untuk berubah, dan dari langkah-langkah nyata menuju perbaikan diri. Ketika lisan, hati, dan amal bersatu, barulah istighfar menjadi pintu ampunan yang sesungguhnya.
Imam Muhammad al-Baqir as memberikan penegasan yang lebih tajam mengenai hal ini. Beliau bersabda, “Orang yang terus-menerus melakukan dosa, sementara ia tetap mengucapkan istighfar, maka ia seperti orang yang mengejek.” [1]Ucapan istighfar tanpa meninggalkan dosa bukan hanya sia-sia, tetapi juga bentuk penghinaan terhadap makna tobat itu sendiri. Bahkan, secara tidak langsung, hal itu seolah mengejek hukum Allah, karena seseorang terus melanggar larangan-Nya sambil berpura-pura memohon ampunan.
Dalam pandangan para imam suci, istighfar bukan hanya proses verbal, tapi transformasi eksistensial. Ia menuntut perubahan total: dari kesadaran, niat, hingga perilaku. Seseorang tidak bisa mengaku bertobat sambil tetap menikmati dosa yang sama. Istighfar sejati membuat seseorang benci kepada dosa, sebagaimana ia dahulu mencintainya. Ia mengganti kenikmatan maksiat dengan kebahagiaan spiritual dalam ketaatan. Inilah makna terdalam dari tobat: bukan sekadar menjauh dari dosa, tetapi mendekat kepada Allah dengan seluruh keberadaan diri.
Namun, Imam Ali juga menunjukkan sisi rahmat dalam proses ini. Beliau mengingatkan bahwa dua tahap di antaranya—mengembalikan hak dan mengganti ibadah yang tertinggal—hanya berlaku pada hal-hal yang masih mungkin diperbaiki. Untuk dosa yang tidak bisa ditebus secara langsung, satu-satunya jalan adalah memperbanyak amal saleh agar cahaya kebaikan menutupi jejak kegelapan masa lalu. Setiap sedekah, setiap doa, setiap kebaikan kecil dapat menjadi jembatan yang menghapus bekas dosa yang tak bisa diperbaiki secara duniawi. Rahmat Allah begitu luas hingga tak ada dosa yang tak mungkin diampuni, selama hamba sungguh-sungguh ingin kembali.
Dari seluruh ajaran ini, kita belajar bahwa istighfar sejati bukanlah kata yang ringan, tapi janji yang berat. Ia menuntut kejujuran, keberanian, dan kesungguhan. Mengucapkan “Astaghfirullah” tanpa kesadaran bisa menjadi cermin kelalaian; tapi mengucapkannya dengan hati yang luluh, air mata yang jujur, dan tekad untuk berubah. itulah yang akan membuka pintu rahmat Allah. Imam Ali menuntun kita untuk tidak puas dengan istighfar di permukaan, tetapi menggali hakikatnya di kedalaman jiwa. Sebab, tobat sejati bukan sekadar kembali dari dosa, melainkan kembali kepada Allah, Sang Sumber Kedamaian dan Cahaya Segala Cahaya.
[1] Al-Kāfī, jilid 2, hal. 435