Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Zainab Dari Pengajar hingga Pemimpin Revolusi

0 Pendapat 00.0 / 5

Dari Pengajar hingga Pemimpin Revolusi

Sebelum tragedi Karbala, peran utama Sayidah Zainab adalah sebagai pendidik dan pengajar. Ia mengajarkan Al-Qur’an, fikih dan hadis kepada masyarakat, dan menjadi sumber ilmu bagi banyak perempuan dan lelaki di Madinah. Para ulama menyebutnya sebagai “alimah ghayru mu‘allamah”—seorang yang berilmu tanpa pernah diajari, karena ilmunya bersumber dari kesucian Ahlulbait as.

Namun, setelah saudaranya, Imam Husain as, gugur di Karbala, peran Sayidah Zainab berubah total. Dalam sekejap, ia menjadi pemimpin politik dan sosial yang mengubah arah sejarah. Ia tidak hanya merawat anak-anak yatim dan perempuan yang ditawan, tetapi juga menjaga nyala pesan Karbala agar tidak padam di tengah istana kekuasaan Yazid.

Ketika pasukan tiran membawa para tawanan dari keluarga Husain ke istana Yazid di Syam, Zainab berdiri tegak di hadapan penguasa yang haus darah itu. Yazid berusaha menulis ulang sejarah dengan menuduh Imam Husain as sebagai pemberontak. Tetapi Sayidah Zainab, dengan satu khotbah yang menggetarkan, meruntuhkan seluruh propaganda itu.

Di hadapan khalayak besar dan di bawah tatapan tiran, Sayidah Zainab berbicara dengan ketenangan ilahiah. Ucapannya bukan sekadar pidato politik; ia adalah wahyu moral yang menghidupkan kembali nur kebenaran. Dengan bahasa yang fasih, logika yang tajam, dan keanggunan seorang putri Rasulullah, ia menyingkap wajah sejati Yazid: seorang pembunuh cucu Nabi yang berusaha menutupi kejahatannya dengan dusta.

Para sejarawan menyebutkan bahwa saat ia berbicara, suasana majelis berubah. Orang-orang lupa bahwa perempuan di hadapan mereka adalah tawanan; mereka merasa seolah Sayidah Zainab-lah yang berkuasa, sementara Yazid hanyalah pesakitan di kursinya sendiri. Setelah khotbah itu, Yazid ketakutan dan bahkan menyangkal keterlibatannya dalam pembantaian Karbala, menyalahkan Ibnu Ziyad sebagai pelaku utama.

Sebelum dibawa ke Syam, para tawanan melewati kota Kufah—kota yang dulu berjanji akan menolong Imam Husain, namun kemudian mengkhianatinya. Di hadapan penduduk Kufah yang menyaksikan iring-iringan tawanan, Sayidah Zainab kembali berkhotbah.

Nada suaranya lembut tapi mengguncang. Ia menegur umat yang diam di hadapan kebatilan dan mengingatkan mereka akan janji yang telah diingkari. Kata-katanya menembus hati penduduk Kufah hingga mereka menyesali dosa mereka. Khotbah inilah yang kemudian melahirkan Gerakan Tawwabin—kelompok orang yang bertaubat dan bersumpah menuntut bela atas darah Imam Husain. Dari sanalah gelombang kesadaran Islam sejati kembali tumbuh, menjalar hingga melahirkan semangat revolusioner yang tak pernah padam dalam sejarah Syiah.

Setelah masa penawanan berakhir, Zainab bersama Imam Ali Zainal Abidin as menziarahi Karbala tepat empat puluh hari setelah tragedi itu. Ziarah itu menjadi cikal bakal ziarah Arba’in, tradisi yang kini setiap tahun menggerakkan jutaan manusia berjalan menuju Karbala untuk meneguhkan kesetiaan kepada kebenaran dan menolak kezaliman.

Dengan langkah-langkah penuh air mata dan cinta, Zainab menanamkan pada dunia bahwa ingatan terhadap para syahid adalah bentuk tertinggi dari perlawanan. Selama nama al-Husain as hidup, maka kezaliman tak akan pernah berkuasa mutlak.

Bersambung ...