Islam dan Rasionalitas (2)
Ta‘aqqul berarti menggunakan akal secara konsisten dalam berpikir dan bertindak. Orang yang benar-benar berakal tidak akan bersikap munafik: memerintahkan kebaikan tetapi meninggalkan kewajiban sendiri. Jadi, pesan utama ayat ini adalah konsistensi akal dengan amal.
Di tempat lain al-Quran mengajak manusia untuk tidak sekadar membaca, tetapi merenungkan kandungan al-Qur’an secara mendalam. Jika benar-benar ditadabburi, akan jelas bahwa al-Qur’an konsisten, tanpa kontradiksi, sehingga pasti berasal dari Allah. Allah Swt berfirman dalam surah an-Nisa’ ayat 82:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat banyak pertentangan di dalamnya.”
Jadi, tadabbur menekankan pemahaman mendalam dan kritis atas wahyu, bukan hanya bacaan lahiriah. Tadabbur bermakna mendalami, memperhatikan, dan melihat akibat dari sesuatu.
Allah menyebut bahwa Al-Qur’an penuh dengan perumpamaan, agar manusia bisa mengambil hikmah darinya. Hal ini terungkap dalam surah az-Zumar ayat 27:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ مِن كُلِّ مَثَلٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Sungguh, dalam Al-Qur’an ini telah Kami buatkan bagi manusia segala macam perumpamaan agar mereka mendapat pelajaran.”
Tadzakkur bermakna mengambil pelajaran, mengingat, dan menjadikan sesuatu sebagai peringatan. Jadi, tadzakkur adalah proses mengingat kebenaran dan menjadikannya bekal hidup, bukan hanya pengetahuan intelektual.
Ayat-ayat suci al-Quran tersebut menegaskan bahwa iman bukan sekadar dogma, melainkan harus lahir dari kesadaran intelektual dan refleksi rasional.
Hidup manusia berdiri di atas akal; agama dan moral tak akan tegak tanpa akal sebagai dasarnya. Akal adalah pondasi agama, dan agama bukan sekadar ritual, melainkan harus dijalani dengan pemahaman rasional. Tanpa akal, seseorang tidak bisa memahami tauhid, etika, maupun tujuan ibadah. Rasulullah saw dalam hal ini bersabda:
لَا دِينَ لِمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ
“Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.” (Al-Kulaini, al-Kafi, jilid 1, hal. 11)
قِوَامُ الْمَرْءِ عَقْلُهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ
“Penopang hidup seseorang adalah akalnya, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.” (Rawḍat al-Wa‘iẓin, hal. 4)
Akal adalah alat untuk mengenal Allah dan melaksanakan ibadah dengan benar serta meraih puncak kesempurnaan dan kebahagiaan. Ibadah tanpa akal hanya menjadi rutinitas kosong tanpa makna. Imam Ali as berkata:
العقلُ ما عُبِدَ به الرَّحمنُ واكتُسِبَ به الجِنان
“Akal adalah sarana dengan mana Tuhan Yang Maha Pengasih disembah dan surga diperoleh.” (Al-Kulaini, al-Kafi, jilid 1, hal. 11)
Seorang mukmin tidak boleh berjalan dalam kegelapan taklid buta; akal menjadi kompas moral dan spiritual yang menuntunnya pada kebenaran. Perkara ini ditegaskan dalam ungkapan Imam Ja‘far al-Shadiq as:
العقلُ دليلُ المؤمنِ
“Akal adalah penunjuk jalan bagi orang beriman.” (Al-Kulaini, al-Kafi, jilid 1, hal. 25)
Agama berdiri di atas dua otoritas: wahyu (luar) dan akal (dalam). Keduanya saling melengkapi: akal menuntun pada penerimaan wahyu, wahyu menyempurnakan akal. Imam Musa al-Kazhim as berkata kepada Hisham:
إنّ لله على الناس حجّتَين: حجّةً ظاهرةً وحجّةً باطنةً. فأمّا الظاهرةُ فالرسلُ والأنبياءُ والأئمةُ، وأمّا الباطنةُ فالعقولُ
“Sesungguhnya Allah memiliki dua hujjah atas manusia: hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Adapun hujjah lahiriah adalah para rasul, nabi, dan imam; sementara hujjah batiniah adalah akal.” (Al-Kulaini, al-Kafi, jilid 1, hal. 16)
Perenungan mendalam tentang Allah, kehidupan, dan akhirat dapat melahirkan perubahan besar dalam diri, melebihi sekadar ritual panjang tanpa pemahaman. Rasulullah saw bersabda:
فِكْرَةُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةٍ
“Berpikir sejenak lebih baik daripada ibadah setahun.” (Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 78, hal. 115)
Tentang keutamaan berpikir, Imam Ali as menegaskan pula:
فكر ساعة قصيرة خير من عبادة طويلة
“Berpikir sejenak lebih baik daripada ibadah yang panjang.” (Ghurar al-Hikam: 6537)
Kualitas ibadah terletak pada kesadaran, bukan pada kuantitasnya. Tafakkur menumbuhkan hikmah, sementara ibadah tanpa tadabbur bisa kering makna.
Tafakkur sejati adalah merenungi kefanaan dunia: bangunan hancur, penghuni yang telah tiada. Hal ini menggugah hati untuk menyadari hakikat hidup dan kembali kepada Allah. Tafakkur semacam ini lebih mendidik jiwa daripada ibadah malam tanpa kesadaran. Imam Ja‘far al-Ṣhadiq as bersabda:
لما سأله الحسن الصيقل: تفكر ساعة خير من قيام ليلة؟ -: نعم، قال رسول الله (صلى الله عليه وآله): تفكر ساعة خير من قيام ليلة، قلت: كيف يتفكر؟ قال: يمر بالدور الخربة فيقول: أين بانوك؟ أين ساكنوك؟ مالك لا تتكلمين؟
Ketika ditanya oleh al-Ḥasan al-Ṣayqal: “Apakah berpikir sejenak lebih baik daripada shalat malam semalam suntuk?” – beliau menjawab: “Ya. Rasulullah saw bersabda: ‘Berpikir sejenak lebih baik daripada shalat malam semalam suntuk.’” Aku (al-Ḥasan) bertanya: “Bagaimana cara berpikir itu?” Beliau (al-Ṣhadiq) menjawab: “Seseorang melewati rumah-rumah yang telah hancur, lalu ia berkata: ‘Di manakah para pembangunnya? Di manakah para penghuninya? Mengapa engkau (wahai bangunan) tidak berbicara?’” (Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 71, hal. 324)
Bersambung....