Hierarki Ma‘rifat: Allah, Rasul, dan Hujjah (3)
Ma‘rifat Imam sebagai Hujjah
Dalam tradisi Syiah, Imam adalah hujjah Allah di bumi—pemegang otoritas ilahiah setelah Rasul. Ma‘rifat Imam tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan ma‘rifat Allah dan Rasul. Seperti ditegaskan Imam, bila seseorang tidak mengenal hujjah di zamannya, maka ia “tersesat dari agamanya”. Konsep ini sejalan dengan hadis masyhur Nabi saw:
مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ إِمَامٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa mati tanpa (mengenal) seorang Imam, ia mati dalam keadaan jahiliyyah.” (Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad, jil. 28, hlm. 88, no. 16876)
Imam al-Baqir as bersabda: “Barang siapa mati tanpa mengenal Imamnya, ia mati dalam keadaan jahiliyyah.” (Al-Ṣhaduq, Kamal al-Din wa Tamam al-Ni‘mah, jil. 1, hlm. 409)
Doa ini menunjukkan struktur pengetahuan religius yang bertingkat:
1. Tingkat Ontologis: Pengenalan Allah sebagai al-Ḥaqq yang menjadi sumber segala wujud.
2. Tingkat Kenabian: Pengenalan Rasul sebagai refleksi hukum Allah dalam sejarah.
3. Tingkat Imamah: Pengenalan hujjah sebagai penerus autentik Rasul dalam menjaga agama dari penyimpangan.
Dengan demikian, ma‘rifat dalam Islam bukanlah pengetahuan parsial, melainkan sistem koheren yang saling melengkapi.
Dalam konteks masa ghaibah, doa ini menjadi pedoman agar seorang mukmin tidak terlepas dari otoritas ilahi. Hujjah tetap hadir, meski tidak terlihat. Karena itu, kesetiaan pada Qur’an dan Ahlulbait sebagaimana ditegaskan dalam hadis al-Tsaqalain, adalah wujud nyata pengamalan doa tersebut.
Doa yang diajarkan Imam Ja‘far al-Ṣhadiq kepada Zurarah menyingkap bahwa jalan keselamatan tidak bisa ditempuh tanpa hierarki ma‘rifat: mengenal Allah → mengenal Rasul → mengenal Hujjah (Imam). Struktur ini menegaskan bahwa keimanan bukan sekadar pengakuan verbal, melainkan kesadaran epistemologis dan komitmen praktis untuk mengikuti otoritas Ilahi di setiap zaman.