Menghidupkan Jiwa dengan Mengingat Mati (1)
Mengingat kematian bukanlah ajakan untuk berputus asa dari kehidupan, melainkan panggilan untuk hidup dengan kesadaran yang lebih dalam. Dalam pandangan Islam, khususnya sebagaimana diajarkan oleh Ahlulbait Nabi saw, kesadaran akan mati dan Hari Kebangkitan adalah sumber moralitas, keteguhan hati, dan kejernihan batin.
Imam Ja’far Shadiq as berkata bahwa mengingat mati memiliki banyak kebaikan: menghapus keinginan yang berlebihan, mencabut akar kelalaian, melembutkan hati yang keras, menjauhkan pelanggaran, menekan sifat tamak, dan menjadikan dunia tampak sederhana dalam pandangan manusia (Biharul Anwar, jilid VI, hlm. 133).
Dengan mengingat kematian, seseorang diingatkan akan janji Allah dan keadilan-Nya. Ia berpikir tentang masa depan akhiratnya, tentang setiap amal dan pertanggungjawabannya kelak. Karena itu Rasulullah saw bersabda, “Berpikir dan merenung sesaat lebih baik daripada beribadah selama setahun.” (Biharul Anwar, jilid VI, hlm. 133).
Kesadaran tentang kematian menajamkan pikiran dan membersihkan hati. Nabi saw pernah bersabda bahwa hati manusia dapat berkarat sebagaimana besi, dan cara membersihkannya adalah dengan mengingat mati dan membaca Al-Qur’an. Dalam hadis lain beliau bersabda, “Senantiasalah mengingat mati, karena ia memiliki empat dampak: menghapus dosa, mengurangi kegandrungan pada dunia, mencegah perbuatan buruk, dan menumbuhkan rasa cukup.” (Nahjul Fasahah, hlm. 444).
Imam Ali a.s. menegaskan, orang yang selalu mengingat mati akan hidup sederhana, tidak tamak, dan tidak kikir. Ia menyadari bahwa banyak harta hanya memperberat pertanggungjawaban di hadapan Allah. Dunia, kata beliau, memperdayakan para pencintanya; sedangkan orang yang selalu mengingat mati akan memalingkan hatinya dari kemunafikan dunia dan mengarahkannya kepada kehidupan abadi (Biharul Anwar, jilid VI).
Bersambung...