Demokrasi 5 Menit
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- By: Franz Magnis-Suseno SJ
- Sumber:
- IRIB Indonesia/kompas
Kritik tajam Bung Radhar Panca Dahana terhadap kelas politik yang menguasai demokrasi kita (Kompas, 12/12/2013) sulit disangkal. Bahwa elite politik memanfaatkan dengan rakus akses istimewa mereka terhadap aset-aset negara, tanpa merasa malu, amat kuat diyakini oleh masyarakat. Bahwa mereka
Kritik seharusnya menjadi wakil kebersamaan kita hampir menguap.
Persepsi ini mengancam masa depan bangsa Indonesia dan karena itu perlu diekspos terus-menerus. Namun, kalau lantas demokrasi kita didegradasi seakan-akan dia tidak lebih dari "demokrasi lima menit", saya berhenti mengerti.
Demokrasi 51 persen
Istilah "demokrasi lima menit" mengingatkan saya akan ejekan Bung Karno 50 tahun lalu terhadap "demokrasi liberal" sebagai "demokrasi 51 persen". Katanya dalam "demokrasi liberal" itu yang 51 persen dapat memperdaya sisa 49 persen, sedangkan—sejak kembali ke UUD 1945— kita kembali ke "musyawarah dan mufakat" di mana semua terlibat.
Apakah demokrasi melibatkan semua atau tidak tentu tergantung dari apakah rakyat yang bersangkutan senang dengannya. Bukti kesenangan itu bukan rapat raksasa di mana semua berteriak "setuju", melainkan apakah rakyat senang taat pada aturan-aturan dan tanpa paksaan menghormati keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan aturan-aturan demokratis itu.
Ada dua contoh "demokrasi liberal" yang menarik. Dalam pemilihan umum di Jerman tahun 1994, koalisi Helmut Kohl mendapat 48,3 persen semua suara. Lawannya mendapat 43,7 persen, sisanya tak berhasil masuk parlemen. Namun, meskipun Kohl bahkan mendapat kurang dari 50 persen suara, pemerintahannya diterima tanpa ada yang protes selama seluruh periode empat tahun berikut. Begitu pula di tahun 2000 George W Bush memperoleh setengah juta suara kurang (!) dari lawannya, Al Gore, tetapi karena Amerika Serikat (AS) memakai sistem distrik, maka Bush yang menjadi presiden. Hasil itu pun oleh rakyat AS diterima tanpa kesulitan apa pun.
Sebaliknya di Indonesia. Karena dalam demokrasi terpimpin kekuatan-kekuatan politik nyata dalam masyarakat tidak dapat main secara demokratis. Di Indonesia Bung Karno tahun 1959 mengakhiri demokrasi dengan akibat-akibat yang mengerikan. Karena permainan kekuatan-kekuatan demokratis sudah tak jalan, terpaksa presiden memfokuskan semuanya pada dirinya sendiri.
Akhirnya dinamika yang tak tersalurkan secara demokratis semakin tak terkendali. Terciptalah situasi yang tidak dapat lagi dikuasai Bung Karno, yang berakhir dengan kejadian-kejadian mengerikan tahun 1965 dan 1966, di mana jutaan rakyat tak bersalah dibunuh, disiksa, dihancurkan eksistensinya, dikeluarkan dari persatuan bangsa, salah satu peristiwa traumatis paling mengerikan di abad lalu.
Demokrasi lima menit
Kembali ke "demokrasi lima menit". Masak! Kalau saya menutup suatu pembicaraan dengan memberi tanda-tangan, pemberian tanda-tangan bisa saja hanya membutuhkan dua menit, tetapi merupakan puncak dan penutup pembicaraan yang barangkali lama dan mendalam, di mana akhirnya diambil keputusan.
Lima menit di bilik pemilu sama saja puncak dan penutup proses panjang. Pagi hari orang sudah merencanakan kapan ia akan memilih. Tetapi sekarang banyak rakyat kita sudah mempertimbangkan jauh sebelumnya ke mana suara diberikan. Tak perlu pemilihan mereka diremehkan.
Yang memang mau dikatakan Bung Radhar adalah: sesudah dipilih, para wakil rakyat (yang brengsek) selama lima tahun bebas berulah semau gue. Benarkah?
Pertama, yang hakiki dalam demokrasi bukan hanya pemilihan para wakil rakyat. Yang hakiki adalah kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat. Sebagaimana dianalisis oleh filsuf Jurgen Habermas, yang hakiki bagi suatu demokrasi adalah bahwa kelas politik: para pemimpin, para wakil rakyat, "dikepung" oleh "arena publik" (public sphere) yang terus-menerus mendiskursuskan masalah-masalah politik yang dihadapi bangsa, yang tidak dapat diabaikan. Arena publik itu adalah media cetak dan elektronik, talk show, seminar-seminar, LSM-LSM, formasi-formasi masyarakat sipil seperti konferensi para rektor, organisasi-organisasi agama, dan lain-lain. Bahwa DPR belum berani mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai sekarang, tentu karena mereka dikepung oleh opini publik yang tidak akan menerimanya.
Justru public sphere itulah yang membedakan demokrasi dari kediktatoran. Tahun 1963 Presiden Soekarno membungkamkan mereka yang "terlibat" dalam Manifesto Kebudayaan, setahun kemudian 20 koran yang tidak mendukung Nasakom. Di zaman Soeharto kritik serius apa pun tidak diizinkan.
Dan sebaliknya di demokrasi. Bulan Mei lalu saya mengkritik dengan rada keras rencana Appeal of Conscience Foundation di New York untuk memberikan statesman award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang bagi saya sendiri paling mengesankan adalah bahwa saya kemudian tidak mengalami tekanan, ancaman, ataupun pengusiran apa pun dari pihak istana maupun pendukung politik presiden. Jadi, kebebasan menyatakan pendapat kritis betul-betul ada.
Bandingkan dengan apa yang terjadi dengan mereka yang 30 tahun lalu mengajukan sebuah petisi mengenai hal Pancasila ("Petisi 50")! Memang, sekarang pun masih terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia—baca laporan-laporan berkala Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)—tetapi pelanggaran-pelanggaran itu dapat, dan jadi, diangkat. Di bawah Soeharto terjadi seribu Kedung Ombo yang hampir semua tak bisa masuk ke ruang publik, sebaliknya sesudah beliau turun takhta, apa pun yang berbau "Kedung Ombo" akan langsung dikecam.
Keadilan sosial tidak tercapai dengan sebuah elite memberi makan pada rakyat—pandangan feodalistik yang masih kuat muncul dalam diskusi-diskusi di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bulan Juli 1945, melainkan dengan memberdayakan rakyat. Pemberdayaan itu menjadi nyata dengan mereka dapat bebas bersuara dan berorganisasi. Nah, itulah yang disebut demokrasi.
Hak-hak asasi manusia
Ada poin kedua, kita mesti bertanya, mengapa dukungan terhadap aturan main demokratis di negara demokratis begitu kuat? Mengapa hanya para diktator dan bukan rakyat yang hidup dalam demokrasi yang mengangkat hal kediktatoran mayoritas? Karena demokrasi secara hakiki adalah negara di mana hukum dihormati, ya "negara hukum demokratis", dan hukum dihormati karena berdasarkan pada hak-hak asasi manusia. Demokrasi dan hak-hak asasi manusia adalah satu paket.
Karena demokrasi menjamin hak-hak asasi manusia, demokrasi menjamin juga bahwa tidak ada individu maupun kelompok masyarakat yang kepentingan-kepentingan vitalnya dapat ditindas oleh mayoritas. Dengan lain kata: karena demokrasi berdasarkan jaminan hak-hak asasi manusia, maka demokrasi menjamin bahwa minoritas politik tidak menjadi minoritas sosial, ekonomis, maupun budaya, jadi tetap utuh dalam kemanusiaan. Itulah dasar akseptasi begitu luas terhadap demokrasi dalam masyarakat-masyarakat yang betul-betul demokratis.
Hak-hak asasi manusia: masih juga kita dengar omongan, dalam hal hak-hak asasi manusia jangan "kebablasan". Omongan salah kaprah betul! Hormat terhadap hak-hak asasi manusia merupakan bottom line masyarakat yang adil dan beradab! Hak-hak asasi manusia berarti: orang tidak lagi bisa dibunuh dengan impunity, minoritas tidak lagi dapat dijadikan tumbal bagi keuntungan yang banyak. Hak-hak asasi manusia bukan ekspresi individualisme (salah betul Supomo di situ), melainkan sebaliknya tanda dan bukti solidaritas suatu bangsa dengan saudara mereka yang lemah.
Jaminan hak-hak asasi manusia tak lain merupakan penegasan mereka yang kuat dan kuasa bahwa "meskipun kami sebenarnya tidak perlu memperhitungkan kamu, dan kamu tidak dapat mengancam kami dan sebenarnya dapat saja kami abaikan, tetapi kami tetap mengakui dan menghormati kamu sebagai saudara dan manusia seharkat dengan kami". Bukankah kita amat berpengalaman ke mana kita dibawa kalau hak-hak asasi manusia diabaikan? Karena itu kita jangan mengizinkan demokrasi kita—meski masih sangat lemah—dicuri atau dirusak lagi, juga tidak dengan omongan bagus-bagus.
Saya juga terganggu bahwa demokrasi dicaci maki tanpa bicara korban. Jumlah korban dalam bangsa Indonesia dalam 68 tahun terakhir luar biasa, korban bangsa sendiri. Bicara demokrasi kita harus bicara korban. Meski sekarang pun masih ada yang diperlakukan tidak manusiawi, tetapi bandingkan dong 15 tahun terakhir dengan 32 tahun yang sebelumnya!
Saya juga heran, kok demokrasi ditertawakan, tanpa dengan sepatah kata pun ditawarkan sistem kekuasaan alternatif. Kalau Anda tidak mau demokrasi, Anda mau menggantikannya dengan apa? Dengan kediktatoran militer? Dengan kekuasaan para pengemban ideologi? Dengan kekuasaan para pastor dan ulama? Adakah Soeharto yang baru? Soekarno baru? Lupakah kita akhir dua kepemimpinan itu? Kelemahan-kelemahan demokrasi memang mencolok, tetapi apa perlu dikutip lagi ucapan tak terbantah Winston Churchil bahwa "demokrasi adalah bentuk pemerintahan paling jelek, kecuali semua bentuk pemerintahan lain yang sudah dicoba sewaktu-waktu" (democracy is the worst form of government, except for all those other forms that have been tried from time to time).
Franz Magnis-Suseno SJ, Mantan Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Kritik seharusnya menjadi wakil kebersamaan kita hampir menguap.
Persepsi ini mengancam masa depan bangsa Indonesia dan karena itu perlu diekspos terus-menerus. Namun, kalau lantas demokrasi kita didegradasi seakan-akan dia tidak lebih dari "demokrasi lima menit", saya berhenti mengerti.
Demokrasi 51 persen
Istilah "demokrasi lima menit" mengingatkan saya akan ejekan Bung Karno 50 tahun lalu terhadap "demokrasi liberal" sebagai "demokrasi 51 persen". Katanya dalam "demokrasi liberal" itu yang 51 persen dapat memperdaya sisa 49 persen, sedangkan—sejak kembali ke UUD 1945— kita kembali ke "musyawarah dan mufakat" di mana semua terlibat.
Apakah demokrasi melibatkan semua atau tidak tentu tergantung dari apakah rakyat yang bersangkutan senang dengannya. Bukti kesenangan itu bukan rapat raksasa di mana semua berteriak "setuju", melainkan apakah rakyat senang taat pada aturan-aturan dan tanpa paksaan menghormati keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan aturan-aturan demokratis itu.
Ada dua contoh "demokrasi liberal" yang menarik. Dalam pemilihan umum di Jerman tahun 1994, koalisi Helmut Kohl mendapat 48,3 persen semua suara. Lawannya mendapat 43,7 persen, sisanya tak berhasil masuk parlemen. Namun, meskipun Kohl bahkan mendapat kurang dari 50 persen suara, pemerintahannya diterima tanpa ada yang protes selama seluruh periode empat tahun berikut. Begitu pula di tahun 2000 George W Bush memperoleh setengah juta suara kurang (!) dari lawannya, Al Gore, tetapi karena Amerika Serikat (AS) memakai sistem distrik, maka Bush yang menjadi presiden. Hasil itu pun oleh rakyat AS diterima tanpa kesulitan apa pun.
Sebaliknya di Indonesia. Karena dalam demokrasi terpimpin kekuatan-kekuatan politik nyata dalam masyarakat tidak dapat main secara demokratis. Di Indonesia Bung Karno tahun 1959 mengakhiri demokrasi dengan akibat-akibat yang mengerikan. Karena permainan kekuatan-kekuatan demokratis sudah tak jalan, terpaksa presiden memfokuskan semuanya pada dirinya sendiri.
Akhirnya dinamika yang tak tersalurkan secara demokratis semakin tak terkendali. Terciptalah situasi yang tidak dapat lagi dikuasai Bung Karno, yang berakhir dengan kejadian-kejadian mengerikan tahun 1965 dan 1966, di mana jutaan rakyat tak bersalah dibunuh, disiksa, dihancurkan eksistensinya, dikeluarkan dari persatuan bangsa, salah satu peristiwa traumatis paling mengerikan di abad lalu.
Demokrasi lima menit
Kembali ke "demokrasi lima menit". Masak! Kalau saya menutup suatu pembicaraan dengan memberi tanda-tangan, pemberian tanda-tangan bisa saja hanya membutuhkan dua menit, tetapi merupakan puncak dan penutup pembicaraan yang barangkali lama dan mendalam, di mana akhirnya diambil keputusan.
Lima menit di bilik pemilu sama saja puncak dan penutup proses panjang. Pagi hari orang sudah merencanakan kapan ia akan memilih. Tetapi sekarang banyak rakyat kita sudah mempertimbangkan jauh sebelumnya ke mana suara diberikan. Tak perlu pemilihan mereka diremehkan.
Yang memang mau dikatakan Bung Radhar adalah: sesudah dipilih, para wakil rakyat (yang brengsek) selama lima tahun bebas berulah semau gue. Benarkah?
Pertama, yang hakiki dalam demokrasi bukan hanya pemilihan para wakil rakyat. Yang hakiki adalah kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat. Sebagaimana dianalisis oleh filsuf Jurgen Habermas, yang hakiki bagi suatu demokrasi adalah bahwa kelas politik: para pemimpin, para wakil rakyat, "dikepung" oleh "arena publik" (public sphere) yang terus-menerus mendiskursuskan masalah-masalah politik yang dihadapi bangsa, yang tidak dapat diabaikan. Arena publik itu adalah media cetak dan elektronik, talk show, seminar-seminar, LSM-LSM, formasi-formasi masyarakat sipil seperti konferensi para rektor, organisasi-organisasi agama, dan lain-lain. Bahwa DPR belum berani mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai sekarang, tentu karena mereka dikepung oleh opini publik yang tidak akan menerimanya.
Justru public sphere itulah yang membedakan demokrasi dari kediktatoran. Tahun 1963 Presiden Soekarno membungkamkan mereka yang "terlibat" dalam Manifesto Kebudayaan, setahun kemudian 20 koran yang tidak mendukung Nasakom. Di zaman Soeharto kritik serius apa pun tidak diizinkan.
Dan sebaliknya di demokrasi. Bulan Mei lalu saya mengkritik dengan rada keras rencana Appeal of Conscience Foundation di New York untuk memberikan statesman award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang bagi saya sendiri paling mengesankan adalah bahwa saya kemudian tidak mengalami tekanan, ancaman, ataupun pengusiran apa pun dari pihak istana maupun pendukung politik presiden. Jadi, kebebasan menyatakan pendapat kritis betul-betul ada.
Bandingkan dengan apa yang terjadi dengan mereka yang 30 tahun lalu mengajukan sebuah petisi mengenai hal Pancasila ("Petisi 50")! Memang, sekarang pun masih terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia—baca laporan-laporan berkala Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)—tetapi pelanggaran-pelanggaran itu dapat, dan jadi, diangkat. Di bawah Soeharto terjadi seribu Kedung Ombo yang hampir semua tak bisa masuk ke ruang publik, sebaliknya sesudah beliau turun takhta, apa pun yang berbau "Kedung Ombo" akan langsung dikecam.
Keadilan sosial tidak tercapai dengan sebuah elite memberi makan pada rakyat—pandangan feodalistik yang masih kuat muncul dalam diskusi-diskusi di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bulan Juli 1945, melainkan dengan memberdayakan rakyat. Pemberdayaan itu menjadi nyata dengan mereka dapat bebas bersuara dan berorganisasi. Nah, itulah yang disebut demokrasi.
Hak-hak asasi manusia
Ada poin kedua, kita mesti bertanya, mengapa dukungan terhadap aturan main demokratis di negara demokratis begitu kuat? Mengapa hanya para diktator dan bukan rakyat yang hidup dalam demokrasi yang mengangkat hal kediktatoran mayoritas? Karena demokrasi secara hakiki adalah negara di mana hukum dihormati, ya "negara hukum demokratis", dan hukum dihormati karena berdasarkan pada hak-hak asasi manusia. Demokrasi dan hak-hak asasi manusia adalah satu paket.
Karena demokrasi menjamin hak-hak asasi manusia, demokrasi menjamin juga bahwa tidak ada individu maupun kelompok masyarakat yang kepentingan-kepentingan vitalnya dapat ditindas oleh mayoritas. Dengan lain kata: karena demokrasi berdasarkan jaminan hak-hak asasi manusia, maka demokrasi menjamin bahwa minoritas politik tidak menjadi minoritas sosial, ekonomis, maupun budaya, jadi tetap utuh dalam kemanusiaan. Itulah dasar akseptasi begitu luas terhadap demokrasi dalam masyarakat-masyarakat yang betul-betul demokratis.
Hak-hak asasi manusia: masih juga kita dengar omongan, dalam hal hak-hak asasi manusia jangan "kebablasan". Omongan salah kaprah betul! Hormat terhadap hak-hak asasi manusia merupakan bottom line masyarakat yang adil dan beradab! Hak-hak asasi manusia berarti: orang tidak lagi bisa dibunuh dengan impunity, minoritas tidak lagi dapat dijadikan tumbal bagi keuntungan yang banyak. Hak-hak asasi manusia bukan ekspresi individualisme (salah betul Supomo di situ), melainkan sebaliknya tanda dan bukti solidaritas suatu bangsa dengan saudara mereka yang lemah.
Jaminan hak-hak asasi manusia tak lain merupakan penegasan mereka yang kuat dan kuasa bahwa "meskipun kami sebenarnya tidak perlu memperhitungkan kamu, dan kamu tidak dapat mengancam kami dan sebenarnya dapat saja kami abaikan, tetapi kami tetap mengakui dan menghormati kamu sebagai saudara dan manusia seharkat dengan kami". Bukankah kita amat berpengalaman ke mana kita dibawa kalau hak-hak asasi manusia diabaikan? Karena itu kita jangan mengizinkan demokrasi kita—meski masih sangat lemah—dicuri atau dirusak lagi, juga tidak dengan omongan bagus-bagus.
Saya juga terganggu bahwa demokrasi dicaci maki tanpa bicara korban. Jumlah korban dalam bangsa Indonesia dalam 68 tahun terakhir luar biasa, korban bangsa sendiri. Bicara demokrasi kita harus bicara korban. Meski sekarang pun masih ada yang diperlakukan tidak manusiawi, tetapi bandingkan dong 15 tahun terakhir dengan 32 tahun yang sebelumnya!
Saya juga heran, kok demokrasi ditertawakan, tanpa dengan sepatah kata pun ditawarkan sistem kekuasaan alternatif. Kalau Anda tidak mau demokrasi, Anda mau menggantikannya dengan apa? Dengan kediktatoran militer? Dengan kekuasaan para pengemban ideologi? Dengan kekuasaan para pastor dan ulama? Adakah Soeharto yang baru? Soekarno baru? Lupakah kita akhir dua kepemimpinan itu? Kelemahan-kelemahan demokrasi memang mencolok, tetapi apa perlu dikutip lagi ucapan tak terbantah Winston Churchil bahwa "demokrasi adalah bentuk pemerintahan paling jelek, kecuali semua bentuk pemerintahan lain yang sudah dicoba sewaktu-waktu" (democracy is the worst form of government, except for all those other forms that have been tried from time to time).
Franz Magnis-Suseno SJ, Mantan Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara